Saatnya Indonesia Berubah

Selasa, 12 Agustus 2014 – 10:46 WIB

INDONESIA telah memiliki presiden baru, dia adalah Joko Widodo (Jokowi).

Perjalanan sekaligus pribadinya yang luar biasa, dimulai dari sebuah kota kecil yang kumuh di Solo menuju Istana Negara, menceritakan langsung siapa Jokowi dan juga tentang Indonesia itu sendiri yang sudah masuk ke tahun ke-enam belas pasca Reformasi.

BACA JUGA: Propaganda dalam Hasil Survei

Kegembiraan bisa dirasakan semua orang, tetapi kita harus terus berharap dan berdoa bahwa cerita dongeng seperti ini berakhir pada pencapaian nyata, yaitu sebuah kehidupan yang lebih baik bagi seluruh rakyat Indonesia.

Meskipun saya bukan warga negara Indonesia, pemilihan umum tahun 2014 kali ini mengingatkan saya mengapa saya mencintai Indonesia dan bahkan telah menjadi rumah saya kedua.

BACA JUGA: Debat Kandidat Perdana

Pertama, demokrasi Indonesia tetap tegak berdiri dan semakin hidup meskipun digoyang manipulasi elit era pra-reformasi.

Fakta yang ada –yaitu sekitar 133 juta pemilih memberikan suara mereka pada tanggal 9 Juli – adalah pencapaian luar biasa dibanding 120 juta pemilih pada pemilu 2009 silam saat Presiden Susilo Bambang yudhoyono (SBY) terpilih.

BACA JUGA: Pelajaran Berharga Modi untuk Indonesia

Namun, di Indonesia kebebasan dan kemerdekaan relatif masih sangat dini, kerapuhan masih dirasakan negara ini ditambah dengan pihak berwenang yang masih berpangku tangan.

Pagi hari tanggal 22 Juli, beberapa ruas jalan di Jakarta diblokir. Antisipasi telah bercampur dengan rasa gugup.

Prabowo Subianto, lawan yang kalah dalam Pemilu merajuk dengan menarik diri dari proses rekapitulasi yang sedang berjalan. Pakar hukum dan politik berdebat selama berminggu-minggu, melempar pertanyaan apakah dia melanggar undang-undang pemilu?

Apakah ini jelas berarti dia tidak menerima hasil rekapitulasi? Sangat disayangkan jika Prabowo –yang maju dengan gaya militernya- justru meniup kesempatannya untuk menunjukkan jiwa kepemimpinannya. Dia bahkan bisa menjadi negarawan senior dan kekuatan yang besar bagi nasionalis-konservatif di Indonesia.

Namun drama yang sudah dicipta seharusnya tidak lantas mengesampingkan apa yang sudah Jokowi dan Indonesia raih sejauh ini.

Seperti yang sudah saya tulis sebelumnya, "wong cilik" ini telah terpilih menduduki jabatan tertinggi di Republik ini.

Indonesia sekarang –dalam sejarahnya- sedang merayakan egalitarianisme republik yang revolusioner dikemas melalui UUD 1945, tak lupa juga para pahlawan reformasi yang menandai kejatuhan Soeharto.

Indonesia sekarang bisa dengan lantang berucap bahwa negara mereka telah memenuhi janji pasal 28D (3): "Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan". Tapi sinyal-sinyal demikian -serta mandat Jokowi sebagai Presiden RI- bisa saja terbuang sia-sia jika Indonesia mengulang kembali "hal yang sama" seperti sebelumnya.

Pemilihan umum –tidak peduli seberapa penting dan krusialnya itu- tidak akan bermakna banyak jika tidak dibarengi dengan "Revolusi Mental" (atau pergeseran paradigma) dalam budaya politik Indonesia.

Pemilu 2014 kali ini telah menyingkap bahwa agama vs sekuler, pembangunan vs warga sipil, Jawa vs non-Jawa tidak benar-benar teredam dan justru lubangnya makin melebar.

Jadi, selain agenda ekonominya yang ekspansif, Jokowi seperti yang sudah sering dikatakan sebelum-sebelumnya, harus menjadi pemersatu.

Pemersatu yang dimaksud harus jauh melampaui kesatuan geografis dan politik semata. Ini berarti juga kesetaraan sosial-ekonomi rakyat Indonesia. Indonesia tidak bisa menjadi kesatuan jika koefisien gininya tetap pada angka 0.41.

Tetapi juga Jokowi tidak bisa merubah apa-apa jika rakyat Indonesia tidak ikut maju bersama di belakangnya.

Kerja keras Barrack Obama –yang banyak orang bandingkan dengan Jokowi- menunjukkan kepada kita bahwa rival politik tidak akan berpengaruh pada mandat yang sudah diberikan, bahkan untuk mencetak poin atau menyumbat sistem yang sudah berjalan.

Jadi, ketika Indonesia berhak berselebrasi atas pemilihan umum yang damai dan sukses, mereka juga harus waspada.

Energi, dedikasi dan antusiasme yang menghiasi ruas-ruas jalan beberapa bulan terakhir ini tidak harus mereda.

Rakyat Indonesia harus  tetap menjadi benteng pertahanan -melalui opini publik dan pemilu mendatang - dalam pemberantasan korupsi, kelambanan perubahan dan penyakit impunitas.

Gagasan bahwa Indonesia akan menduduki panggung dunia dengan cepat akan menyebar dan menjadi kekuatan yang tidak bisa dihentikan.

Namun apa yang terjadi pada hari-hari di bulan Juli bukan tujuan akhir, justru itu adalah awal. Memilih presiden baru dan pemerintahan baru adalah bagian yang mudah, tetapi kerja kerasnya yang sulit dimulai sekarang, saat ini juga.[***]

BACA ARTIKEL LAINNYA... Korban Pemilu


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler