jpnn.com, JAKARTA - Ratusan pengusaha farmasi curhat ke Wakil Presiden Jusuf Kalla, Rabu (30/1) pagi mengenai utang BPJS Kesehatan ke rumah sakit yang berdampak pada perusahaan mereka.
Para pengusaha itu mengaku menanggung piutang sekitar Rp 3,6 triliun yang telah jatuh tempot dua hingga empat bulan lamanya. Kondisi itu membuat perputaran keuangan bagi sektiar 200 anggota Gabungan Perusahaan Farmasi (GPF) itu terganggu berat.
BACA JUGA: Jangan Lagi Korban Kecelakaan Mendapatkan Dobel Klaim
Ketua Pengurus Pusat GPF Tirto Kusnadi bersama pengurus lainnya baru keluar setelah sejam lebih berbicara tertutup dengan JK. Dia menuturkan piutang tersebut memang kepada rumah sakit. Tapi, juga berkaitan dengan BPJS Kesehatan.
Karena pembayaran obat-obatan oleh rumah sakit itu juga tergantung pada gelontoran dana dari BPJS Kesehatan.
BACA JUGA: BPJS Kesehatan Dinilai Menafikan Urgensi Pelayanan
”Sekarang pun uang seberapa besar dilimpahkan ke rumah sakit oleh BPJS. Rumah sakit mungkin akan mengutamakan gaji pegawai dulu, jasa medik, untuk lauk pauk makanan, untuk pendidikan, untuk segala macam. Baru sisanya mungkin dibayarkan ke industri farmasi atau kepada GPF,” ujar Tirto.
BACA JUGA: Aturan Baru terkait BPJS Kesehatan: Urun Biaya Belum Diterapkan
Dia mencontohkan saat ada gelontoran dana hingga triliunan dari pemerintah melalui APBN untuk membantu BPJS Kesehatan, ternyata yang sampai ke GPF hanya enam hingga 10 persen saja.
Ada permintaan agar BPJS Kesehatan menjadikan perusahaan farmasi sebagai provider langsung. bukan lagi menjadi co-provider melalui rumah sakit.
”Pak JK bilang memang BPJS (Kesehatan, Red) sedang dicarikan (solusi). Misalnya tambahan keuangan dan sebagainya,” ungkap Tirto.
Deputi bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan Setwapres Bambang Widianto menuturkan pemerintah sudah menyiapkan sejumlah alternatif untuk mengatasi defisit BPJS itu.
Diantaranya kenaikan premi, tidak semua layanan ditanggung oleh BPJS, dan ada pembangian kewenangan ke pemerintah daerah.
”Ide Pak Wapres nih desentralisasi pembagian beban sama pemerintah daerah. Harusnya dicoba dong kata Pak Wapres pembagian beban itu,” kata Bambang usai dia mengantar tamu wapres tersebut.
Sedangkan keinginan agar perusahaan farmasi menjadi provider langsung BPJS Kesehatan sepertinya akan sulit diwujudkan. Sebab, yang mengerti kebutuhan obat adalah rumah sakit atau dokter.
”Yang tahu penggunaan obatnya siapa? kan dokter yang tahu. Jadi rumah sakitnya, jadi memang begitu,” ungkap Bambang.
Deputi Direksi Bidang Jaminan Pembiayaan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan Budi Mohamad Arief mengatakan bahwa BPJS Kesehatan tidak bertanggungjawab langsung terhadap utang obat.
BACA JUGA: Jangan Lagi Korban Kecelakaan Mendapatkan Dobel Klaim
Menurutnya setiap klaim yang diajukan rumah sakit sudah satu paket antara obat, biaya perawatan, biaya dokter, dan lain-lain. ”Ketika rumah sakit mendapat pembayaran klaim, sudah sepatutnyalah itu disisihkan untuk dibayarkan kepada farmasi,” ungkapnya kemarin.
Budi menjelaskan bahwa pihaknya tidak tahu obat apa yang digunakan rumah sakit selama perawatan pasien. Sebab dalam paket Ina CBGs memang tidak tertera rinci jenis obat yang digunakan. ”Kecuali obat untuk penyakit kronis yang di luar Ina CBG’s,” ungkapnya,
Dia menyarankan agar setiap kasus terlambatnya pembayaran obat harus dicek kembali. Sebab, pengusaha farmasi sebelumnya juga pernah datangi kantor BPJS Kesehatan dan mengadu terlambat dibayar piutang obatnya. Alasan yang didapat dari pengusaha farmasi itu karena rumah sakit terlambat mendapat klaim dari BPJS Kesehatan.
BACA JUGA: Aturan Baru terkait BPJS Kesehatan: Urun Biaya Belum Diterapkan
”Lalu kami cek datanya. Ternyata rumah sakit itu sudah kita bayar. Lalu uang yang kita bayarkan kepada rumah sakit itu untuk apa? Dikembalikan kepada menjemen rumah sakit,” kata Budi. (jun/lyn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Hery Susanto Kritik Pengelolaan BPJS Kesehatan di Era Jokowi
Redaktur & Reporter : Soetomo