Sebelum Para Eksekutif Freeport Datang...

Rabu, 25 November 2015 – 12:15 WIB
Julius Tahija (kiri) bersama para menteri kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS), 1947. Foto: Repro otobiografi Julius Tahija.

jpnn.com - JULIUS Tahija anggota TNI pertama yang dikaryakan di perusahaan swasta. 

Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network

BACA JUGA: Ingat Freeport, Ingat Julius Tahija

Bersama tentara Sekutu selaku pemenang Perang Dunia II, Julius Tahija datang ke Jakarta pada 15 Oktober 1945 dengan kapal dagang Belanda. 

Menggunakan jip tentara Belanda, dia langsung pergi mencari J. Latuharhary, yang tak lain adalah pamannya.

BACA JUGA: Trah Paku Alam, Antara Daendels dan Raffles

Latuharhari salah seorang petinggi Republik Indonesia. Dia anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Kemudian hari jadi Gubernur Maluku pertama.

Di tengah jalan, "tiba-tiba terdengar suara tembakan. Tadinya saya berharap disambut sebagai pahlawan, tetapi kenyataannya justru sebaliknya," tutur Julius Tahija dalam otobiografinya Julius Tahija.

BACA JUGA: Misteri Cincin Bob Marley

Barulah pada saat itu dia mengerti, pejuang kemerdekaan tidak menginginkan kehadiran Belanda kembali.

Di hari-hari berikutnya, sebagaimana diceritakan Tahija…

Banyak perwira Indonesia kolega saya di Angkatan Perang Hindia Belanda mengunjungi saya untuk mengucapkan selamat tinggal karena mereka bergabung dengan tentara Republik.

Salah seorang kolega yang bergabung dengan Republik waktu itu adalah Subiakto, yang pernah menjadi perwira Angkatan Laut pada kapal selam Belanda yang dipakai untuk pendaratan Unit Khusus Z Force.    

Laksamana Subiakto kemudian hari menjabat Kepala Staf Angkatan Laut TNI AL.

Jumpa Sjahrir

Dalam sebuah pertemuan dengan Latuharhary, Tahija menyampaikan sebenarnya dia tidak bisa menembaki bangsanya sendiri. 

"Bagaimana kalau saya menghilang, lalu bergabung dan muncul lagi bersama anak buahmu?"

Latuharhary kemudian memperkenalkan Tahija dengan Sutan Sjahrir. Berkali-kali dia ngobrol Perdana Menteri Indonesia pertama itu.

"Bagi saya Sjahrir adalah orang yang sangat pandai bicara dan penuh gelora, tetapi tidak menonjolkan diri," kenangnya.

Dalam otobiografinya, Tahija mengaku meninggalkan Angkatan Perang Hindia Belanda pada April 1946.

Negera Federal atau Negara Boneka?

Sempat ikut pelatihan di Departemen Keuangan di Jakarta, Tahija lalu diangkat jadi anggota Dewan Perwakilan Maluku Selatan.

Ia ambil bagian dalam Konferensi Malino, Sulawesi Selatan, 16-22 Juli 1946.

Dalam perundingan menyusun negara federal itu, Tahija berpidato.

"Saya mengatakan bahwa kita tidak bisa kembali ke sistem pemerintah Hindia Belanda karena terlalu sentralistis. Saya juga menekankan bahwa Indonesia merdeka akan tetap membina hubungan khusus dengan Belanda," ungkapnya.

Berunding selama enam bulan, Konferensi Malino memutuskan membentuk Republik Indonesia Serikat (RIS).

Dipilih pula tujuh anggota Badan Pansihat. Tahija termasuk. Tugasnya menyiapkan Konferensi Denpasar, 18-24 November 1946. 

Konferensi Denpasar yang dihadiri oleh Van Mook,  melahirkan Negara Indonesia Timur (NIT). 

Tahija mengakui, "pendukung Republik melihatnya sebagai negara boneka Belanda. Saya sendiri melihatnya sebagai mitra sejajar Republik dalam membangun Negara Kesatuan Indonesia."

Di NIT, berturut-turut Tahija menjabat Menteri Penerangan, Menteri Sosial dan Menteri Ekonomi.

Anti Kekerasan 

Ketika Belanda melancarkan agresi militer 2, dimulai dengan menyerang Yogyakarta sebagai ibukota Republik Indonesia, pertengahan Desember 1948, NIT marah.

Perdana Menteri NIT, Anak Agung Gde Agung mundur. Begitu pula Tahija. 

Melalui siaran radio, Anak Agung mengecam kekerasan yang dilakukan Belanda. Pertikaian Indonesia dan Belanda pun menjadi sorotan internasional. 

PBB yang telah membentuk Komisi Tiga Negara (KTN) memfasilitasi penyelesaian masalah tersebut. 

Belanda diwakili Belgia, Indonesia diwakili Australia dan Amerika sebagai pihak ketika yang netral.

Pendek kisah, serangkaian perundingan dilakukan dan bermuara pada Konferensi Meja Bundar (KMB). 

Melalui KMB, Belanda akhirnya mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949. 

Saya hadir dalam upacara di Istana Gubernur Jenderal Belanda di Jakarta tanggal 27 Desember 1949...Serdadu-serdadu menurunkan bendera Belanda dan sebagai gantinya dikibarkan bendera merah putih.

Dalam kesempatan tersebut, Julius Tahija diajak oleh Kolonel TB Simatupang bergabung dengan tentara Indonesia. 

Dia diberi pangkat letnan kolonel--setingkat di bawah kolonel--pangkat tertinggi Angkatan Darat pada waktu itu.

Tambang 

Suatu hari pada 1951, KSAD Kolonel A.H Nasution memerintahkannya mencari pengalaman di bidang pertambangan dan perminyakan.  

Tahija masuk Nederlandsche Pacific Petroleum Maatschappij (NPPM)--kemudian bernama Caltex.

Di alam Indonesia merdeka, "sejarah mencatat bahwa JT (Julius Tahija--red) adalah anggota TNI pertama yang dikaryakan di perusahaan swasta," tulis Wisaksono Noeradi, termuat dalam Memimpin dengan Nurani.

Sukses memimpin Caltex, pada 1966 dia kedatangan tamu. Rombongan eksekutif Freeport menyambanginya di Jakarta. 

Mereka, "ingin belajar kiat sukses Caltex di Indonesia," tulis Tahija. --bersambung (wow/jpnn)

(baca: Dalam Catatan Perjalanan Pendaki Inilah, Freeport Menemukan 'Peta Harta Karun' Papua)

(baca: Ingat Freeport, Ingat Julius Tahija)

 

 

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Hikayat Syech Albar, Ayah Rockstar Ahmad Albar Perintis Musik Dangdut


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler