Sekarang tidak Takut, Belanda Sudah tak Ada di Sini

Rabu, 19 Agustus 2015 – 13:11 WIB
Amina Sabtu. Foto: Malut Pos/JPG

AMINA Sabtu. Perempuan yang berjasa menjahit bendera merah putih pertama yang dikibarkan di Maluku Utara, setahun setelah Indonesia Merdeka. 70 tahun setelah Indonesia merdeka, kini Amina masih harus ‘berjuang’ melawan kemiskinan.   
-------------
Safri Noh, Tidore
------------
17 Agustus selalu menjadi hari bersejarah bagi Amina Sabtu. Semarak kemeriahan perayaan kemerdekaan kerap mengingatkannya pada peristiwa 69 tahun silam, kala Abdullah Kadir, yang terhitung masih kerabatnya, memintanya menjahit sang saka merah putih.

Puluhan tahun yang telah berlalu memang membuat sebagian ingatan nenek 88 tahun tersebut mulai luntur. Namun ia ingat persis detail ketika dengan waswas menjahit bendera yang kemudian dikibarkan pertama kali di bumi Maluku Utara tersebut.

BACA JUGA: Kisah Haru Prajurit di Perbatasan Melepas Rindu pada Keluarga

“Jahitnya di sini, di rumah ini,” ungkap Amina kala ditemui Malut Post (Jawa Pos Group) di rumahnya di RT/RW 08/04 Kelurahan Mareku, Kecamatan Tidore Utara, Kota Tidore Kepulauan (Tikep), Maluku Utara, 17 Agsutsu 2015.

Meski peringatan hari kemerdekaan selalu menjadi hari istimewa baginya, hari itu Amina hanya menghabiskan waktu dengan mengerjakan pekerjaan rumah sehari-hari. Tubuh tuanya telah begitu ringkih, namun masih saja mencuci piring dan menyapu isi rumah sederhana itu.

BACA JUGA: HEROIK! Perayaan HUT RI di Perbatasan, Mas Tjahjo Tampak Gagah

Meski diundang seperti tahun-tahun sebelumnya, Amina tak menghadiri peringatan HUT Kemerdekaan yang digelar Pemerintah Kota Tikep hari itu. Karena kondisi tubuhnya tak mengizinkan ia pergi jauh dan lama meninggalkan rumah.  

“Sudah beberapa tahun terakhir mama (Amina, red) tidak bisa menghadiri upacara. Saya yang mewakili,” ujar Bujuna Noh, menantu Amina, yang turut mendampinginya.

BACA JUGA: Kisah Si Cantik Semampai Asal Lampung yang Punya Pengalaman dengan Jokowi

Hari itu Amina mengenakan kebaya kutubaru dan sarung terbaiknya. Dari sang menantu, ia tahu Malut Post (Jawa Pos Group) akan datang bertandang.

Perempuan yang hanya lancar berbahasa daerah Tidore itu tak lagi ketakutan dikunjungi orang asing yang hendak bertanya-tanya mengenai peristiwa bersejarah yang pernah dialaminya.

“Dulu suka ketakutan jika ada yang tanya-tanya. Beliau takut tentara Belanda dan polisi akan datang mencarinya,” tutur Bujuna.

Hari-hari Amina kini memang lebih banyak dihabiskan di rumah berlantai semen tersebut. Rumah peninggalan orang tuanya itu merupakan saksi ketika perempuan yang oleh warga sekitar kerap disapa Nenek Na itu menjahit bendera bersejarah.

Ketika didatangi Abdullah, pemuda Mareku yang terkenal dengan semangat pemberontakannya, untuk menjahitkan bendera, Amina remaja sempat menolak. Hari itu tercatat 17 Agustus 1946.

“Saya tanya apakah nanti ada yang marah kalau kita jahit bendera? Dullah (Abdullah, red) bilang, jahit bendera saja kok dimarahi?” kata Amina yang dikaruniai tiga anak tersebut.

Abdullah terus meyakinkan sepupunya tersebut dengan mengatakan, bahwa perintah pengibaran bendera datang dari Jakarta. Amina pun luluh.

