Sektor Riil Melambat, Sejuta Pekerja Terancam PHK

Pajak Berpotensi Hilang Rp 200 T

Sabtu, 20 Desember 2008 – 09:14 WIB
JAKARTA - Krisis finansial global terus memakan korbanTahun depan, setidaknya sejuta pekerja bakal kehilangan pekerjaan

BACA JUGA: Bush Talangi Big Three Rp 191,4 T

Hal tersebut disebabkan melambatnya sektor riil menyusul menurunnya pasar ekspor dan melemahnya daya beli.

Gelombang PHK besar-besaran diperkirakan terjadi di sektor industri padat karya
Misalnya, tekstil, sepatu, perkebunan, dan konstruksi

BACA JUGA: Ketua DPR Minta BI Rate Bisa Turun Lagi



''Tenaga kerja yang dirumahkan dari berbagai sektor usaha mencapai 500 ribu-1 juta orang
Jika ditambah pengangguran tidak langsung, bisa mencapai 1,5 juta orang

BACA JUGA: Pertamina akan Tindak Tengkulak Elpiji

Angka itu memang lebih rendah dibanding krisis 1998 yang mencapai tiga juta orang,'' ungkap Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi di Jakarta, Jumat (19/12).

Dia mencontohkan, potensi PHK di sektor konstruksi diperkirakan mencapai 150 ribu orangLalu, industri kayu (100 ribu orang) dan sektor persepatuan (30 ribu orang)Bahkan, saat ini sebagian industri sepatu berskala kecil serta menengah dan non-branded (tidak bermerek) sudah melakukan PHK

Untuk sektor otomotif dan makanan-minuman, diperkirakan belum terjadi PHK''Mereka memilih mengurangi jam kerja atau mengurangi lembur,'' ujarnya.

Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Benny Soetrisno menuturkan, krisis finansial yang terjadi sekarang telah menyebabkan ekspansi perusahaan tertunda, produksi menurun, dan pengusaha mengurangi pegawaiDari sektor tekstil, tenaga kerja yang terkena PHK diperkirakan 70-80 ribu orang''Sekarang sudah ada 30 ribuan yang dirumahkan atau di-PHKSkenario terburuk tahun depan, pendapatan sektor tekstil turun 50 persen,'' ungkapnya.

Ketua Apindo Djimanto menambahkan, keputusan pemerintah daerah yang menetapkan kenaikan upah minimum regional (UMR) di atas inflasi semakin memberatkan pengusahaSebab, di beberapa daerah, kenaikan UMR berkisar 15-25 persen''Banyak gubernur yang karena tekanan politik di daerahnya kemudian menetapkan kenaikan UMR gila-gilaanRata-rata di atas 15 persen, bahkan ada yang 20-25 persen,'' tegasnya.

Sebelumnya, dalam surat keputusan bersama (SKB) lima menteri, pemerintah mengizinkan kenaikan UMR tidak boleh melebihi pertumbuhan ekonomiKemudian, keputusan itu direvisi menjadi tidak boleh melebihi inflasi

Namun, kata Djimanto, tidak ada sinkronisasi kebijakan mengenai kenaikan UMR''Bagaimana kok keputusan pusat dan daerah tidak samaPengusaha daerah banyak yang menjerit,'' ucapnya.

Menurut dia, upaya mengurangi PHK tahun depan bisa dilakukan kalau pemerintah tegas memberlakukan pengetatan imporSayangnya, kebijakan itu belum dilakukanBahkan, pelaksanaannya diundur dari 15 Desember menjadi 1 Januari 2009''Kalau impor dipangkas, otomatis produksi dalam negeri meningkatItu kan bisa menyerap tenaga kerja,'' jelasnya.

Akibat perlambatan kinerja sektor riil, kata dia, pemerintah berpotensi kehilangan pendapatan dari penerimaan pajak sekitar Rp 200 triliun''Pendapatan dari pajak tahun depan berkurang setidaknya Rp 200 triliun karena bisnis usaha yang tidak bisa jalan,'' tegas Sofjan.

Menurut dia, kinerja sektor usaha akan semakin melorot, baik diri sisi produksi maupun pendapatanDengan begitu, pendapatan negara dari sisi pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), dan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) akan tergerus.

Karena itu, pemerintah harus memberikan insentif bagi dunia usaha agar kinerja sektor riil tidak semakin melorotUntuk menjalankan program tersebut, pemerintah bisa meminjam dana dari Bank Dunia atau lembaga keuangan lainnya

Sebab, tahun depan, rata-rata pengusaha menurunkan produksinya 30 persen''Kalau tidak ada stimulus, kita akan berhenti berproduksiUntuk pulih dari krisis ini saja butuh 3-4 tahun,'' bebernya.

Insentif Belum Efektif

Kamar Dagang dan Industri (Kadin) menilai, sejumlah insentif yang ditawarkan pemerintah belum efektif menggairahkan sektor riilSebab, tidak semua implementatif dan relevan dengan masalah yang dihadapi sektor riil.

''Masalah nyata sektor riil saat ini adalah akumulasi turunnya permintaan ekspor serta melemahnya daya beli masyarakat,'' kata Ketua Komite Tetap Fiskal dan Moneter Kadin Indonesia Bambang Soesatyo kemarin.

Menurut dia, insentif seperti penurunan bea masuk bahan baku, pemotongan pajak Rp 12,5 triliun, rediskonto wesel ekspor, hingga trade financing tidak semuanya implementatif dan relevan dengan masalah sektor riil sesungguhnyaPadahal, persoalan utama yang harus dibenahi adalah meningkatkan daya beli masyarakat.

Sebab, selama ini pemerintah dan pengusaha meremehkan pasar dalam negeri yang total konsumennya mendekati 230 juta orangKarena itu, pada 2009, pemerintah harus merumuskan insentif fiskal yang fokus pada pemecahan masalah internal''Rancangan insentif harus terarah pada penguatan daya beli masyarakat,'' tegasnya.

Meski begitu, insentif untuk meningkatkan efisiensi biaya produksi barang jasa juga harus terus dilakukanMengenai penguatan daya beli, dia menilai pemerintah sudah memulainya dengan menurunkan harga premium dan solar

Namun, langkah tersebut tidak efektif jika tidak diikuti koreksi terhadap biaya transportasi publik dan biaya distribusi''Sebagai insentif, pemerintah masih perlu menurunkan lagi harga bensin dan solar,'' katanya.(wir/oki)

BACA ARTIKEL LAINNYA... MS Hidayat Calon Tunggal Ketua Kadin


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler