Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, hingga saat ini, pemerintah masih belum melihat adanya urgensi untuk ikut dalam perang kurs seperti yang dilakukan negara-negara lain
BACA JUGA: Curigai Motif Kompetisi Dagang
"Maksudnya melemahkan Rupaiah kan" saya tidak ngomong gitu," ujarnya di Kantor Menko Perekonomian, Senin (11/10).Sebagaimana diketahui, isu perang kurs pertama kali dilontarkan oleh Managing Director International Monetary Fund (IMF) Dominique Strauss-Kahn saat Annual Meetings IMF dan World Bank Group di Washington DC, 4 - 10 Oktober 2010 lalu
Yang dimaksud perang kurs adalah kebijakan intervensi negara untuk menjaga agar mata uangnya tidak terlalu kuat atau bahkan agar melemah
BACA JUGA: Desak Amandemen UU Perimbangan
Tujuannya, untuk menggenjot kinerja eksporBACA JUGA: Genjot Penerimaan, Ditjen Pajak Siapkan Pensiun Dini
Strategi tersebut merujuk pada kebijakan kurs tetap Yuan Tiongkok serta intervensi Bank of Japan (BoJ) pada nilai tukar Yen terhadap dolar Amerika (USD).Bank Indonesia (BI) pun sepertinya juga belum tertarik untuk ikut-ikutan perang kurs dengan melemahkah RupiahItu tecermin dari pernyataan Gubernur BI Darmin Nasution dalam Laporan Kebijakan Moneter BIBahkan, BI melihat penguatan Rupiah saat ini sebagai sebuah prestasi"Penguatan rupiah ini didukung oleh sentimen global yang positif serta faktor fundamental domestik yang semakin kokoh," katanya.
BI mencatat, jika dibandingkan dengan triwulan II-2010, secara rata-rata Rupiah menguat sebesar 1,2 persen (quarter-to-quarter), mencapai Rp9.001 per USDPenguatan rupiah pada triwulan III tersebut diikuti oleh volatilitas yang turun dari 0,5 persen pada triwulan II-2010 menjadi 0,2 persen pada triwulan III-2010Pada akhir triwulan III-2010, "Rupiah ditutup pada level Rp 8.924 per USD, atau menguat 1,2 persen dibandingkan triwulan II-2010.
Selain itu, Darmin juga menganggap penguatan atau apresiasi tidak hanya terjadi pada Rupiah namun juga pada mata uang negara-negara lainBI mencatat, pada periode Januari - September 2010, Rupiah menguat 5,6 persenAdapun Ringgit Malaysia menguat 11,01 persen, Baht Thailand 9,27 persen, dan Peso Filipina 5,08 persen"Jadi, (penguatan) Rupiah masih di tengah-tengah," ujarnya.?
Darmin mengakui, penguatan Rupiah tersebut menurunkan penerimaan eksporterNamun, belum sampai menghilangkan daya saing produk Indonesia di pasar internasional"Kita selalu mengukur tingkat volatilitas jangan terlalu tinggiTapi kalau diperhatikan, kita tidak pernah at all cost menahan agar rupiah jangan terlalu kuat," jelasnya.
Namun, Ekonom Sustainable Development Indonesia (SDI) Dradjad HWibowo menganggap sikap pemerintah dan BI tersebut bisa menjadi blunder bagi perekonomianMenurut dia, seharusnya, sejak kuartal I-2010, pemerintah dan BI sudah mendepresiasi atau melemahkan Rupiah melalui serangkaian kebijakan moneter dan fiskal"Kurs kita ini sudah terlalu kuat terhadap USD dan mata uang dunia lainnya," ujarnya.
Sayangnya, lanjut Dradjad, Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagagangan, "dan BI terlena dengan kinerja ekspor yang memang masih tinggi"Akibatnya, mereka telat mengantisipasi seberapa serius perang kurs global ini akan terjadi, dan apa dampaknya bagi Indonesia pada tahun mendatang," katanya.
Dradjad menilai, sebenarnya, saat ini sudah agak telat bagi Indonesia untuk menyiapkan diri menghadapi perang kursSebab, pemerintah dan BI seperti membiarkan membanjirnya aliran modal jangka pendek yang spekulatif yang membuat Rupiah overvalued"Karena itu, meski sudah telat, sebaiknya Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, dan BI segera duduk bersama untuk mulai mendepresiasikan Rupiah secara pelan-pelan, gradual, dan terkontrol," ujarnya(owi/kim)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kenaikan TDL Terhambat, Pemda Dipaksa Berhemat
Redaktur : Tim Redaksi