Salah satu upaya penyidik mengungkap kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen yang melibatkan Antasari Azhar adalah menggunakan pendekatan psikologi forensikIlmu ini tergolong langka
BACA JUGA: Reza Indragiri, Master Langka Bidang Psikologi Forensik
Tapi, ada yang secara khusus mempelajarinya, bahkan hingga ke Australia.-------------------------------
NAUFAL WIDI, Jakarta
-------------------------------
UMURNYA masih tergolong muda, 35 tahun
BACA JUGA: Mooryati Soedibyo; Umur 82 Tahun dan Obsesinya tentang Jamu yang Tak Pernah Berhenti
Apa bedanya dengan psikologi" "Kalau psikologi, itu ada unsur terapinyaBACA JUGA: Pagi Membaik, Siang Ada Enam Sumbatan di Panggul
Reza merupakan satu dari sedikit orang yang secara khusus menekuni psikologi forensikMungkin juga, baru dia yang menjadi master psikologi forensik pertama di IndonesiaKetua Jurusan Psikologi Universitas Bina Nusantara (Binus), Jakarta, itu memperoleh gelar MCrim (Forpsych) dari University of Melbourne, Australia.
Lebih lanjut pria kelahiran 19 Desember 1974 itu menjelaskan, psikologi forensik tidak untuk menimbulkan empati"Kalau begitu, bisa-bisa yang timbul adalah yang baik-baik," terang RezaSebaliknya, saat melakukan pemeriksaan atau observasi, dia datang untuk membuktikan bahwa sesuatu itu tidak benar"Jadi, yang kita kedepankan adalah curiga," katanya
Lulusan psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta itu menerangkan, psikologi forensik merupakan cabang ilmu psikologi yang membicarakan korban dan aktor kejahatan untuk kepentingan criminal justice system (penegakan hukum)Ilmu itu ada sejak 1901, ketika terbit buku On The Witness StandBuku ini menceritakan dinamika psikologis saksi ketika dihadirkan dalam persidangan.
Namun, oleh otoritas tertinggi psikologi, The American Psychological Association (APA), psikologi forensik baru diakui sebagai cabang ilmu tersendiri pada 1991Meski demikian, untuk kepentingan penegakan hukum di Indonesia, penggunaan psikologi forensik masih sangat minim"Selain itu, basis psikologi forensik secara keilmuan belum kuat sehingga kurang khasKalau (ilmu) psikologinya sudah diakui," ujarnya.
Reza menerangkan, ada tiga objek psikologi forensikYakni, penegak hukum, korban, dan pelaku kejahatanSalah satu fungsi psikologi forensik adalah mendeteksi sifat, perilaku, dan kepribadian penjahatTermasuk di dalamnya tes kebohonganNamun, tentang yang disebut terakhir, Reza mengungkapkan hasil penelitian yang cukup menarik"Berdasar penelitian di luar negeri, untuk lebih akurat mengetahui seseorang bohong atau tidak, maling ya diperiksa oleh maling, penjahat oleh penjahat," urainya lantas tersenyum.
Reza mengakui, ilmu yang ditekuni itu tidak bisa menghasilkan banyak keuntungan secara finansialBerbeda halnya dengan cabang ilmu psikologi yang lainBahkan, Reza sudah diingatkan saat masuk di University of Melbourne"Tapi, saya pikir ini strategisDengan melihat Indonesia ke depan, psikologi forensik bisa mengambil tempat," katanya optimistis.
Saat menempuh pendidikan, dia juga melakukan beberapa penelitianDi antaranya terkait kejahatan seksual dan pengambilan keputusan dalam sidang"Saya bisa mengembangkan penelitian tanpa harus menunggu ada kasus-kasus tertentu," terang pria yang pernah mengajar di Pendidikan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) ini
Tentang praktik psikologi forensik di tanah air, Reza juga menyoroti banyaknya tindakan yang berangkat dari common sense (pikiran sehat) daripada data terukurDia lantas menceritakan saat dirinya diminta ikut mengevaluasi penerimaan siswa di Akademi Kepolisian (Akpol) dari lulusan SMA dan S-1.
Sesuai dugaan awal Reza, banyak yang menyebut lulusan S-1 susah diatur"Saya gunakan filosofi berjenjangKalau sudah S-1 cenderung akan pongah," katanyaNamun, temuan hasil penelitiaannya justru mengatakan sebaliknya"Justru lulusan S-1 mempunyai keluwesan untuk dibentuk," sambungnya.
Menurut dia, hasil temuan itu tidak mengejutkanAlasannya duaPertama, berdasar psikologi perkembangan, usia SMA adalah saat ego sedang tinggi-tingginya"Sebaliknya, usia S-1 lebih teduh," ungkap Reza.
Alasan kedua, kalau ada lulusan S-1 yang pongah, bisa jadi bukan karena latar belakang akademiknyaHarus dilihat modifikasi kurikulumnya, apakah cukup terbagi antara lulusan SMA dan S-1"Makanya, itu yang saya rekomendasikan (modifikasi kurikulum)," kata ayahanda Menza Fadiyan Amriel, 6, dan Devinza Amriely, 5, ini.
Hal itu juga sejalan dengan kebanyakan organisasi kepolisian di negara-negara majuBanyak yang memberikan kualifikasi S-1 untuk masuk ke dalamnya"Yang global di negara-negara lain, sudah meninggikan syarat masuk organisasi Polri," jelas Reza.
Dengan psikologi forensik, Reza mempunyai sudut pandang lain dalam melihat kasus-kasus kejahatanMisalnya, dalam kasus pemerkosaanUmumnya, polisi menilai bahwa motif pelaku pemerkosaan adalah pemenuhan hasrat seksualNamun, dia melihat justru motif kekuasaan merupakan hal yang utama dalam banyak kasus pemerkosaan di Indonesia.
Terkait pemeriksaan psikologi terhadap Antasari Azhar, Reza mengaku tidak mengetahuinyaDia juga tidak menjadi bagian dari tim yang memeriksa Antasari, yang diketuai Yusti Probowati, ketua umum Asosiasi Psikologi Forensik (Apsifor)Saat dimintai pendapat, Yusti tidak bersedia menyampaikannyaAlasannya, dia dibatasi oleh kode etik profesi.
Berdasar hasil pemeriksaan yang disampaikan di persidangan, Antasari dinilai memiliki tingkat agresivitas yang tinggiNamun, tingkat agresivitas tersebut dapat ditutupi dengan kemampuannya mengendalikan emosi. (kum)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bisa Eksis karena Mengelola dengan Hati
Redaktur : Antoni