Nenek 12 cucu itu lalu mencari lembaran kain polos berwarna putih dan merah. Tak ada kain seperti itu di rumahnya.

Akhirnya, Amina mengambil kain penutup peti yang digunakan dalam Tarian Jin (salah satu tari tradisional masyarakat Tidore) yang kebetulan memiliki dua warna yang dibutuhkan.

“Saat itu orang kampung banyak yang lari sembunyi di hutan. Karena masih banyak tentara Belanda yang berkeliaran. Jadi saya sendiri di rumah,” kisahnya.

Setelah menemukan kain, Amina masih harus mencari benang. Tak mudah menemukan di zaman itu. Tak habis akal, ia memarut daun nanas dan mengambil seratnya. Serat nanas cukup kuat untuk dijadikan benang penyatu lembaran kain merah dan putih.

“Saya ambil daun nanas di belakang rumah lalu dijadikan benang untuk jahit bendera itu,” tutur Amina yang kini memiliki tiga orang cicit.
     
Perempuan yang tak pernah mengenyam bangku pendidikan itu menjahit bendera tersebut di rumahnya yang dalam keadaan kosong. Saat itu hari masih pagi.

Tak butuh waktu lama baginya untuk menyelesaikan jahitan tersebut. Begitu proses penjahitan rampung, Abdullah dan beberapa temannya datang untuk mengambil bendera itu.

Amina dan Abdullah bersepakat tak akan saling tunjuk apabila tentara Belanda menangkap salah satu dari mereka. “Kalau Dullah tertangkap Belanda, maka dia tidak akan menunjuk saya. Begitu juga sebaliknya,” kata perempuan yang buta aksara tersebut.

Awalnya, bendera tersebut akan dikibarkan di Jembatan Residen, Ternate. Namun ketatnya penjagaan tentara Belanda membuat Abdullah dan kawan-kawannya harus mengubah rencana.

Menggunakan perahu dayung, rombongan ini kembali ke Pulau Tidore dan mulai mencari tempat yang dipandang strategis untuk menancapkan simbol perlawanan terhadap pendudukan Belanda yang masih berlangsung di Malut tersebut. Tanjung Mareku kemudian dianggap sebagai lokasi yang sempurna.

Tanjung itu sendiri letaknya hanya berkisar 50 meter dari rumah Amina. “Bendera itu dikibarkan pagi hari tanggal 18 Agustus 1946 di Tanjung Mareku. Ketika Belanda patroli hari itu, mereka langsung melihat bendera itu karena letaknya tepat di pinggir jalan raya,” cerita istri dari almarhum Abubakar ini.

Tentara Belanda murka melihat keberadaan bendera yang dikibarkan dengan sebatang bambu itu. Meski demikian, tak ada satu pun yang berani menurunkan bendera tersebut.

Konon, di bawah tiang bendera tertulis kalimat yang berbunyi, “Barang siapa yang berani menurunkan bendera ini, maka nyawa diganti nyawa.”

Tak butuh waktu lama bagi Belanda yang memiliki mata-mata sejumlah polisi Indonesia untuk mengetahui pelaku pengibaran bendera. Abdullah kemudian ditangkap. Namun tetap tak ada yang berani menurunkan bendera, hingga Belanda meminta Sultan Tidore yang berkuasa kala itu, Zainal Abidin Sjah, untuk menurunkannya.

“Sultan tidak menurunkan bendera itu. Ou (sebutan untuk Sultan, red) mencabut tiang benderanya sekaligus dan dibawa ke kedaton. Sejak itu, saya tidak pernah melihat bendera itu lagi,” tutur Amina.

Oleh tentara Belanda, Abdullah dihajar hingga gigi depannya patah. Meski babak belur dihantam, pria yang wafat pada 2010 lalu itu tak pernah membocorkan pelaku lain yang terlibat dalam peristiwa tersebut.

Setelah Abdullah dilepaskan, giliran Amina yang ditangkap tentara Belanda dan mata-matanya ketika tengah menonton sebuah acara pesta kampung. Amina diangkut menggunakan mobil patroli dan dibawa ke Tanjung Mareku.

