DARI historiografinya, wartawan senior Joesoef Ishak yang meninggal dunia 15 Agustus 2009 dinihari di usia 81 tahun, pantas menjadi anggota Partai Komunis Indonesia (PKI)Dia adalah salah seorang dari tiga pendiri penerbit Hasta Mitra yang menerbitkan buku-buku Pramoedya Ananta Toer di zaman Orde Baru
BACA JUGA: Fiksi Gerr Nazaruddin
Seperti Pramoedya Ananta Toer dan Hasyim Rahman, dua orang pendiri Hasta Mitra lainnya, Joesoef pun pernah mendekam 10 tahun dalam penjara Orde Baru dan baru dibebaskan pada 1977.Apalagi Joesoef pun dekat dengan tokoh PKI macam Nyoto dan DN Aidit, dan menggemari Marxisme, seperti halnya Bung Karno
BACA JUGA: Takdir Politik Era Reformasi
Sehingga kau bisa begitu saja jadi anggota,” kata Joesoef kepada Ibrahim Isa, seorang wartawan senior PKI, yang kemudian ditulis Isa dalam sebuah serial.Joesoef tak pernah menjawab eksplisit, mengapa ia tak bisa menjadi anggota PKI
BACA JUGA: Duka Lara Negeri Lautan
Logikanya, tak mungkin seorang burjuis menjadi komunis.“Tidak mudah jadi anggota PKISedikitnya orang harus lebih dahulu membuktikan selama dua tahun jika mau jadi anggota PKI,” katanyaPadahal, Joesoef sangat ingin jadi komunis.
Jika dia diterima menjadi anggota PKI, partai ini akan beruntung karena Joesoef kala itu menjabat sebagai Wakil Pemimpin Redaksi dan kemudian Pemimpin Redaksi Harian Merdeka, yang didirikan oleh BM Diah. Bisa-bisa Merdeka secara implicit menjadi corong PKI, bukan?
Saya sendiri pernah menanyai soal itu kepada Joesoef ketika berkunjung ke rumahnya di Jalan Duren Tiga, Jakarta SelatanKala itu saya sering mengunjunginya karena gara-gara mengutip pidatonya di Fordham University, New York pada 24 April 1999, saya diadili di PN Depok karena dianggap menghina Kejaksaan Agung pada 2007 lalu.
Eh, Joesoef menjawab ringan“Mungkin karena saya suka ke night club dan mendengar lagu-lagu barat yang dianggap gaya hidup burjuis,” katanya seraya tertawa.
***
Betapa kontras pengalaman Joesoef itu jika dibandingkan dengan fakta rekrutment di tubuh parpol kita dewasa iniNazaruddin tiba-tiba menjadi Bendahara Umum DPP Partai DemokratGejala yang sama juga ditemukan di banyak partai politik kita.
Bahkan, ada gubernur, bupati dan walikota menjadi ketua parpol di daerahAda pula “kutu loncat” dari satu partai ke partai lain. Advokat terkenal mudah masuk jajaran pengurus partaiJuga para pengusaha yang motifnya hanya sekedar meraih koneksi dan memperlancar bisnisnya.
Zaman memang sudah berubahPertimbangan ideology untuk memasuki satu partai tak lagi dominantApalagi jika dicermati antara satu partai dengan lainnya, setidaknya dengan melihat ekspresi politiknya, perbedaan ideology antarpartai nyaris tipis saja.
Tak heran jika koalisi antarpartai, baik dalam mencalonkan presiden, gubernur, walikota dan bupati sangat lenturSiapa saja boleh berkoalisi dengan siapa, dan pertimbangannya hanya untuk merebut kekuasaanKoalisi itu bahkan berbeda-beda antardaerah yang semakin meneguhkan bahwa politik kepentingan menjadi nomor satu, dan ideology tak lagi masuk hitungan.
Jika mau disederhanakan, partai bisa diandaikan kenderaan untuk mencapai tujuanKini naik kenderaan Anu, besok naik kenderaan lain pulaYang penting bisa menjadi pengurus di pusat dan daerah, dan peluang menjadi anggota DPRD-DPR, bahkan anggota cabinet.
Fenomena umum ini membuktikan tidak adanya pola rekrutmen partai yang berbasis ideology yang biasanya terseleksi dalam pengkaderan, baik berupa kursus politik maupun program kaderisasi yang berjenjang dari bawah hingga ke tingkat puncak.
Membaca buku yang ditulis oleh Jhon D Ledge dari University of Oxford Inggris bertajuk "Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan" (Pustaka Utama Grafiri 1993), tampak betapa rekrutmen di tubuh Partai Sosialis Indonesia (PSI) pimpinan Soetan Sjahrir sangat kualitatifSetiap calon anggota dan kader harus paham berbagai knowledge yang menyangkut masalah social, politik, ekonomi, kebudayaan dan masalah internasionalSedikitnya pengetahuan elementer.
Hal itu dimungkinkan karena umumnya kader PSI adalah para intelektual tamatan sekolah hukum dan kedokteranSebutlah, Soedjatmoko, Mahruzar, Sitorus hingga berbagai nama yang belakangan sebagian menjadi anggota cabinet di masa Sjahrir, maupun sesudahnya.
Sebetulnya, pola kaderisasi itu pernah berlangsung sistematis di tubuh organisasi mahasiswa, seperti HMI, IMM,PMII, GMNI, PMKRI dan GMKI di awal Orde BaruSeseorang hanya bisa menjadi pengurus tingkat kampus jika sudah lolos basic training, dan kaderisasi ini akan berjenjang naik jika seseorang hendak menjadi pengurus kabupaten-kota, provinsi dan seterusnya tingkat nasionalTanpa itu, jangan harap Anda bisa menjadi pengurus.
Gersangnya kaderisasi itu yang memungkinkan munculnya para oportunis di partai politik yang jangan-jangan menganggap partai adalah “peluang kerja.” Jika sudah masuk ke sturuktur kekuasaan, baik di legislative dan eksekutif adalah “jembatan emas” untuk memburu rente di berbagai proyek pemerintahan.
Kader partai menjadi sangat pragmatis dan transaksional, dan sedikit saja yang transformative demi pengabdian kepada kepentingan rakyat. Tragisnya, tak sedikit pula yang tersadung dengan kasus suap dan korupsi, sehingga citra partai terempas ke titik nadir.
Jika tidak lagi dipercayai oleh rakyat, saya kira ini prosfek buruk bagi partaiPadahal, partai adalah instrument paling utama dari demokrasi. Jika partainya tak becus maka kualitas demokrasi pun amburadul yang berakibat buruk kepada masa depan bangsa.
Masih ada waktu tiga tahun hingga Pemilu 2014 untuk melakukan konsolidasi dan kaderisasiPaling penting, lakukan kristalisasi terhadap kader yang menjadi virus bagi partaiAmputasi saja, tanpa tedeng aling-alingBagaimana, tuan-tuan politikus? (***)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Win-Win ala Jepang
Redaktur : Tim Redaksi