Sejarahwan: Klaim Jambi Miliki Pulau Berhala Tak Didukung Validitas Historis

Sabtu, 26 November 2011 – 07:12 WIB
JAKARTA - Klaim Jambi atas kepemilikan Pulau Berhala (PB) tidak didukung oleh validitas legalitas historis sejarahSebab bukti kepemilikan yang disampaikan Jambi hanya berupa mitos (legenda) dan tulisan artikel di sebuah majalah geografi dan eksiklopedia di Belanda yang legalitasnya lemah karena bukan arsip.

Menurut sejarahwan Universitas Indonesia (UI) Harto Yuwono, data klaim kepemilikan Jambi antara lain mengacu tulisan di majalah TNAG (Tijdschiift Vork  ardrijkskundigt Gennortschap), sebuah majalah geografi di Belanda terbit 1870-1942

BACA JUGA: Sumbar Minta Pemerintah Benahi Jalan Negara

Pada 1914 mengangkat tulisan tentang Pulau Tujuh, dikatakan Berhala "eiland bij Jambi" yang diterjemahkan Berhala milik Jambi padahal artinya Berhala dekat dengan Jambi.

Hal itu diungkap Harto Yuwono dalam dialog dengan pers, di Jakarta, Jumat (25/11) malam, hadir Ketua Kerabat Provinsi Kepulauan Riau Jakarta (KPKRJ) Elza Zen dan Ketua Dewan Pembina Pimpinan Pusat Rumpun Melayu Bersatu – Hulubalang Melayu Serumpun (RMB-HMS) Riau-Kepri Susilowadi.

Namun dari arsip sejarah, lanjut Harto, Jambi menyodorkan tiga tulisan utama sebagai dasar argumennya
Tulisan ini adalah dari Dr J Palulus (Encyclopaedie van Ne.Indie, 1917), J Tiedeman (TNAG, 1938) dan C Kroesen (TNAG, 1922)

BACA JUGA: Disnaker Batam Diminta Cepat Usulkan UMK

Lalu untuk mendukung tulisan ini, Jambi menyampaikan mitos Paduka Datuk Berhala yang telah dibumbui agar menjadi kisah melegenda, yang dibuktikan dengan makam peninggalannya
Dari kedua sumber ini, tim sejarah Jambi menyusun sebuah ikhtisar yang mendukung keabsahan status PB sebagai bagian dari wilayah Jambi.

“Jika hal itu dianggap final, sumber-sumber historis yang diajukan sebagai bahan menuntut penguasaan atas Pulau berhala merupakan sumber lemah

BACA JUGA: Polri Evaluasi Pengamanan Demo Batam

Kelemahan pertama pada makam Datuk Berhalo, jika dikatakan sebagai penyebar Islam dan Keturunan Nabi Muhammad SAW, mengapa makamnya tidak tidak memuat tulisan kaligrafi seperti layaknya makam-makam para tokoh sejaman," katanya.

Harto Juwono bersama Yosepin Hutagalung dari Arsip Nasional dan Pudjianti dari Perpustakaan Nasional melakukan kajian sejarah Kesultanan Indragiri sampai peristiwa 5 Januari 1949Harto diminta Pembina Yayasan Rumun Melayu Bersatu-Hulubalang Melayu Serumpun (RMB-HMS) Riau dan Kepulauan Riau SusilowadiSecara tak sengaja dalam proses penelitian tersebut, ia menemukan fakta-fakta dan data-data kalau Indragiri adalah bagian dari wilayah Kerajaan Riau Lingga yang berkedudukan di Daik, termasuk sejarah penguasaan atas Selat Berhala dan PB.

Data-data mengenai PB itu, sudah pernah diberikan kepada Mantan Gubernur Kepri Ismeth Abdullah tahun 2006 dan mantan Asisten I bidang Pemerintahan Pemprov Kepri Tengku Mukhtaruddin yang kini menjadi Bupati Kabupaten Kepulauan AnambasNamun, sayang setelah Ismeth lengser data-data itu tidak digunakan secara maksimal sehingga PB lepas ke JambiSementara tim sejarah yang saat ini dibentuk Wagub Kepri Soeryo Respationo, tidak memahami data-data tersebut.

