SEORANG kawan bercanda bahwa Pemilu 2009 mirip “banjir politik.” Sebagaimana galibnya banjir, selalu membawa perubahanTak sia-sia pepatah yang berbunyi, sekali banjir datang sekali tepian berubah
BACA JUGA: Pesona Uang, Seks & Kekuasaan
Nah, penghuni gedung DPR di Senayan maupun DPRD di daerah juga dilanda “banjir” hebatSeraya menunggu nama-nama anggota DPR dan DPRD terpilih, sudah disebut-sebut banyak tokoh kawakan DPR yang tak lagi terpilih
BACA JUGA: Pembebasan Golkar dari Candu Berkuasa
Mungkin, di antaranya adalah Agung Laksono, Ferry Mursidan Baldan, Nursyahbani Kacasungkana dan sebagainya.Sebaliknya, dari sejumlah nama baru tersebut, sebagian di antaranya adalah para artis dan selebritis
Banjir ini memang bermula karena keputusan Mahkamah Konstitusi yang bagai membuka pintu air, sehingga air bah menerobos
BACA JUGA: Berburu Cawapres Sebelum Deadline
Yakni, di saat MK memutuskan bahwa keterpilihan seseorang ditentukan berdasarkan suara terbanyak, dan bukan daftar nomor urut yang diajukan partai politik (parpol).Pada mulanya, memang hanya banjir talking-talkingBanyak politikus yang keberatan karena system itu akan membuat caleg separpol menjadi bersaing seraya berkompetisi dengan caleg partai lainTetapi banjir yang paling seru justru adalah keterpilihan para artis yang bahkan menggusur para politikus kawakan.
Memang tidak adil untuk mengatakan bahwa mereka yang tergusur itu lebih baik dari para artis dan pendatang baru lainnyaBahwa, angota DPR lama lebih berpengalaman memang sudah jelas. Barangkali, dapat disebutkan ada plus-minusnya.
Jika mau jujur ada banyak catatan dari “banjir politik” kali iniMisalnya, banyak anggota DPR lama, katakanlah mungkin lebih bermutu, tapi tidak dikenal di daerah pemilihannya.
Selama lima tahun ini pun ia jarang muncul saat reses DPRRakyat boleh jadi tak mengingatnya berasal dari daerah pemilihan itu, karena tak ada yang dilakukannya selama lima tahun ini
Sudah tak dikenal, mungkin, selama kampanye juga jarang munculJika pun muncul juga, ternyata tak berhasil meraih minat pencontrengBuktinya, ia tak lagi terpilih.
Memang masih debatableMungkin juga para tokoh lama itu tak punya uang untuk ditebar agar pencontreng mau memilihnyaTak berarti yang berhasil terpilih lagi karena ia menebar uang, meskipun kemungkinan itu tidak tertutup. Barangkali juga ia ditempatkan partainya di daerah pemilihan baru, sehingga menjadi tak dikenal.
Jangan-jangan kesan para pencontreng terhadap anggota DPR lama, mungkin karena “mereka suka korupsi, sih.” “Terlibat skandal asmara pula,” kata yang lainMemang bukan generalisasiTapi secara sosiologis, kesan buruk dari sebuah kelompok, walau tak semuanya, tapi sekan-akan menggambarkan komunitas yang diwakilinyaVonis sosiologis memang begitu.
Saya kira putusan Mahkamah Konstitusi sudah benarVox Populi Vox DeiSuara rakyat suara TuhanPencontreng adalah pangeran demokrasiRakyatlah King or Queen Maker yang membuat Anda berhasil atau gagal menjadi anggota DPRAsas demokrasi ini tak terbantahkan!
***
Tragedi pahit yang melanda anggota DPR lama yang tergusur itu, mestinya menjadi cermin bagi anggota DPR baruJika Anda masih mengulanginya, maka pada Pemilu 2014 pasti tak dicontreng pemilih lagiBisa-bisa separo perjalanan di parlemen, Anda akan disesali publik karena tak mampu berlakon sebagai anggota DPR sejati.
Tak enak untuk mengatakan “belajarlah.” Terkesan mengguruiNamun sepanjang ada kemauan selalu ada jalanAnda akan sukses jika mempersiapkan diri secara totalTermasuk para artis.
Saya kira, sebagian di antara mereka, seperti Nurul Arifin, Wanda Hamidah, Rieke ”Oneng” Diah Pitaloka dan Angelina Sondakh, sekedar contoh saja, bisa sukses meniti karierYang lainnya, mulailah berlari dengan akselarasiBelajar acting, nyanyi, presenter, menulis lagu dan tampil di publik pun, Anda bisaMenjadi anggotra DPR, mengapa tidak?
Budiman Sudjatmiko yang meski bukan artis tapi sempat juga menjadi selebritis, ternyata juga berubahIko, begitu ia disapa, sejauh yang saya kenal adalah seorang yang radikal dan bersikap nonkompromi tanpa ampunDimusuhi dan sangat dicari Orde Baru, sehingga terkenal dan dijuluki tokoh kiriPadahal, dalam sejarahnya, soal kiri adalah soal tempat duduk parpol di parlemen Prancis.
Namun semenjak bergabung di PDIP, ia banyak berubahTak seradikal dulu dalam paradigma dan aksi penampilanSubstansinya ia jaga dengan aplikable yang moderatDulu malah jika berbicara sangat cepat sehingga kadang artikulasinya tak jelasKini ia bisa bicara runtut, artikulatif dan sistematis.
Secara tekstual saja, anggota DPR itu adalah ”wakil rakyat.” Bukan “atasan rakyat.” Selama ini apa gerangan yang terjadi? Banyak contoh tak enakMisalnya, gayanya saja sudah lainCara berbusana, naik mobil, gaya hidup, dan kadang ada yang mendadak main golf, ngobrol di hotel dan kafe dan melupakan para pencontreng.
Banyak terkabar bahwa ada anggota DPR yang malah mengurus proyek ini itu di daerah jika bujetnya dari APBNLalu, kisah komisi dan korupsi belakangan ketahuan serta berurusan dengan KPK.
Termasuk untuk menggolkan jabatan seseorang, entah di BPK, Bank Indonesia, BUMN, eselon dua departemen, ada anggota DPR yang keciprat rejeki tak jelasTermasuk pula cerita pemekaran daerah menjadi “obyekan” yang membuat pencontreng kelak menjatuhkan hukuman di hari Pemilu.
Jika berkunjung ke daerah, menginapnya saja di hotel berbintang yang terbaik di kota ituAda saja mobil mewah yang menjadi kenderaannya, entah siapa pula yang memasilitasinyaPadahal, tanpa embel-embel sebagai “wakil rakyat”, mustahil segala kenikmatan itu bisa terjadi.
Kisah-kisah lama ini menjadi modal berharga bagi anggota DPR baruTerserah Anda untuk memilih: mengulanginya atau tampil sebagai “wakil rakyat” sejatiJika Anda mengulangi sesuatu yang salah dari anggota DPR lama, maka bersiap-siaplah menerima vonis sosiologis tersebutJika tak percaya, coba saja! (*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Deja Vu Golkar di Pentas Pipres
Redaktur : Tim Redaksi