jpnn.com, JAKARTA - Tindak lanjut reformasi perpajakan yang menyasar revisi Undang-Undang Pajak Penghasilan menjadi salah satu hal yang ditunggu pelaku usaha.
Sebab, sejumlah poin dalam revisi tersebut menyangkut penurunan tarif pajak penghasilan (PPh).
BACA JUGA: Target Pelaporan SPT Mustahil Tercapai
Tidak hanya wajib pajak badan, tetapi juga wajib pajak orang pribadi (OP).
Presiden Joko Widodo dikabarkan meminta tarif PPh badan bisa diturunkan hingga 17 persen atau mirip dengan tarif di Singapura.
BACA JUGA: Pelaku e-Commerce Harus Taat Pajak
Ketua Tim Reformasi Perpajakan Suryo Utomo mengakui, pembahasan penurunan tarif PPh memang termasuk poin revisi UU PPh.
Namun, sambung Suryo, kajian masih dilakukan di internal Kementerian Keuangan.
BACA JUGA: Target Rp 191 T, Penerimaan Bea dan Cukai Baru Rp 22 T
”Itu jadi bahan dalam diskusi kami. Subjeknya apa masih sama, objeknya apakah masih penghasilan seperti yang ada di isu world wide tax terithory segala macam, kan, masih terus didiskusikan,” papar Suryo.
Staf Ahli Menkeu Bidang Kepatuhan Pajak itu menuturkan, wacana penurunan tarif PPh tersebut makin menguat setelah program pengampunan pajak.
Alasannya, pada saat program amnesti pajak, wajib pajak (WP) mendapatkan tarif pajak yang sangat rendah.
”Karena itu, sejumlah pihak menilai, penurunan tarif PPh merupakan hal yang tepat dilakukan setelah amnesti pajak,” terangnya.
Selain tarif PPh, Tim Reformasi Perpajakan membahas revisi peraturan menteri keuangan (PMK) terkait perlakuan penghasilan dari perusahaan terkendali di luar negeri yang dimiliki WP Indonesia (controlled foreign company/CFC).
Ketentuan terkait CFC telah diatur dalam pasal 18 ayat (2) UU PPh serta aturan turunannya, PMK Nomor 256/PMK.03/2008 dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak (PER) Nomor 59/PJ/2010.
Pada dasarnya, CFC tersebut biasanya digunakan untuk mencegah WP melakukan penghindaran perpajakan atas penghasilan yang diperoleh dari perusahaan di negara yang tingkat pajaknya lebih rendah.
Caranya, menunda pembagian penghasilan (dividen) ke WP.
Karena tidak ada pembagian dividen, pemerintah Indonesia pun tidak bisa menarik pajak dari perusahaan tersebut.
Selama ini, pemerintah memberi perhatian terhadap besarnya investasi yang dilakukan entitas bisnis Indonesia di luar negeri.
Namun, tidak ada investasi yang mendatangkan dividen.
Pemerintah meyakini WP tersebut menggunakan kendaraan khusus untuk tujuan tertentu atau special purpose vehicle (SPV) untuk mengurangi, bahkan meniadakan pajak dari dividen.
Beleid yang berlaku saat ini memang masih memiliki kelemahan. Antara lain, tidak ada kewajiban untuk melaporkan pembagian hasil atau dividen.
Kewajiban melaporkan pembagian dividen dari investasi di luar negeri akan dimasukkan UU PPh.
”Menteri keuangan akan berwenang menentukan kapan WP menerima dividen atau deemed dividend. Kami akan mengubah kapan Anda menerima dividen dan menyatakan WP ini memiliki dividen dalam periode tertentu,” terangnya.
Terkait CFC, Suryo berjanji merampungkan dalam waktu dekat. Meski demikian, dia belum mau berbicara banyak terkait poin-poin revisi UU PPh lainnya.
”Kami mau mendudukan propernya seperti apa sih. Mudah-mudahan sebulan lagi akan dielaborasi, tetapi tetap basisnya di pasal 18 ayat 2 UU PPh,” imbuhnya.
Anggota Tim Reformasi Perpajakan Yustinus Prastowo menambahkan, poin-poin revisi UU PPh belum sepenuhnya dibahas dalam rapat tim reformasi perpajakan yang sudah berlangsung dua kali.
Menurut dia, poin-poin revisi UU PPh itu masih memasuki tahap pembahasan internal Kemenkeu.
”Saya belum tahu detailnya. Saya juga sudah minta bocoran, belum dikasih sampai sekarang,” katanya. (res/ken/c21/c15/noe)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Revisi Aturan Insentif Pajak demi Gaet Investor
Redaktur & Reporter : Ragil