JAKARTA - Pakar politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof Syamsudin Haris menyarankan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebaiknya jangan terlalu banyak bersumpah untuk membantah opini publik sebagai respon terhadap berbagai kasus besar yang akhir-akhir ini terjadi.
"Sumpah sebagai respon terhadap opini publik tidak perlu dilakukan presiden karena di saat SBY akan menjabat sebagai presiden dia telah bersumpah di hadapan Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan RakyatSumpah yang diucapkan di hadapan majelis itu sudah cukup," kata Syamsudin Haris, dalam diskusi bertema 'Rapor Bayangan 100 Hari Kabinet dan Skandal Century', yang diselenggarakan Fakultas Ekonomi UI di FX Senayan Jakarta, Kamis (10/12).
Kalau Presiden SBY terlalu banyak bersumpah dan sibuk membantah berbagai opini publik, Syamsudin Haris yakin 100 hari kinerja Kabinet Indonesia Bersatu akan berlalu tanpa arti dan tanpa isi
BACA JUGA: Gerbong Mutasi Kejaksaan Mulai Bergerak
"Soal dugaan kriminalisasi pimpinan KPK misalnyaBACA JUGA: Ratusan Kilo Daging Trenggiling Dimusnahkan
Berselang beberapa hari, SBY pun membenarkan opini publik bahwa kriminalisasi pimpinan KPK itu memang telah terjadi hingga kasusnya ditutup oleh Kejaksaan Agung," kata Syamsudin.Tragedi serupa juga terulang seiring mencuatnya skandal Bank Century
BACA JUGA: Hendarman Siap Disupervisi KPK
Kita saksikan SBY kembali bersumpah bahwa hal itu fitnah dan sama sekali tidak mengandung kebenaranDan anehnya, dalam catatan media massa setidaknya SBY membantah dan bersumpah hingga 5 kali," ujar peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu.Terakhir soal peringatan Hari Antikorupsi kemarin, menurut Syamsudin pernyataan SBY bahwa akan terjadi kerusahaan justru telah mendatangkan rasa tidak aman dan nyaman publik walau sesudah itu SBY menyatakan lagi opininya bahwa dia mendukung acara tersebut sebagai bagian dari upaya memberantas korupsi.
"Presiden SBY sangat tidak hati-hati dan sekaligus memperlihatkan kepada publik tentang ketidakjelasan sikapnya terhadap berbagai upaya memberantas korupsi yang saat ini tengah dilakukan oleh masyarakat dunia," kata Syamsudin.
Suka-suka atau tidak suka, lanjut peniliti senior itu, dalam sebuah negara demokrasi, penilaian baik atau tidaknya pemerintahan mutlak di tangan warga negaranyaDalam perspektif politik, vonis publik tersebut tidak bisa dibantah"Termasuk saat ini soal hilangnya kepercayaan publik terhadap pemerintahan SBYHanya ada satu cara bagi SBY untuk memperbaikinya yakni benahi kinerja kabinet dan tidak perlu membuka perang opini dengan publik karena pada akhirnya akan menyulitkan posisi SBY selaku presiden," saran Syamsudin Haris.
Pendapat yang sama juga ditegaskan oleh pengamat hukum tata negara Margareto Kamis"Sudahlah, SBY sebaiknya berhenti berpidatoTak perlu bicara banyak soal pemberantasan korupsi apalagi menegaskan akan berjihat melawan korupsi karena fakta yang terjadi sangat kontradiktif," ujarnya.
Soal realisasi izin pemeriksaan kepala daerah untuk diperiksa yang diajukan Kejaksaan dan Polri kepada presiden 5 tahun lalu misalnya"Dari 500 lebih yang diusulkan, Presiden SBY hanya mengeluarkan izin sebanyak 138Dari 138 itu, tidak satupun izin yang keluar terhadap beberapa kepala daerah yang juga Ketua DPD Partai Demokrat seperti Gubernur Maluku Utara dan Walikota Bukittinggi yang diduga telah melakukan tindak pidana korupsi," kata Margareto.
Anehnya, salah satu alasan dari SBY untuk tidak mengeluarkan seluruh izin pemeriksaan terhadap 500 lebih kepala daerah itu hanya menggunakan alasan jangan sampai ada fitnahPadahal permohonan izin itu diajukan oleh Kejaksaan dan Polri sudah melalui sebuah proses hukum"Itu berarti Kejaksaan dan Polri dianggap memfitnah," kata Margareto Kamis(fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mantan Kadis PU Sudutkan Bupati Supiori
Redaktur : Soetomo