Renegosiasi Kontrak Gas Tangguh Bukan Prestasi Istimewa Hatta

Senin, 07 Juli 2014 – 03:33 WIB

jpnn.com - JAKARTA - Calon wakil presiden RI nomor urut 2, Jusuf Kalla (JK) menyatakan tidak ada yang istimewa dari klaim keberhasilan pemerintahan saat ini dalam renegosiasi kontrak gas Tangguh. Pernyataan itu ternyata dibenarkan oleh pakar hubungan internasional dari Universitas Indonesia Makmur Keliat.

Menurut Makmur, renegosiasi harga kontrak Tangguh harus dilihat sebagai tugas yang memang harus dijalankan pemerintah. "Jadi keberhasilan renegosiasi itu sudah menjadi konsekuensi dari perkembangan perekonomian global, yang menyebabkan perubahan harga minyak, dan gas internasional," kata Makmur.

BACA JUGA: Luhut Ajak Pendukung Jokowi Tak Takut Intimidasi

Dia lantas menjelaskan bahwa kebijakan Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri yang menjual gas Tangguh ke Tiongkok adalah sesuatu yang sangat penting dan mendesak. Secara politis, investasi yang dilakukan oleh BP Indonesia bersama mitra bisnisnya untuk produksi gas di Tangguh bertujuan menyampaikan sinyal bahwa Indonesia merupakan tempat investasi yang aman. 

Pada saat yang sama, penjualan gas melalui kontrak ke Tiongkok memberikan manfaat untuk memudahkan pemerintah medapatkan sumber pendanaan untuk mengatasi kendala fiskal (APBN).

BACA JUGA: Pilpres Curang Berpotensi Gejolak

Makmur mengatakan, kontrak yang dibuat pemerintahan saat itu sebenarnya sudah baik. Misalnya ada kepastian soak mekanisme penetapan harga gas yang masih dikaitkan dengan harga bahan bakar minyak di pasar internasional.

Selain itu, ada beberapa alasan lain yang membuat kontrak Tangguh sebenarnya sudah bagus. Menurutnya, tidak ada satupun institusi yang memproyeksikan bahwa harga minyak di pasar internasional, beberapa tahun setelah penandatangananan kontrak itu akan melonjak cepat hingga melebihi USD 100 per barrel.

BACA JUGA: Sebut Hatta Menjebak Diri soal Investigasi Kontrak Pertambangan

Dan harus diingat juga, karakter utama pasar gas di tingkat internasional ketika kontrak dibuat masih merupakan pasar pembeli. "Jadi posisi Indonesia sebagai negara penghasil gas tidak berada dalam posisi untuk mendikte penetapan harga kontrakm." tuturnya.

Karakter teknis dari gas sebagai komoditas energi mengharuskan investasi untuk produksi hanya dapat dimulai jika telah terdapat kesepakatan tentang siapakah pembeli dari gas yang diproduksi.

Dia menjelaskan, poin penting penetapan harga kontrak selalu terbuka untuk direnegosiasikan. Jadi, bukan sesuatu yang tertutup atau permanen. Itu terlihat dari fakta bahwa pada tahun 2006 terjadi perubahan penetapan harga menjadi lebih tinggi sebagai akibat kenaikan harga minyak di pasar internasional.

"Karena itu, kontrak penjualan gas ke Tiongkok dapat dipahami sebagai pilihan rasional karena pada saat itu penjualan gas di pasar internasional dapat dikonspetualisasikan sebagai pasar pembeli," jelas Makmur.

Selain itu menurut Makmur kontrak Tangguh juga terkait dengan investasi lain seperti bantuan untuk Jembatan Suramadu, power plant dll. Nah, pada saat tender dilakukan, Indonesia terancam oleh penawaran gas yang lebih murah dari Australia, maka pendekatan politikpun dilakukan oleh Megawati, antara lain melalui diplomasi dansa.

"Atas apa yang dilakukan pemerintah dengan demikian memang wajar dilakukan. Karena kontraknya memang memberi ruang negosiasi setiap 4 tahunan. Yang kini menjadi persoalan justru perpanjangan kontrak Freeport sebelum masa berlakunya habis," tutupnya. (mas/jpnn)
 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dahlan Saur Bareng Santri


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler