Rp 1 Triliun Berpotensi Hanya jadi Bancakan Elit Partai

Senin, 09 Maret 2015 – 19:07 WIB

jpnn.com - JAKARTA – Direktur Centre For Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi, mengatakan, wacana partai politik dibiayai negara hingga Rp 1 triliun per tahun, harus ditolak. Alasannya, dana itu bisa menjadi bancakan para elit partai, mengingat kondisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang saat ini telah lebih dahulu dilemahkan.

“Dulu sebelum KPK dilemahkan, sangat setuju sekali bila partai mendapat Rp 1 triliun. Tapi saat ini harus ditolak. Karena pengawasan dari KPK pasti lemah. Selain itu Rp 1 triliun bisa-bisa bukan untuk kepentingan partai atau rakyat, tapi jatuh ke tangan pemilik partai. Karena saat ini partai bukan milik rakyat, tapi milik pimpinan partai sebagai komisaris utama,” katanya, Senin (9/3).

BACA JUGA: Ini Pujian dari Fahri Hamzah untuk Hakim Sarpin

Menurut Uchok, wacana penggelontoran dana tidak boleh serta merta mengemuka, sebelum adanya perbaikan nyata manajemen partai politik dari partai keluarga menjadi partai milik publik. Selain itu, juga tidak boleh mengemuka sebelum ada jaminan kader partai tidak korupsi.

“Tidak pantas parpol memeroleh kucuran dana Rp 1 triliun dari APBN. Mereka dapat duit juga belum tentu tidak mau ‘puasa’. Artinya kader partai tidak ada jaminan stop melakukan korupsi,” katanya.

BACA JUGA: Dorong Ponpes jadi Pusat Pelatihan Menuju Desa Mandiri

Uchok mengemukakan pandangannya, mengingat oknum kader tidak hanya melakukan korupsi untuk kepentingan parpol semata. Tapi juga untuk diri sendiri. Karena tidak mungkin partai menggaji sejumlah kader yang cukup banyak di seluruh Indonesia.

“Mana mau kader partai hanya mengurus partai. Tentu mereka juga akan cari duit dengan cara apapun untuk memerkaya diri. Karena tidak mungkin partai menggaji mereka. Jadi saya tidak setuju Rp 1 triliun buat partai. Karena tidak ada jaminan uang tersebut tidak korupsi,” ujarnya.

BACA JUGA: Wako Palembang dan Istri Terbukti Sogok Akil

Jika disebut anggaran nantinya dipergunakan untuk program partai, Uchok juga menilai sangat sulit tepat sasaran. Misalnya anggaran untuk kaderisasi, akan terasa mubajir mengingat banyak kader yang suka loncat ke partai lain.

“Seperti yang dilakukan Ahok (Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama,red) dari Golkar masuk Gerindra dan sekarang keluar dari Gerindra,” katanya.

Alasan lain, pengelolaan anggaran di partai menurut Uchok, sampai saat ini juga masih ditangani secara tradisional. Di mana penerimaan satu partai kebanyakan tidak tercatat dalam sistem akuntan keuangan partai. Kondisi ini dikhawatirkan menyebabkan uang APBN yang digelontorkan ke partai nantinya banyak masuk ke kantong elit-elit partai.

“Karena keuangan partai biasanya bisa dibelanjakan atas perintah elit-elit partai, dari pada mengikuti program yang sudah disepakati. Seharusnya partai itu didanai oleh rakyat, bukan oleh negara. Kalau negara yang membiayai partai, maka pemilik partai tetap dipegang oleh pemilik partai, dan akan menjadi warisan buat keturunannya. Yang enak pewaris partai dong, karena duitnya banyak, maka tidak akan suksesi dong,” katanya.

Alasan yang sama juga dikemukakan Uchok meski nantinya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga dilibatkan dalam mengaudit anggaran untuk partai.

“Apalagi ini dana partai, tidak berani BPK mempublikasi penyimpangannya. Karena orang-orang BPK itu juga orang-orang partai. Jadi tidak mungkin BPK berani mengungkap anggaran partai mereka. Istilahnya antara bus kota jangan saling mendahului,” kata Uchok.(gir/fas/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Tak Lanjut S3 Bikin Jonan Bersyukur


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler