jpnn.com, SURABAYA - Pengalihan pengelolaan kewenangan SMA/SMK dari pemkot ke pemprov telah berjalan selama setahun.
Hingga kini, persoalan pembiayaan pendidikan kerap terjadi di sekolah di Surabaya, Jatim.
BACA JUGA: Guru Honorer Jadi Korban Pengalihan SMA/SMK ke Provinsi
Salah satunya mengenai minimnya pemasukan akibat molornya pembayaran sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) oleh siswa.
Problem tersebut terjadi di 20 kabupaten/kota di Jatim.
BACA JUGA: Siswa SMKN Mogok Belajar, Minta Kepala Sekolah Diganti
Kesulitan penarikan SPP itu disampaikan Kepala SMKN 2 Djoko Pratmodjo.
Selama hampir setahun ini, pembayaran SPP kerap tidak tepat waktu. Bukan hanya itu, siswa yang meminta keringanan SPP setiap bulannya juga kian bertambah.
BACA JUGA: Berharap Gus Ipul Kembalikan Pengelolaan SMA/SMK ke Pemko
Jika pada Januari lalu mereka masih bisa membayar SPP dengan nominal penuh, seiring perjalanan bulan, beberapa siswa minta keringanan SPP.
Di SMKN 2, biaya SPP yang harus dibayar siswa mencapai Rp 215 ribu per bulan. Jika siswa meminta keringanan, sekolah akan memotong biaya SPP Rp 100 ribu.
"Jadi, siswa tinggal bayar Rp 115 ribu," tutur Djoko.
Saat ini jumlah total siswa SMKN 2 mencapai 2.980 anak. Dari jumlah tersebut, sekitar 5 persen siswa mendapatkan pembebasan SPP penuh dan sekitar 15 persen siswa diberikan keringanan.
Meski begitu, Djoko menyebutkan, jumlah siswa yang tidak membayar tepat waktu juga masih banyak. Pembayaran SPP telat 2-3 bulan sudah jamak terjadi.
Untuk menyiasati hal itu, sekolah kemudian membuat berbagai kebijakan.
Salah satunya, mengadakan ujian tengah semester (UTS). Dengan UTS, siswa dan wali murid akan lebih terpanggil bayar SPP.
Skema lainnya adalah sekolah membuat perjanjian antara wali murid dan siswa. Isinya soal penggunaan dana kartu Indonesia pintar (KIP) yang bisa langsung dibayarkan ke sekolah.
Perihal permasalahan pembiayaan SPP tersebut, Djoko berharap ada bantuan yang diberikan langsung ke sekolah.
Terutama bagi siswa miskin agar tidak dikenai tanggungan pembayaran SPP. Untuk masalah itu, dia menyarankan agar pemkot bisa turun tangan.
Kesulitan pembayaran SPP juga dialami SMAN 20. Molornya SPP tersebut hampir terjadi setiap bulan meski secara kuantitas tidak banyak.
"Ya, soal molornya pembayaran SPP tersebut juga terjadi di sekolah kami," terang Waka Kesiswaan SMAN 20 Supratman.
Untuk menutupi kebutuhan sekolah, pihaknya menggunakan skema subsidi silang. Yakni, menerapkan besaran SPP sesuai dengan kemampuan siswa.
SMAN 20 menerapkan SPP sebesar Rp 150 ribu. Sementara itu, keringanan SPP dikategorikan dalam tiga jenjang. Yakni Rp 100 ribu, Rp 75 ribu, dan Rp 50 ribu.
Di sisi lain, persoalan pengalihan wewenang SMA/SMK tersebut memang terjadi hampir di seluruh kabupaten/kota di Jatim.
Khususnya mengenai pembiayaan dan mekanisme SPP yang dianggap memberatkan sekolah.
"Keluhan ini terjadi di hampir 20 kabupaten/kota di Jatim," Wakil Ketua Komisi E DPRD Jatim Suli Daim.
Sekolah umumnya mengeluh soal rendahnya ketetapan SPP yang diatur dalam Surat Edaran Gubernur Jawa Timur Nomor 120/71/101/2017 tentang SPP SMA/SMK.
Aturan dirasakan banyak sekolah yang menganggap sebagai pembatasan ruang gerak. Terutama dalam menyelenggarakan pendidikan yang bermutu.
Untuk mengatasi hal itu, saat ini DPRD Jatim menyusun regulasi pelaksanaan pendidikan SMA/SMK tersebut.
Perda bertujuan memperkuat posisi sekolah agar memiliki kewenangan dalam pengelolaan pendanaan dari masyarakat. (elo/c25/git/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kualitas Pendidikan di SMA/SMK Terancam Merosot
Redaktur & Reporter : Natalia