jpnn.com, JAKARTA - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dinilai tidak bisa memaksa pemegang izin usaha untuk melakukan revisi rencana kerja usaha (RKU) agar menyesuaikan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2014 sebagaimana diubah dengan PP Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
"Hal ini sesuai dengan asas umum dalam peraturan perundang-undangan yang harus tunduk pada asas prospektif (berlaku ke depan) dan tidak boleh berlaku surut (retroaktif) demi memberi jaminan kepastian hukum bagi mereka yang telah mendapatkan izin usaha secara sah," ujar Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Mohammad Mahfud MD.
BACA JUGA: RAPP Klaim Tak Pernah Bermaksud Melawan Negara
Mahfud memberikan pendapat hukum (legal opinion) terkait dengan izin usaha Rencana Kerja Usaha Pemanfataan Hasil Hutan Kayu Tanaman Indusri (RKU-PHHK-HTI) PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP). Izin usaha tersebut periode tahun 2010-2019.
KLHK melalui Keputusan Nomor 5322/MenLHK-PHP/UHP.1/10/2017 membatalkan izin usaha RAPP berdasarkan PP Nomor 17 Tahun 2014 sebagaimana diubah dengan PP Nomor 57 Tahun 2016.
BACA JUGA: Hamdan Zoelva Nilai Pembatalan RKU RAPP Tak Ada Dasar Hukum
RAPP mengajukan keberatan atas Keputusan KLHK. Saat ini, RAPP mengajukan pembatalan atas eputusan KLHK di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sebab, KLHK tidak merespons keberatan yang diajukan RAPP setelah sepuluh hari diajukan.
RAPP mengajukan permohonan ke PTUN sesuai dengan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
BACA JUGA: KLHK Anggap RAPP Menghindar dari Kewajiban
Pasal itu menyatakan, apabila pejabat pemerintahan tidak merespons atas keberatan maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan secara hukum. Pemohon juga mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk memperoleh putusan agar permohonan tersebut diterima.
Mahfud menjelaskan, ketentuan PP 17 Tahun 2014 sebagaimana diubah dengan PP 57 Tahun 2016 tidak dapat diberlakukan kepada pemegang izin usaha yang memperolehnya secara sah dan telah terbit serta beroperasi sebelum diterbitkannya PP tersebut.
Dia menegaskan, ketentuan peralihan yang ada pada Bab VIII Pasal 45 PP tersebut justru jelas-jelas menyebutkan bahwa izin usaha untuk memanfaatkan ekosistem gambut yang terbit sebelum PP berlaku dan sudah beroperasi dinyatakan tetap berlaku sampai jangka waktu izin berakhir.
"Ketentuan pasal 45 ini telah dengan jelas memberi jaminan kepastian hukum sebagai salah satu asas umum pemerintahan yang baik (AUPB)," ujar Mahfud.
Dia menjelaskan, pemegang izin yang telah terbit dan telah beroperasi sebelum diundangkannya PP 17 Tahun 2014 sebagaimana diubah dengan PP 57 Tahun 2016 yang menolak melakukan revisi RKU untuk menyesuaikan PP tersebut tidak dapat dikenakan sanksi.
"Hal ini didasarkan pada perlindungan jaminan kepastian hukum agar pemegang izin dapat bekerja sesuai dengan izin yang diperolehnya secara sah tanpa boleh dirugikan secara sewenang-wenang," kata Mahfud.
Pendapat senada dipaparkan Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran Bandung Bagir Manan.
Dia menjelaskan, asas yang dipakai dalam menerapkan peraturan baru termasuk peraturan perubahan hanya mengikat ke depan (future binding).
Mantan ketua Mahkamah Agung ini mengatakan, berbagai akibat yang mengikat ke depan, maka peraturan baru tidak boleh berlaku surut atau non-retroaktif.
"Peraturan hanya mengikat ke depan atau future binding, dan sanksi semacam itu tidak diatur oleh peraturan terdahulu. Pemegang izin tidak dapat dikenakan sanksi karena di masa lalu tidak melaksanakan kewajiban. Penerapan sanksi hanya dapat diterapkan kalau terjadi pelanggaran di masa depan," kata Bagir.
Dia menjelaskan, ketentuan PP Nomor 57 Tahun 2016 sebagai PP baru pengganti PP Nomor 17 Tahun 2014 dapat dipandang sebagai sekadar penegasan atas ketentuan PP lama yang harus dipatuhi.
"Namun, apabila persyaratan atau izin sudah ada, PP yang baru tidak dapat dijadikan dasar untuk secara serta merta mencabut perizinan usaha yang sudah ada. Ini merupakan asas yang berlaku ke depan," kata Bagir.
Apabila terjadi juga pencabutan izin berdasarkan PP yang baru, maka telah terjadi dua hal.
Pertama, terjadi pelanggaran prinsip "larangan berlaku surut". Kedua, sebagai beschkking, pencabutan izin itu diselesaikan melalui forum peradilan Tata Usaha Negara (TUN).
Bagir menegaskan, setiap perubahan apalagi pencabutan izin yang sudah ada harus tunduk pada proses yang sesuai dengan hukum.
Hal tersebut meliputi keharusan memberitahukan kepada pihak yang akan terkena pencabutan izin dalam waktu yang cukup, keharusan mendengar dalam forum resmi, keharusan mendengarkan pertimbangan pihak lain, setiap pencabutan tidak boleh merugikan segala hak yang sah yang telah timbul dari perizinan, dan harus mempertimbangkan kerugian ekonomi dan sosial. (jos/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jadi Saksi Ahli Sidang PT RAPP, Zudan Pilih Tak Berpolemik
Redaktur & Reporter : Ragil