Saran Pengamat, Presiden Terpilih Harus Naikkan BBM

Minggu, 08 Juni 2014 – 14:05 WIB

jpnn.com - JAKARTA - Presiden terpilih hasil pilpres 2014 harus berani menyelesaikan persoalan klasik, yakni besarnya subsidi listrik dan BBM, yang  tahun ini diperkirakan telah mencapai Rp 400 triliun.

Khusus untuk subsidi BBM tahun ini yang semula ditetapkan Rp 201,7 triliun telah membengkak menjadi Rp 285 triliun. Tentu saja, kondisi ini semakin memberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

BACA JUGA: Tekan Kenaikan Harga Jelang Ramadan, Gelar Operasi Pasar

 “Dengan kondisi ini maka pilihan harus menaikkan harga BBM,” ujar Kresnayana Yahya, pakar Statistika dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, saat dihubungi wartawan, Minggu(8/6).

Dikatakan, dengan jumlah subsidi sebesar Rp 400 triliun yang dikeluarkan setiap tahun, membuat pertumbuhan perekonomian Indonesia menjadi lambat.

BACA JUGA: Harga Daging Ayam Naik, Sapi Stabil

Hasil studi yang pernah dilakukan Kresnayana pada 1-2 tahun lalu memperlihatkan bahwa 70 persen dari seluruh pengguna kendaraan di Indonesia, menyatakan setuju jika harga BBM dinaikkan. Ini artinya, ide apa pun untuk menaikkan harga BBM, sudah pasti akan bisa dipahami masyarakat.

Dia juga mengingatkan harga keekonomisan BBM yang berlaku di dunia saat ini berada di level Rp 16.000.  Sedangkan jika mengacu pada harga wajar dari sisi kelayakan pemerintah dimana pemerintah tidak mengambil keuntungan dari produk-produk lokal, berada di level Rp 12.000.

BACA JUGA: Pertamina Tambah Pasokan Elpiji 2,92 Juta Tabung

“Karena harga BBM di Indonesia masih sangat rendah, pilihannya apakah dinaikkan secara ekstrem langsung ke harga keekonomisan itu dengan gejolak masyarakat yang sangat massif atau dilakukan secara bertahap. Saya lebih cenderung dilakukan secara bertahap meski akan ribut, ribet dan dan akan banyak opportunity loss asalkan disertai komitmen memperbaiki infrastruktur serta moda transportasi khususnya pengadaan angkutan barang dan perkotaan,”  bebernya.

Jika dilakukan secara bertahap, kenaikan harga BBM bisa dilakukan sebesar 10 persen -15 persen setiap bulannya. Sehingga pada tahun pertama harga BBM sudah berada pada kisaran Rp 10.000 dan tahun kedua bisa naik di angka Rp 11.500-12.000, mendekati harga keekonomisan yang wajar dari sisi pemerintah.

“Saya prediksi bahwa ribut dan ribetnya hanya sampai tahun kedua saja. Selebihnya pemerintah akan berjalan smooth, dan beban subsidi di APBN tak lebih dari Rp 100 triliun saja,” ujarnya.

Kodrat Wibowo, ekonom dari Universitas Padjajaran, sependapat bahwa memang subsidi BBM dikurangi dengan jalan menaikkan harga BBM. Saat ini dibutuhkan keberanian bersikap para calon presiden (capres) terkait masalah subsidi BBM ini.

Menurut dia, dalam kondisi seperti itu, pertimbangan kebijakan populis atau tidak populis, tidak menjadi penting lagi. Pasalnya, masyarakat sudah jenuh dengan masalah subsidi ini yang tampaknya menjadi penyakit tahunan tanpa solusi yang cerdas dan elegan.

Salah satu alternatif kebijakan subsidi BBM yang dinilai Kodrat cukup elegan yakni dengan menetapkan nilai besaran subsidi secara fix dengan harga BBM premium di angka tertentu.

Misalnya, besaran subsidi BBM untuk tahun 2015 ditetapkan sebesar Rp 100 triliun dengan harga Rp 6500 untuk BBM premium. Patokan premium dipakai, kata Kodrat, karena premium yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Di sisi lain, masyarakat sangat sulit berpindah pemakaian BBM dari premium ke pertamax.

Dijelaskan, setelah ditetapkan besaran subsidi, nantinya pemerintah tinggal memonitoring fluktuasi harga minyak mentah dunia. Jika ternyata, harga minyak mentah dunia tidak sampai menyentuh level di atas US$ 100 per barrel, berarti pemerintah tidak perlu menambah besaran subsidi tersebut atau tidak perlu menaikkan harga BBM. Bahkan pemerintah bisa melakukan penghematan.  (sam/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... BPJS dinilai Berkedok Asuransi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler