jpnn.com, MEDAN - Politikus muda PDI Perjuangan Maruarar Sirait mengunjungi Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda (YPSIM) di Medan, Sumatera Utara, Sabtu (15/7). Kedatangan anggota Komisi XI DPR yang juga ketua umum Taruna Merah Putih itu disambut langsung oleh Sofyan Tan selaku pendiri YPSIM.
Sekolah YPSIM yang berlokasi Jalan Tengku Amir Hamzah Pekan I, Gang Bakul, Medan Sunggal, Kota Medan sangat terkenal karena konsisten mengajarkan pluralisme. Sofyan mendirikan YPSIM pada 1987 untuk menampung anak-anak yang tak mampu.
BACA JUGA: Bang Ara Serap Aspirasi Kadin Sumut untuk Kuatkan BPR
Di sekolah milik Sofyan Tan itu pula tak ada kelompok yang mayoritas ataupun minoritas. Sebab, siswa-siswa di YPSIM berasal dari semua kelompok etnis yang ada di Medan. Ada Batak, Melayu, Tionghoa, India dan lainnya.
Maruarar pun terkesima dengan YPSIM. Menurutnya, sekolah-sekolah di Indonesia perlu meniru YPSIM.
BACA JUGA: Utang Pemerintah di Era Jokowi Membesar, Ini Pembelaan Maruarar
Ara -panggilan akrab Maruarar- merasa khawatir bahwa paham radikalisme akan makin subur jika generasi tunas bangsa tak diberi pemahaman yang baik tentang pluralisme. "Semoga sekolah ini bisa melahirkan Sofyan Tan- Sofyan Tan yang baru," ujarnya.
Sedangkan Sofyan justru memuki kiprah Ara yang selama ini getol menyuarakan pluralisme dan seorang Pancasia. Sofyan pun merasa seide dengan Ara.
BACA JUGA: Bang Ara Dorong Pansus RUU Pertembakauan Buka-Bukaan demi Keadilan
“Pluralisme harus kita jaga bersama. Keragaman adalah realitas dan kenyataan Indonesia yang tak bisa kita pungkiri," kata Sofyan yang kini menjadi anggota DPR dari PDIP itu.
Dia memerinci, mulanya di YPSIM ada 141 siswa dan 17 guru. “Semua murid dari orang miskin,” sambungnya.
Selain itu, mulanya bangunan kelas Sekolah YPSIM hanya semacam bangsal. “Ada tujuh bangsal," sebutnya.
Namun, kini YPSIM makin berkembang dan banyak lulusan yang diterima di perguruan tinggi bergensi. Di dalam kompleks sekolah juga ada rumah ibadah seperti gereja, masjid, pura dan wihara.
"Saya ingin mewujudkan multicultural education. Kini sudah ada 3.000 ribu murid dari TK hingga SMA dengan jumlah guru dan staf ada 202 orang," tuturnya.
Sofyan juga menceritakan pengalamannya sehingga terpacu membuat sekolah dengan siswa multietnik. Saat masih kecil, Sofyan mengaku melihat romah-rumah warga orang Tionghoa yang dibakar pada tahun 1960-an.
Ternyata rumah keluarga Sofyan justru aman. Padahal, Sofyan dan ayahnya juga beretnis Tionghoa.
“Rumah bapak saya aman. Bapak saya dekat dengan semua suku dan agama. Bahkan ketika bapak saya meninggal didoakan para tokoh masyarakat yang dari berbagai agama,” tuturnya.
Selain itu, Sofyan juga punya pengalaman pahit saat menerima perlakuan diskriminatif ketika mendaftar di fakultas kedokteran sebuah perguruan tinggi. Hanya karena beretnis Tionghoa, Sofyan harus mengulangi ujian hingga lima kali.
Sofyan baru diloloskan setelah memberanikan diri minta diuji langsung di depan dekan. "Pengalaman ini membuat saya ingi membangun sekolah yang benar-benar pluralis dab multikultural. Tanpa membedakan lagi suku dan agama. Semuanya punya hak yang sama," kata Sofyan.(ysa/rmo/jpg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bang Ara Memuji Kesetiaan Bu Sinta Wahid Menjaga Pancasila
Redaktur : Tim Redaksi