Di sana, ia ditanyai mengenai keterlibatan orang lain dalam misi pengibaran bendera. Sama seperti Abdullah, Amina bersikukuh menyatakan hanya pemuda itulah pelakunya.

Di saat bersamaan, warga Mareku beramai-ramai membela Amina. “Orang-orang bilang, jangan tangkap saya, karena saya juga hanya suruhan orang. Akhirnya saya dibebaskan,” katanya.

Peristiwa penangkapan ini sempat membuatnya trauma hingga puluhan tahun kemudian. Tiap kali ada orang yang bertanya tentang peristiwa pengibaran bendera, Amina akan menghindar untuk menjawabnya.

Ia khawatir, pengakuannya akan mengundang datangnya para tentara Belanda yang akan mencarinya. “Sekarang tidak takut lagi. (Tentara, red) Belanda sudah tidak ada di sini,” ujar perempuan dengan indera penglihatan dan pendengaran yang masih tergolong baik ini.

Setelah Belanda meninggalkan Tidore pada 1949, Amina bekerja sebagai seorang pedagang. Ia menjajakan kue-kue buatannya sendiri, juga rempah-rempah di pasar.

Abubakar, almarhum suaminya, merupakan seorang buruh kelapa. Mereka hidup sederhana, bahkan cenderung kekurangan.

Setelah ditinggal wafat suaminya puluhan tahun silam, Amina harus bekerja keras menghidupi ketiga anaknya. Hingga dewasa, anak-anak Amina pun hidup sederhana.

“Sekarang saya tinggal di rumah ini dengan dua cucu, anak-anak Hasan (anak kedua Amina, red). Hasan dan Bujuna (istri Hasan, red) sedang membuka kebun di Dodinga (Halmahera Barat, red), jadi mereka lebih sering di sana,” katanya.

Rumah saksi peristiwa bersejarah yang mereka tempati itu pun sangat sederhana. Beberapa kaca jendela rumah berkamar tiga itu telah pecah dan meninggalkan lubang yang besar.

Lantai rumah ini awalnya hanya berupa tanah. Oleh warga sekitar, lantai tanah tersebut lalu dicor menggunakan semen. Begitu pula atap rumbia di dapur rumah yang rusak parah, lantas diganti warga menggunakan seng.

Dinding dapur pun sempat nyaris roboh sebelum akhirnya dibenarkan warga. Kamar mandi rumah tersebut juga masih berupa kamar mandi darurat.

Lantaran tak memiliki pendapatan tetap, keluarga ini hidup dalam kondisi pas-pasan. Warga sekitarlah yang terkadang memberikan uang sebagai santunan untuk Amina. “Ini warga juga yang baru saja mengecat rumah,” aku Amina seraya tertawa.

Tiap upacara HUT kemerdekaan 17 Agustus, Abdullah dan Amina selalu diundang Pemerintah Kota Tidore untuk menghadiri upacara di Kantor Wali Kota. Pada momen tersebut, pemkot juga memberikan santunan sebesar Rp1,5 juta hingga Rp2 juta.

Namun tak pernah ada tanda penghargaan yang mereka terima sebagai pahlawan. Kisah heroik mereka bahkan nyaris terlupakan seiring berjalannya waktu.

Semenjak berpulangnya Abdullah, Amina tak pernah lagi mengikuti upacara kemerdekaan lantaran kondisi tubuhnya yang makin renta dimakan usia. “Tapi selalu ada undangan yang datang. Saya yang selalu mewakilinya,” kata Bujuna.

Di Tanjung Mareku, tempat merah putih pertama kali dikibarkan, kini berdiri gagah sebuah monumen peringatan.

Tahun ini, warga Kelurahan Mareku menggelar upacara bendera di monumen itu. Upacara ini dilakukan untuk memperingati jasa warganya yang terlibat dalam peristiwa heroik tersebut. Nenek Na, sebagai satu-satunya pelaku sejarah yang tersisa, hadir di upacara itu. (saf/kai)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Misteri Bau Pesing di Kota Modern Shenzhen


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler