jpnn.com - SEBUAH jalan panjang bahasa. Dari lisan ke tulisan, hingga percetakan.
=======
BACA JUGA: TERNYATA...Bung Tomo Sempat Dicap Pengkhianat
Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network
=======
BACA JUGA: INI PELAKUNYA... Perobek Bendera Belanda di Surabaya, Berkibarlah Merah Putih
Saya sengaja menempatkan kata "KITA" pada judul cerita ini. Sebagai padanan Indonesia.
Melayu Pasar
BACA JUGA: AYA DI DIYE ...Senarai Tapak Peradaban Di Tatar Pasundan
Pramoedya Ananta Toer bilang, bahasa Indonesia jelas bukan bahasa Melayu baku. Tetapi Melayu pasar.
Yakni, bahasa Melayu yang, "terjadi karena pertemuan antara berbagai bangsa dan suku," tulisnya dalam Sepatah Kata Perkenalan, sebagai pengantar buku Tempo Doeloe--Antalogi Sastra Pra-Indonesia.
Pram menyebutnya, Melayu lingua franca atau pra-Indonesia. Bahasa ini dipergunakan dan dikembangkan oleh orang-orang tualang.
Mulanya hanya lisan. Kemudian jadi tulisan.
Sebut saja, penyiar agama. Ditandai dengan munculnya aksara Arab Melayu.
"Naskah-naskah tua tafsir Al-Qur'an yang didapatkan di sepanjang pesisir utara Pulau Jawa berbahasa Melayu. Bahkan raja Islam pertama di Demak diperkirakan tidak berbahasa Jawa, tapi Melayu," papar Pram.
Bangsa Portugis juga menggunakan bahasa Melayu Pasar sebagai bahasa kekuasaan dan administrasi saat mendirikan imperium di bagian Timur negeri yang hari ini bernama Indonesia.
Maka muncullah bahasa Melayu Maluku, "menjadi bahasa gereja dan pergaulan umum," tulis Pram, mencuplik Sticusa Jaarboek karya Muller Kruger.
Ketika Belanda menjadikan negeri ini koloninya, bahasa Melayu pasar yang kian bertambah kaya--setelah kemasukan sedikit bahasa Arab dan Eropa--juga digunakan sebagai bahasa administrasi.
Dalam penuturan lisan, dialeknya berubah-ubah sesuai lidah penggunanya.
Sedang dalam penulisan, Raja Ali Haji menulis Kitab Pengetahuan Bahasa, pada 1851. Penulis kamus bahasa Melayu pertama itu diangkat menjadi pahlawan nasional dan Bapak Bahasa Indonesia.
Dalam perkembangan selanjutnya, begitu naik ke percetakan, menurut Pram, bahasa Melayu pasar "meninggalkan Melayu baku tercecer di belakang untuk waktu yang cukup lama."
Tulisan & Percetakan
Pada 1908, pemerintah Hindia Belanda mendirikan Commissie voor de Volkslectuur--kelak menjadi Balai Pustaka--sebagai corong propaganda pemerintah.
Ya, corong propaganda pemerintah! Dalam kajian-kajian sastra di sejumlah gelanggang, sudah ditemukan fakta dan datanya.
Semisal roman Siti Nurbaya (Kasih Tak Sampai) karya Marah Rusli.
Marah Rusli memang piawai membuat dramaturgi dan menjahit alur cerita. Roman ini amat memikat.
Hanya saja, bila jeli memahaminya, dalam roman ini yang jadi anak mudanya kan Samsul Bahri, seorang serdadu KNIL, tentara yang bekerja untuk Belanda. Sedangkan Datuk Maringgih, yang notabene dari kaum adat, ditempatkan dalam peran antagonis.
Terlepas dari muatannya sebagai corong propaganda kolonial, buku bacaan yang diproduksi penerbitan pemerintah ini, telah turut menabalkan tapak-tapak kelahiran bahasa Indonesia.
Di ranah penulisan, perkembangan selanjutnya adalah dari ejaan lama ke ejaan baru; oe menjadi u, dan lain sebagainya.
Dan jauh-jauh hari sebelumnya, di ranah yang lain, ia menjadi sumpah pemersatu yang diikrarkan pemuda, 28 Oktober 1928. Satu bahasa, bahasa Indonesia... (wow/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sejarah Kata Pertambangan di Negeri Tambang
Redaktur : Tim Redaksi