jpnn.com - CERITA ini tak terlupakan. "Setiap detiknya saya ingat betul," kata Titiek Puspa. Sebuah kisah ajaib. Dan, agaknya inilah sihir alam yang membuatnya brilian dan awet muda.
=======
Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network
=======
BACA JUGA: Kisah Bung Karno Diayun Manap Sofiano
Titiek Puspa saat itu kelas empat SD di Temanggung, Jawa Tengah. Karena kesusahan hidup dan malaria akut yang dideritanya, dia menjadi murid bodoh. Titiek sulit konsentrasi sebab menahan gemetar hebat sepanjang pelajaran berlangsung.
Menurut cerita perempuan kelahiran 1 November 1937 itu, tak ada satu murid pun mau membantunya. "Bahkan guru pun tak jarang bersikap sinis," kenang Titiek, dicuplik dari buku Titiek Puspa--A Legendary Diva, karya Alberthiene Endah.
BACA JUGA: King...I am Liem Swie King (3/habis)
Suatu hari hujan turun lebat saat pelajaran berlangsung. Petir bersahut-sahutan. Seperti sering dialaminya, rasa panas dingin mulai menjalari tubuhnya. Disusul getaran hebat di sekujur badan. Titiek menggigil.
"Kamu sakit lagi," tanya guru berusia 40 tahun itu. Titiek mengangguk.
BACA JUGA: Kisah Asmara Liem Swie King dan Eva Arnaz Hanya Ada Di Sini...
"Kalau begitu pulang saja sana!" kata Pak Guru dengan nada menghardik.
"Hujan pak, saya sakit...saya takut hujan," Titiek merintih.
Berkali-kali Pak Guru mendesak Titiek pulang, berkali-kali pula Titiek bersitahan karena takut hujan. Pak Guru menyeret lengannya. Jemari Titiek mencengkeram pinggiran meja. Dia enggan beranjak.
"Saya bilang pulang! Atau saya ludahi kamu..."
Mendengar itu, Titiek berang. Air matanya berlinang. Dia kemasi buku dan barang-barang. Lalu hengkang.
Sihir Alam
"Kisah ini saya pendam berpuluh tahun, bahkan pada keluarga saya. Hanya hati saya yang memeliharanya dalam diam," ungkap Titiek, dilansir dari buku Titiek Puspa--A Legendary Diva, yang ditulis Alberthiene Endah.
Rahasia ini terungkap bisa jadi karena kelihaian Alberthiene dalam mereportase narasumbernya.
Jadi, ketika diusir dari kelas, Titiek merasakan ada energi asing merasuk ke tubuhnya. Seperti gelombang emosi tak terkendali. Dia berlari menembus hujan. Kuyup sekujur tubuh. Dalam dingin yang teramat sangat, kepalanya bertambah pusing. Pikir Titiek, dia akan segera mati.
Titiek dilanda kemarahan hebat, dia berhenti di tengah jalan sepi dan menengadahkan wajah ke langit.
"Tuhan! Katanya Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang. Kenapa saya dibuat begini? Kenapa saya sakit-sakitan, sementara anak-anak lain sehat? Bisa menyanyi, bisa belajar, bisa tertawa! Mati saja saya, Tuhan..." Titiek berteriak-teriak.
Hujan kian deras. Air mata Titiek pun menderas. Dia menangis sejadi-jadinya. "Petir menggelegar seperti menjawab teriakan saya," kenang Titiek sebagaimana dituturkan Alberthiene Endah.
Titiek masih memandang langit. Dia berteriak lagi. "Saya nggak takut! Saya nggak takut! Ayo, Tuhan, bunuh saya! Ini dada saya! Saya nggak takut!"
Petir kembali menggelegar. Puas mengumpat, dengan sisa-sisa kekuatan dia meneruskan perjalanan. Melewati kebun, tepi sungai dan merangkak di rel kereta.
"Saya merangkak di rel kereta karena tubuh saya tak mampu lagi berjalan. Saya menangis selama menyusuri bilah-bilah rel. Biarlah mati, pikir saya saat itu. Biar saja bila ada kereta lewat melumat tubuh saya," Titiek mengenang masa lalunya.
Titiek bahkan merangkak di rel yang melintas di atas Sungai Progo yang terkenal dengan arus liarnya. Bila tergelincir, batu-batu besar menanti di bawah. Akhirnya, dia sampai di kebun belakang rumah. Namun, kata Titiek, saat itu...
...hasrat saya untuk segera mati terus berkobar. Dengan kalap, seperti diganduli roh yang asing, mendadak saya menjadi beringas. Saya petiki buah-buah mentah yang ada di kebun itu. Buahnya macam-macam. Ada mangga, mengkudu, pepaya, jambu. Saya juga memetik petai cina dan macam-macam lagi.
Semua diangkut dengan tadah rok sekolahnya. Sesampai di belakang rumah, buah-buahan mentah itu ditarok dalam lesung. Dia petik lagi cabe rawit yang sedang berbuah banyak. Semua masuk lesung. Ditambah garam, dia mulai menumbuk.
Tumbukan itu dilahapnya sampai habis. "Rasanya pedas, pahit, asam, getir! Saya habiskan dengan harapan agar saya lebih cepat mati...dan blep! dunia gelap. Saya tak sadarkan diri."
Dia sadarkan diri ketika hari sudah gelap. Bangkit dari tanah dingin dan basah, Titiek mengendap-endap masuk rumah. Semua sudah tidur. Tanpa mengganti pakaian dia nyempil di antara adik-adiknya di ranjang yang sempit.
Esok paginya...
Astaga! Saya merasakan sesuatu yang ajaib. Kepala saya terasa ringan, jernih dan tidak pusing sama sekali. Badan saya pun rasanya segar dan kuat. Seperti ada energi baru yang mangaliri tiap sendi. Saya berlari lincah keluar rumah...tertawa kerkepanjangan...
Dan di sekolah, dengan cekatan dia mengerjakan tugas dan dapat ponten 10. Dia juga bernyanyi. Pak Guru yang galak itu pun terbengong-bengong.
Sepulang sekolah, Titiek ke kebun yang kemarin. Dia panjat pohon yang paling tinggi. Sambil menengadah ke langit dia bersorak, "Tuhan, saya sudah sembuh! Saya juga nggak lemah lagi! Saya sehat!" sambil mengumbar tawa riang.
"Tuhan..." katanya lagi, "saya minta maaf kemarin saya marah sama Tuhan. Ampun ya, Tuhan. Ampun ya. Tuhan ternyata baik sama saya."
Sejak hari ajaib itu, saban siang Titiek selalu ke puncak pohon itu dan "bercengkrama" dengan Tuhan. Dia menyanyi, ngobrol, berdoa dan bercerita.
"Barangkali jika ada orang lewat dan melihat, mereka akan menganggap saya gila," kata Titiek Puspa. "Kelak, berpuluh tahun kemudian, saya sadari, kejadian itu adalah "sentuhan" tangan Tuhan untuk mengubah hidup saya. Hingga hari ini, penyakit-penyakit itu tak pernah datang lagi." (wow/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... King...I am Liem Swie King (1)
Redaktur : Tim Redaksi