Makam peninggalan Datuk Berhalo, lanjutnya, juga hanya berupa tumpukan batu-batu hitam dan bukan seperti layaknya sebuah makam tokoh Islam pada umumnyaBitupun periodisasi yang dibuat antara Datuk Berhalo dan putranya, dimana Datuk Berhalo hidup pada abad XIV, sementara putranya hidup pada abad XIX sehingga menimbulkan kerancuan.

Doktor lulus dengan predikat cumlaude ini mengaku, ia telah melakukan studi sejarah kepemilikan PB mulai dari Perpustakaan Nasional, Arsip Nasional hingga ke BelandaDari semua arsip yang ditemukan baik dalam bentuk rahasia (manuscript) dan formal (leksikografi) lengkap berikut peta-petanya dari tahun 1513-1955, Pulau Berhala adalah milik Riau Lingga, atau Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau saat ini.

Harto juga menemukan banyak data-data tentang Kesultanan Jambi masa lalu yang membuat kontrak-kontrak dengan pemerintah kolonial Belanda, diantaranya adalah Pangeran Anum pada 1721 dengan Gubernur Jenderal Zwaardecroon di Batavia dimuat dalam Corpus DiplomaticumDalam perjanjian itu dikatakan bahwa penguasa Jambi tidak akan menuntut klaim wilayah dari Belitung sampai Malaka (pasal 6), diantaranya Selat Berhala dan Pulau Berhala.

"Traktat ini dibuat karena Pengeran Anum merasa khawatir ketika Zwaardecroon mengutus Laksamana Van der Hoedt ke Jambi untuk meminta pertanggungjawaban atas perompakan di perairan Laut Cina Selatan oleh orang-orang JambiUntuk menghindari hukuman VOC, Pangeran Anum kemudian menegaskan bahwa orang-orang itu bukan kawulanya dan wilayah Jambi tidak mencakup perairan tersebut," kata pria berkacamata yang menguasai empat bahasa itu.

Kontrak lain juga dibuat raja-raja Jambi dengan VOC sejak 1645 hingga akhir abad XIXBersama pemerintah Hindia Belanda, semua perjanjian itu diperbarui yang pada prinsipnya semakin mengurangi hak kekuasaan wilayah Jambi"Sampai penghapusan kekuasaan Jambi oleh Belanda 1916 (Kolonial Verslag 1917), klaim Jambi atas Pulau Berhala tidak pernah bisa ditemukan dasar hukumnya," imbuh Harto.

Bahkan dalam laporan para kepala pemerintah daerah Jambi (Asisten Residen, Residen dan Kontrolir) pada setiap akhir masa jabatannya yang disebut Memorie van OvergaveDalam Memori yang merupakan koleksi KITLV di Leiden ini, dengan tegas dinyatakan bahwa pengawasan keamanan dan pelayaran di Selat Berhala berada di bawah tanggungjawab Controleur yang berkedudukan di Penuba dengan bantuan mercu suar yang dibangun disamping PB.

"Dari situ bisa diketahui bahwa sebenarnya Selat Berhala dan Pulau Berhala merupakan wewenang dari penguasa daerah (gezaghebber kemudian controleur) Lingga," katanya.

Harto menambahkan, keberadaan PB meruapakan bagian wilayah Riau Lingga dibuktikan dengan adanya Staatblad van Nederlandsch Indie tahun 1922, 1924 dan 1932 yang didukung peta-petanyaSejarah Pulau Berhala sebagai bagian Riau Lingga juga ditemukan sejak zaman Portugis (laporan Tom Pirres, Summa Oriental), laporan Marvin van Carnbee tahun 1958 dan peraturan pembentukan Afdeeling Pulau Tujuh tahun 1911.

Karena itu, Harto mengaku heran dengan keputusan Mendagri Gamawan Fauzi yang memberikan PB Jambi melalui Permendagri 44 Tahun 2011 hanya berdasar pada mitos atau legenda dan artikel majalah, bukan validitas legalitas historis“Keputusan Mendagri itu, bisa menimbulkan efek bola salju bila tidak segera dibatalkan karena mengaburkan fakta-fakta sejarah," pungkasnya(fas/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pendemo Minta KPK Periksa Gubernur Babel


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler