Rekomendasi TPF Terlalu Prematur

Kamis, 05 November 2009 – 20:09 WIB
JAKARTA - Kinerja Tim Pencari Fakta (TPF) kasus dugaan rekayasa kriminalisasi pimpinan KPK mulai dicibirDekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Prof Arief Hidayat mengkritik soal cepatnya TPF mengeluarkan rekomendasi.

"Tim baru bekerja dua hari, masa pada hari kedua dia bekerja dari 14 hari yang diberikan Presiden SBY telah mengeluarkan rekomendasi Susno Duadji berhentikan, AH Ritonga dicopot dan tahan Anggodo

BACA JUGA: Ritonga Resmi Nyatakan Mundur

Apa rekomendasi itu tidak terlalu cepat dan sarat dengan nuansa emosional?" tanya Arief Hidayat dalam diskusi di press room DPR, Senayan Jakarta, Kamis (5/11).

Ditegaskan Arief, rekomendasi yang dikeluarkan oleh TPF itu secara substansi dan prosedural belum menyelesaikan masalah
Bahkan yang akan terjadi bisa sebaliknya

BACA JUGA: Lokasi Penyusunan BAP Rani Dipersoalkan Antasari

"Keadaan semakin kisruh," tegasnya.

Mestinya, kata Arief, TPF bekerja secara maksimal sesuai dengan batas waktu yang diberikan presiden selama 14 hari
Setelah itu baru tim sampaikan semua rekomendasi kepada pemberi mandat, dalam hal ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, saran Prof Arief.

"Yang perlu kita cermati bersama ke depan adalah bentuk rekomendasi apa yang mereka sampaikan ke Presiden SBY dan bagaimana presiden menyikapi rekomendasi tersebut

BACA JUGA: Meski Mundur, Proses Hukum Jalan Terus

Kalau terlalu cepat mengeluarkan rekomendasi kita cemas juga pada akhirnya TPF ini juga kehilangan kepercayaan dan menuai kecurigaan dari masyarakat," imbuhnya.

Menjawab pertanyaan tentang apa yang sesungguhnya saat ini terjadi di Indonesia saat ini, Arief mencermatnya sebagai sebuah proses konsolidasi dan perjalanan bangsa dari sistem otoriter ke sistem demokrasi"Namun yang  kita sesalkan, perkembangannya mengarah kepada saling mencurigai diantara sesama lembaga negara hingga terjadilah kesan seolah-olah Polri dan Kejaksaan akan menghabisi KPK," kata Guru Besar Hukum Tata Negara Undip itu.

Ia justru menganalisa, yang ada adalah terjadi perebutan titik-titik kekuasaan dan sumber-sumber keuangan negara sehingga terbentuk sistem 2:1:2"Yaitu dua tahun pertama berebut uang untuk partai politik: satu tahun cari uang untuk pribadi: dan dua tahun terakhir cari uang untuk merebut kekuasaanAkibat perbuatan para elit itu, akhirnya rakyat yang sengsara," kata Arief.

Karenanya Arief justru menyesalkan SBY selaku Kepala Negara yang tidak cepat turun tangan menengahi sengketa yang terjadi"Sebagai Kepala Negara, mestinya SBY cepat tanggap menengahinya."

Di tempat yang sama, Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Hasanuddin, Prof Aminuddin Ilmar menilai gelar perkara yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi berupa penyiaran hasil rekaman pembicaraan Anggoro dengan banyak pihak yang dilakukan KPK merupakan hal baru dan belum sesuai dengan prosedural hukum yang berlaku di Indonesia.

"Substansinya saya sadar betul kalau itu menggambarkan kekacauan aparatur penegak hukumTapi saya menyesalkan kenapa hasil rekaman itu tidak terlebih dahulu divalidasi oleh pihak-pihak yang berkompeten," kata Aminuddin Ilmar.

Dia berharap, kasus Bibit-Chandra ini tidak berakhir dengan SP3"Kasus ini harus berlanjut hingga ke pengadilan guna mendapatkan jawaban baik secara substansi maupun prosedural hukum yang berlaku," pintanya(fas/JPNN)

BACA ARTIKEL LAINNYA... SBY Disarankan Laporkan Anggodo


Redaktur : Antoni

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler