Riwu Ga, Hikayat Pelayan Setia Bung Karno

Sabtu, 26 September 2015 – 13:17 WIB
Rumah Pembuangan Bung Karno di Ende. Foto: Dok. JPNN.com.

jpnn.com - EMPAT tahun lamanya Bung Karno diasingkan Belanda ke Ende, Nusa Tenggara Timur. Sejak 1934 hingga 1938. 

Suatu hari, Ratna Djuami anak angkat Bung Karno dan Inggit memanggil penjaja kue yang melintas di depan rumahnya.  

BACA JUGA: Dari PKI ke PKI

"Siapa nama anak?" tanya Inggit saat akan membayar.

"Riwu Ga," jawab si penjaja kue.

BACA JUGA: Yang harus Anda Tahu Soal Sejarah Sarinah, Ternyata Departement Store Pertama

“Maukah anak bekerja dengan kami? Mau anak tinggal dengan kami di sini,” ajak Inggit kepada Riwu Ga, seperti dilansir dari buku karya Peter A. Rohi, Kako Lami Angalai

Tak langsung menjawab, Riwu sempat terdiam dan kaget. Inggit kembali menegaskan kembali soal tawarannya itu. 

BACA JUGA: Ketua PKI Pertama Itu Anak Muda Lho

“Anak mau tinggal di sini dengan kami? Kalau mau, anak akan dapat satu rupiah sebulan,” ajaknya lagi. 

Tanpa pikir panjang, Riwu mengiyakan. Gaji satu rupiah saat itu sangat besar. 

Riwu Ga bangun lebih dulu sebelum Bung Karno menunaikan solat subuh. Ia siapkan segelas air putih dicampur kapur. 

“Untuk apa ini sahabat?” tanya Bung Karno yang mulanya belum mengerti. 

“Biar suara Bung Karno lebih menggelegar,” jawab Riwu. Ya, Riwu adalah orang yang berperan membentuk karakter suara Bung Karno.

Pengabar Proklamasi

Sesaat setelah membacakan proklamasi kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, Bung Karno yang sedang flu memanggil Riwu Ga dengan sapaan hangat. 

“Angalai (sahabat), sekarang giliran angalai. Sebarkan kepada rakyat Jakarta, kita sudah merdeka. Bawa bendera,” perintah Bung Karno. 

Bersama seorang pria bernama Sarwoko yang mengemudikan jip terbuka, Riwu Ga melambai-lambaikan bendera merah putih sepajang jalan. 

Riwu Ga berteriak-sorak. “Indonesia sudah merdeka! Indonesia sudah merdeka! Kita merdeka saudara-saudara.”

Dari Pegangsaan, Riwu keliling ke arah Tanah Abang, Pasar Baru, dan memutar ke Jatinegara.  Kemudian masuk pasar-pasar. 

Apa hendak dikata, setelah Bung Karno jadi presiden, Riwu Ga tidak bisa lagi terlalu dekat. Bukan Bung Karno yang menjauh, tapi Riwu Ga yang mengaku harus tahu diri. 

Saat diwawancara Peter A. Rohi, Riwu Ga menceritakan ketika sudah jadi presiden, Bung Karno sibuk luar biasa. 

Lama mereka tak senda gurau. “Terus terang terang, terkadang saya merindukan masa-masa manis, saat mana saya merasa diri ini sangat berarti,” kenang Riwu, sebagaimana ditulis Peter Rohi dalam Riwu Ga, 14 Tahun Mengawal Bung Karno

"Semua harus saya lupakan. Kisah hidup toh tak akan sewarna terus,” kenang Riwu. 

Saat Bung Karno dan ibukota pindah ke Yogya, Riwu Ga dititipkannya kepada Harun Al Rasyid untuk bekerja di Kantor Pos Besar Jakarta. 

Riwu Ga, saksi mata pembacaan teks proklamasi itu berpulang pada tanggal 17 Agustus 1997 akibat sakit tipus dan komplikasi, dalam usia 78 Tahun di RS, Prof. W.Z. Johannes, Kupang, Timor. 

Empat belas tahun ia menjadi pelayan Bung Karno. Dari Ende, Riwu ikut Si Bung ke Bengkulu, Padang dan Jakarta. 

Lebih dari seorang pelayan, pengawal, Riwu Ga juga sahabat Bung Karno. Ibu Inggit serta kedua anak angkatnya, Ratna Djuami dan Kartika sangat menyayanginya. 

Penulis: Afditya Iman Fahlevi, Keluarga Mahasiswa Universitas Bung Karno, Jakarta.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Intip Yuk, Kongres Pertama PKI


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler