Rela Dinikahi Ipar, Ijab Kabul di Hadapan Kakak yang Koma

Minggu, 04 Desember 2016 – 07:00 WIB
Rela Dinikahi Ipar, Ijab Kabul di Hadapan Kakak yang Koma. Ilustrasi Fajar/Radar Surabaya/JPNN.com

jpnn.com - Inilah yang mungkin disebut budaya ngarang wuluh.

Seorang wanita yang tinggal di kawasan Tandes ini mau menikah dengan kakak iparnya.

BACA JUGA: Catat! PNS Harus Pakai Gas Ukuran Segini

Tujuannya satu, untuk mengasuh keponakan-keponakannya yang ditinggal mati ibunya.

Umi Hany Akasah - Radar Surabaya

BACA JUGA: Pelayanan Tidak Berjalan, Pengembang Merugi

SOSOK Karin memang sangat keibuan. Dia pernah sakit hati dengan seorang pria dan memutuskan tidak akan menikah.

Tahun 1990 rahimnya juga dioperasi, karena ada bakal kanker yang dimungkinkan akan semakin ganas bila dibiarkan.

BACA JUGA: Lampung Dilanda Cuaca Ekstrem, Pohon Tumbang Timpa Rumah Warga

Namun, tahun 1993 ia tak bisa menolak untuk menikah dengan kakak iparnya alias suami kakak perempuannya. Hal itu karena permintaan kakaknya yang nyawanya tidak bisa ditolong lantaran terkena kanker payudara.

“Keluarga kami memang punya indikasi keturunan kanker. Saya dulu masih mau tumbuh sudah dioperasi. Alhamdulillah, sekarang tidak apa-apa,” kata Karin ditemui di Pengadilan Agama (PA) Klas 1A Surabaya, Jum’at (2/12).

Awalnya, Karin menolak untuk menikah dengan suami kakaknya, sebut saja namanya Donjuan.

Apalagi waktu itu, Karin masih berumur 20 tahun. Sementara, Donjuan sudah hampir berkepala 5.

Akan tetapi, ia tak sanggup menolak lantaran keponakannya yang tidak lain adalah anak kakaknya masih berumur 2 bulan.

Sementara anak pertamanya, masih berusia 11 tahun.

“Kakak memang menikah di usia yang sudah tua. Makanya sudah kepala empat anaknya masih kecil-kecil,” jelasnya.

Sampai akhirnya, Karin tak berkutik karena keluarganya sudah menyiapkan segala kebutuhan pernikahan di dalam rumah sakit. 

Suasana makin terasa menyentuh hati tatkala Donjuan mengucapkan ijab kabul di hadapan kakak Karin yang sudah dalam keadaan koma. 

Satu jam setelah akad, kakaknya pun meninggal. Setelah itu tanggung jawab Karin pun menjadi ibu dari kedua keponakannya.

Karin tetap bekerja lantaran ia sudah berstatus PNS, sementara Donjuan bekerja sebagai tentara Angkatan Laut (AL).

Menurut Karin, di sela ia bekerja, keponakannya diasuh oleh orang tuanya yang kebetulan ikut dengannya.

Sejak muda Karin memang sudah mandiri. Lulus SMA dia ikut CPNS dan diterima di salah satu instansi perhubungan. 

Setelah tiga tahun menikah, wanita kelahiran 1 Desember 1973 itu harus kehilangan Donjuan.

Ia kecelakaan di kawasan Perak, sehingga ia pun harus mengasuh kedua keponakannya yang sudah dianggap anaknya sendiri itu seorang diri.

“Sayang banget sama anak-anak. Kasihan anak-anak tidak punya orang tua. Mbak Karin dan Mas Juan sudah tidak ada,” kata Karin.

Kini, empat tahun ia hidup sendiri dan makin mencintai dua keponakannya. Karin yang merupakan anak bungsu dari lima bersaudara perempuan semua itu, merasa menjadi bibi dan tante yang paling disayangi keponakannya. 

“Keponakan saya tujuh. Kalau beli baju, ya beli tujuh. Kalau beli makan, ya ingat keponakan-keponakan. Ya gimana lagi, saya tidak mungkin punya anak. Jadi, ya buat keponakan saja,” kata Karin.

Karin merasa sangat bersyukur memiliki keponakan yang sangat mencintainya.

Ia selalu banyak rezeki bila usai berbagi dengan keponakannya. Selain bekerja sebagai PNS, Karin juga berhasil memiliki bisnis kue kering dan toko beras di depan rumahnya.

“Bersyukur terus. Berkah merawat anak-anak yatim. Semua ini juga rezeki untuk mereka,” curhat Karin. 

(bersambung/opi/JPG/JPNN)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Hati-hati Yes, Ada Tembakau Sintetis Lho


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler