jpnn.com, SURABAYA - Pemilihan umum serentak pekan lalu menyisakan banyak cerita. memiliki cerita setelah pencoblosan.
Salah satunya banyak yang tidak mengenal calon anggota legislatif pada kertas suara. Akibatnya, pilihan asal diberikan tanpa mengenali siapa yang dicoblos.
BACA JUGA: Ketua KPPS di Malang Tusuk Perut Sendiri
Hal itu terungkap dalam penelitian yang dilakukan Departemen Statistika ITS Surabaya.
BACA JUGA : Inilah Ruangan Khusus untuk Caleg yang Stres karena Kalah di Pileg
BACA JUGA: Caleg PDIP Lapor ke Bawaslu Sergai, Begini Alasannya
Misalnya, yang dialami Cahyo Febri, warga Wonokromo yang baru pertama mencoblos. Dia sering melihat contoh surat suara. Bahkan, dia sudah tahu siapa yang akan dicoblos.
''Orang tua memesan saya untuk mencoblos salah satu caleg,'' ungkapnya.
BACA JUGA: Inilah TPS di Sulut yang Potensi Gelar Pencoblosan Ulang, Cek di Sini
Di dalam bilik, rencana itu berubah. Kertas suara lebar. Banyak nama di kertas suara tersebut. Cahyo mengaku bingung.
Kebingungan itu semakin bertambah saat pandangannya mengarah ke ruang tunggu. Banyak orang yang menunggunya.
''Saya bingung, akhirnya saya coblos partainya saja, tidak sempat melihat nama orangnya,'' katanya.
BACA JUGA : Denny JA Usul Pileg dan Pilpres Dipisah, Ini Empat Alasannya
Pengalaman serupa dialami Fitrianingsih, warga Gayungan. Dalam pemilu tahun ini, dia kali kedua mencoblos.
Dia tidak bingung dengan banyaknya nama di kolom partai. Yang dibingungkan adalah siapa yang layak dicoblos.
''Sebab, saya tidak mengenal mereka sama sekali,'' katanya.
Selama ini para caleg hanya menampakkan gambar dan program. Mereka jarang bertemu langsung dengan masyarakat. Karena itu, dia tidak kenal latar belakang caleg tersebut.
''Saya asal coblos partainya saja,'' paparnya.
BACA JUGA : Pertarungan Ketat Pileg DPR-RI Dapil IX Jawa Timur
Pakar komunikasi politik Unair Dr Suko Widodo menyebut pemilu kali ini paling rumit. Informasi kepada masyarakat tentang peserta pemilu masih kurang. Di sisi lain, masyarakat lebih fokus pada pemilihan presiden.
''Dampaknya, banyak yang bingung saat dihadapkan pada pemilihan calon anggota legislatif,'' ungkapnya.
Dia mengakui, responden tidak mengenal caleg yang dipilih. Suko juga melakukan riset terhadap pola pikir pemilih di Surabaya.
Lebih dari 62 persen ingin bertemu dengan caleg. Harapan itu tidak terwujud. Pemilih pun bimbang. ''Pada posisi bimbang ini, muncul deviasi politik,'' ucapnya.
Deviasi atau penyimpangan politik yang paling marak adalah pembelian suara. Parahnya, banyak caleg yang menggunakan strategi tersebut.
Mereka menganggap cara itu paling mudah dan efektif. Padahal, strategi tersebut justru merusak demokrasi bangsa.
Suko Widodo berharap pengalaman para pemilih tersebut menjadi bahan evaluasi.
KPU bisa menginventarisasi apa saja yang terjadi di tataran bawah. Permasalahan itu menjadi materi dalam menyusun proses sosialisasi pemilu lima tahun mendatang.
Begitu juga dengan caleg. Mereka harus melihat apa yang dibutuhkan masyarakat.
Cara singkat yang merusak moral dan demokrasi tidak sepatutnya ada. Caleg harus lebih menghargai konstituen. Datang dan berkomunikasi merupakan cara terbaik.
''Membangun ikatan emosional sehingga masyarakat yakin dalam menentukan pilihannya,'' ucapnya. (riq/c15/end/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... 12 Polisi Meninggal Kelelahan Jaga Keamanan Selama Proses Pemilu Serentak
Redaktur & Reporter : Natalia