Sebenarnya Saya Empat Kali jadi Menteri

Minggu, 24 April 2016 – 06:51 WIB
Akbar Tanjung. Foto: dok.JPNN

jpnn.com - AKBAR Tanjung adalah politikus tulen, dengan pengalaman terbilang lengkap. Dia menjadi menteri tiga periode pada era Orde Baru dan masa transisi reformasi. 

Mantan ketua umum Partai Golkar itu juga pernah menjadi ketua DPR. Setelah vakum dari pemerintahan, Akbar hingga kini masih aktif di dunia politik melalui Partai Golkar. Aktivitas lainnya adalah mengembangkan lembaga Akbar Tandjung (AT) Institute.

BACA JUGA: Mbah Menteri Bilang, Itu Memang Petunjuk Bapak Presiden

Dengan usia yang hampir memasuki 71 tahun, Akbar masih tampak sehat. Aktivitasnya juga masih padat. Selain masih menjabat ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar, Akbar menjadi ketua Majelis Penasihat Kelompok Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI). 

Mantan ketua umum PB HMI itu kerap hilir mudik ke berbagai daerah memenuhi undangan organisasi mahasiswa dan kepemudaan.

BACA JUGA: Gadis Cantik Berhijab Ini Juara Membaca Kitab Kuning

’’Mobilitas saya masih cukup tinggi. Misalnya, besok harus memenuhi undangan ke NTB (Nusa Tenggara Barat, Red),’’ ujar Akbar saat ditemui di kediamannya, Jumat (22/4).

Secara rutin, AT Institute hingga kini terus menggelar berbagai diskusi isu-isu terkini. Juga, menerbitkan jurnal serta buku tentang demokrasi. 

BACA JUGA: Kisah Mengharukan, Dari Menandu Pasien Hingga Dihadang Babi Hutan

’’Lembaga ini saya dirikan untuk menjadi tempat belajar, mengembangkan pikiran-pikiran tentang demokrasi,’’ ujar pria kelahiran Sibolga, Sumatera Utara, itu.

Setelah lebih dari satu dasawarsa mendirikan AT Institute, cita-cita Akbar untuk mengembangkan lembaganya menjadi sekolah politik segera terwujud. 

Dengan semangat, Akbar bercerita bahwa dalam waktu dekat dirinya meluncurkan sekolah kepemimpinan politik bangsa di AT Institute. ’’Nanti di-launching tanggal 3 Mei,’’ kata Akbar.

Sekolah kepemimpinan ini digagas serius oleh Akbar. Sekolah tersebut diperuntukkan para anggota kelompok Cipayung, sebuah gabungan organisasi mahasiswa yang digagas pada 1972 yang terdiri atas HMI, GMNI, GMKI, PMII, PMKRI, dan ditambah empat organisasi lainnya. 

’’Ini sekolah di mana ada tokoh-tokoh dan pakar di bidang kenegaraan, kepemimpinan, dan politik. Setiap kelas akan berlangsung seminggu sekali, selama dua bulan,’’ kata salah seorang pendiri Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) itu.

Demi memberikan kualitas pada sekolah tersebut, beberapa kolega dimintai tolong untuk menjadi pemateri. Akbar menyebut sosok mantan Ketua Mahkamah (MK) Konstitusi Jimly Asshiddiqie dan Mahfud M.D., pakar sosiologi dan budaya Romo Magnis-Suseno, pakar hukum tata negara Yudi Latif, dan pakar pemilu Ramlan Surbakti, termasuk dirinya sendiri, akan mengisi setiap sesi sekolah kepemimpinan itu. 

’’Untuk beberapa nama, saya sendiri yang mengontak mereka, minta kesediaan. Ramlan, walau jauh di Jawa Timur, alhamdulillah bersedia. Kalau Romo itu juga guru saya waktu SMA,’’ ungkap lulusan SMA Kolese Kanisius, Jakarta, tersebut.

Akbar memiliki harapan sekolah kepemimpinan politik bangsa itu bisa menghasilkan kader yang berpotensi menjadi pemimpin, termasuk menjadi calon presiden. Secara persuasif, sekolah itu akan mendorong setiap anggota untuk bisa masuk menjadi bagian dari partai politik. 

’’Apa pun partainya, saya tidak mempermasalahkan. Semoga salah satu di antara mereka nanti bisa muncul menjadi calon pemimpin bangsa,’’ ujarnya.

Ditanya lebih lanjut soal romansa sebagai menteri, Akbar menyebutkan, banyak pihak yang mengira dirinya pernah menjabat menteri selama tiga kali periode. Masing-masing adalah menteri pemuda dan olahraga (1988–1993), menteri perumahan rakyat (1993–1998), dan saat reformasi menjadi menteri sekretaris negara pada setahun era kepemimpinan Presiden B.J. Habibie. 

’’Sebenarnya saya empat kali jadi menteri. Saya dua kali menjabat Menpera. Nah, yang periode kedua memang hanya singkat, 20 hari, lalu ada krisis,’’ jelas Akbar.

Selama lebih dari sepuluh tahun menjadi menteri, Akbar menyatakan, masing-masing jabatan punya kesan tersendiri. 

Saat menjadi Menpera, kesan mendalam adalah saat dirinya ikut berkontribusi terhadap kebijakan penyediaan rumah bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah.

’’Waktu itu kami punya konsep 1, 3, 6. Yakni, pembangunan satu rumah mewah, tiga rumah menengah, dan enam rumah sederhana untuk dilaksanakan pelaku pembangunan,’’ ungkapnya.

Saat peringatan 50 tahun kemerdekaan RI pada 1995, Akbar berhasil meresmikan pembangunan perumahan secara serentak nasional. Ketika itu, peresmian dilakukan langsung oleh Presiden Soeharto bersama Ibu Tien. 

’’Dari target repelita saat itu untuk membangun 500 ribu rumah, bisa tercapai sekitar 600 ribu. Alhamdulillah,’’ katanya.

Semasa menjadi Menpora, kebanggaan terbesar Akbar adalah pencapaian para atlet di dua Olimpiade. Di Seoul, Korea Selatan, 1988, tim putri atlet panahan Indonesia, Lilies Handayani, Nurfitriyana, dan Kusuma Wardhani, berhasil meraih medali perak. Itu adalah medali pertama Indonesia dalam ajang Olimpiade.

Empat tahun kemudian, di Barcelona, Spanyol, giliran pasangan Alan Budikusuma dan Susi Susanti dari cabang bulu tangkis menyumbangkan dua medali emas. 

’’Itu semua berkat Tuhan lah sehingga menjadi kesan yang mendalam buat saya,’’ ucapnya.

Kini tidak banyak menteri era Orba yang masih eksis. Akbar menyebutkan, komunikasi secara formal antarmenteri era Orba juga tidak dilakukan. Namun, dalam beberapa kesempatan, para menteri era Orba pernah bertemu. 

’’Kalau ada event, sering ketemu karena memang tidak ada asosiasi yang menghimpun. Beda kalau ibu-ibunya (istri para menteri, Red) itu masih aktif ketemu karena ada asosiasinya,’’ ungkapnya. (byu/bay/nap/c5/sof)

 

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Beginilah Keseruan Hari Pertama Wonderful Indonesia di Thailand


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler