RUU Perfilman Dinilai Langgar HAM

Jumat, 04 September 2009 – 20:09 WIB
JAKARTA - Koordinator Masyarakat Pers dan Perfilman Indonesia (MPPI), Kukuh Sanyoto, mengingatkan agar insan perfilman siap-siap dipenjara, karena Rancangan Undang-Undang (RUU) Perfilman yang sedang dibahas DPR memungkinkan pelaku dan artis serta industri film dikriminalisasiOleh karena itu, MPPI bersama Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) secara tegas menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Perfilman, sebab dipandang sangat otoriter dan represif.

"RUU Perfilman ini sangat otoriter dan represif, juga melanggar prinsip-prinsip demokrasi dan melanggar hak azasi warga negara," tegas Kukuh Sanyoto, saat jumpa pers bersama Sabam Leo Batubara (Wakil Ketua Dewan Pers), Amir Efendi Siregar (Ketua Dewan Pimpinan SPS Pusat), Hinca IP Panjaitan (Direktur Indonesia Media Law and Policy Center) dan Agus Pambagio (Direktur Public Policy Interest Group), di press room DPR, kepada wartawan di Jakarta, Jumat (4/9).

Bahkan, lanjut Kukuh, RUU Perfilman bisa mengkriminalisasi insan film dan melanggar peraturan perundang-undangan yang lebih dahulu ada

BACA JUGA: Kejagung Keberatan Pengadilan Tipikor hanya di Provinsi

RUU ini menurutnya, malah jauh lebih buruk dari UU No 8/1992 tentang perfilman yang akan digantikannya
"RUU itu sekaligus mempertontonkan kalau Menbudpar tidak memberikan fasilitas dan semangat untuk memajukan industri perfilman dalam negeri," tambahnya.

Sementara, Leo Batubara menambahkan, selama ini tampaknya DPR dan pemerintah tidak memberikan kesempatan kepada MPPI atau Dewan Pers untuk memberikan masukan guna perbaikan RUU Perfilman

BACA JUGA: Ke Komnas HAM, Abu Lapor Anaknya Disiksa

"Kelihatannya, baik DPR maupun pemerintah, tak mau menerima masukan MPPI
Padahal kita ingin berdiskusi demi perbaikan RUU Perfilman ke arah yang lebih maju ke depan," paparnya.

Bukan hanya RUU Perfilman, perlakuan yang sama juga disebutkan terjadi saat pembahasan RUU Rahasia Negara

BACA JUGA: Tommy Diyakini Ingin Besarkan Golkar

"Dewan Pers sudah menemui Menhan Juwono Soedarsono, agar pers bisa ikut memberikan partisipasi dalam membahas RUU Rahasia NegaraNamun hingga saat ini, baik dewan pers maupun MPPI tak diberi kesempatan memberi masukan dan informasi," jelasnya.

Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Amir Efendi SiregarDia menilai, kegiatan perfilman pada prinsipnya sama dengan pers, surat kabar, majalah dan buku"Maka harusnya sama sekali tidak memerlukan izin usaha perfilmanIzinnya sudah melekat pada saat ia mendirikan perusahaan, sesuai dengan UU No 40/2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) dan peraturan pelaksanaannya," terangnya.

Mengacu pada UU No 40/2007, seharusnya lembaga sensor film juga tidak ada lagiItu karena sensor dan lembaga sensor adalah ciri negara otoriter"Negara-negara demokrasi di dunia lebih menggunakan Badan Klasifikasi sebagai usaha melakukan perlindungan terhadap penonton, khususnya anak-anakJadi bukan Lembaga Sensor Film," imbuhnya.

Sedangkan Hinca Panjaitan, menilai bahwa RUU Perfilman ini telah menabrak secara horisontal UU yang sudah ada, misalnya UU Anti Monopoli, UU Kearsipan, UU Hak Cipta, serta UU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (KMIP)"Saya mendesak agar Komisi X DPR jangan buru-buru mengesahkan RUU ini menjadi Undang-Undang," harapnya, sembari menambahkan bahwa dari draft RUU yang terdiri dari 89 pasal itu, hanya pasal 1 hingga pasal 5 yang bagus - sisanya pasal 6 sampai 89 sebagian besar buruk.

Sementara itu, Ketua F-PDIP DPR RI, Tjahjo Kumolo, mengakui seluruh struktur RUU ini sulit dipahamiKarena itu katanya, film harus berada sepenuhnya di domain masyarakat, lantaran ia merupakan karya seni budaya yang hidup di masyarakat"Apa yang diperlukan masyarakat perfilman di tanah air adalah jaminan kebebasan berkarya dan jaminan kebebasan mengeksploitasi karyanyaHanya dengan kedua hal tersebut film Indonesia dapat tumbuh menjadi industri yang kuat dan menjadi pilar ekonomi kreatif nasional," terangnya.

Menurut Tjahjo pula, draft RUU ini mendapat penolakan keras dari masyarakat perfilman dan SPS di tanah air, karena sepenuhnya bernafaskan semangat regulasi seperti UU yang digantikannya"Perlu dipahami reaksi keras masyarakat perfilman tersebut, karena RUU ini tidak berangkat dari kebutuhan riil masyarakat perfilman," terangnyaDalam hal ini, salah satu alasan yang ia kemukakan adalah, 18 pasal dari 89 pasal yang ada merupakan regulasi niaga dalam eksploitasi film, yang sama sekali tidak mempertimbangkan hak cipta pembuatnya(fas/JPNN)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Syamsul Janji Langsung Bayar ke BPPN


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler