Sembilan Argumen Baru Uji Materi Presidential Threshold

Jumat, 22 Juni 2018 – 10:34 WIB
Hadar Nafis Gumay. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Para pemohon uji materi pasal ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold), nampak optimistis gugatan ke Mahkamah Konstitusi kali ini akan dikabulkan.

Demi meyakinkan para hakim konstitusi, para pemohon menyebut memiliki sembilan argumen baru yang patut didengar dan menjadi perhatian untuk diambil keputusan dalam persidangan nanti.

BACA JUGA: Ingin Maju di Pilpres, Siap Gandeng Jenderal Bintang Dua TNI

Pernyataan itu disampaikan oleh Hadar Navis Gumay, mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum RI yang menjadi salah satu pemohon uji materi pasal 222 UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Hadar menyatakan, uji materi ini diajukan sebagai pihak-pihak non partisan, yang tidak terkait tujuan calon presiden atau partai politik tertentu.

”Meski pasal 222 UU Pemilu sudah diajukan 10 kali (semuanya ditolak, red), kami tetap anggap hal ini sangat penting,” kata Hadar. Hadar didampingi sejumlah pemohon lain, diantaranya direktur eksekutif Perludem Titi Anggraini, akademisi Rocky Gerung, dan sejumlah aktivis lain.

BACA JUGA: Front Pembela Rakyat Ikut Gugat Pasal PT ke MK

Hadar menyampaikan, pasal 222 terkait ambang batas pencalonan presiden bukanlah mandat dari UUD 1945. Pasal 222 justru mengatur syarat, dimana parpol yang berhak mengajukan calon presiden maupun calon wakil presiden adalah parpol atau gabungan parpol yang memiliki 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional, hasil pemilu 2014. Padahal, yang diamanatkan oleh UUD adalah tata cara pencalonan.

”Dalam konstitusi kita yang sebetulnya syarat-syaratnya sudah jelas, pasal 22 menambah syarat,” kata Hadar.

BACA JUGA: Saingi Jokowi di Pilpres, FPR Minta Bantuan FPI

Dalam argumen kedua, pasal 222 juga membatasi parpol mana saja yang berhak atau boleh mengajukan capres maupun cawapres. Parpol yang tidak memiliki kursi atau parpol baru praktis tidak bisa mengajukan capres dan cawapres. Padahal, konstitusi hanya mengatur yang berhak mencalonkan adalah parpol peserta pemilu. ”Jelas ini bertentangan dengan konstitusi kita,” ujarnya.

Argumen ketiga adalah alasan yang selama ini disebut dalam putusan MK, bahwa pemerintah dan DPR diberi ruang untuk mengatur lebih lanjut, atau diistilahkan open legal polecy. Namun, kata Hadar, apa yang diatur konstitusi sudah sangat jelas dan tidak ada perintah mengatur lebih jauh.

”Maka ini sebenarnya adalah close legal polecy, ini hal yang tidak perlu diatur dalam UU,” kata sosok yang pernah aktif di Center Electoral Reform (Cetro) itu.

Alasan lain yang patut dipertimbangkan MK adalah pengaturan ambang batas pencalonan dengan menggunakan angka parliamentary threshold hasil pemilu 2014. Mengukur pembatasan pencalonan presiden dengan PT lama bukanlah cara yang logis. Argumen lain terkait perlunya membatalkan presidential threshold adalah potensi membuat pilpres 2019 memunculkan calon tunggal.

”Pilpres calon tunggal bertentangan dengan konstitusi, karena pilpres adalah pemilihan umum, selain langsung, umum bebas dan rahasia. Kalau ada pemilihan dan hanya ada satu calon, itu bukanlah pemilihan,” kata Hadar.

Hadar menambahkan, esesnsi dari pemilu adalah membuka ruang demi pemilihan, siapa sesungguhnya yang didukung untuk pergantian satu periode pemerintahan. Ruang itu menjadi dipersempit karena aturan ambang batas tersebut, karena hanya parpol tertentu saja yang berhak untuk mencalonkan. ”Jadi kalau ada potensi pergantian kekuatan baru, itu menjadi tidak mungkin,” lanjut Hadar.

Titi menambahkan, para pemohon menyadari jika masa waktu permohonan uji materi pasal 222 UU Pemilu, sudah mendekati masa pendaftaran capres dan cawapres. Sesuai tahapan KPU, pendaftaran capres dan cawapres dimulai pada 8-10 Agustus 2018.

Titi berharap dengan materi pasal 222 UU Pemilu yang sudah beberapa kali diuji, MK bisa mempercepat proses persidangan. ”MK memberi ruang untuk pengujian ulang, kami harap ini bisa diputus cepat, sebelum proses pendaftaran calon,” ujarnya.

Titi berharap MK bisa memproritaskan uji materi ini untuk segera masuk dalam jadwal persidangan. Perludem pada saat UU Pemilu diketok memang pernah mengajukan uji materi pasal yang sama, namun ditolak oleh MK.

”Waktu itu dalil permohonan kami tidak dipertimbangkan oleh MK, karena sudah ada (materi) gugatan Partai Idaman lebih dulu,” ujarnya. (bay)
Sembilan argumen baru uji materi Presidential Threshold.

 

1. Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan pasal 6A ayat 5 UUD 1945, karena hanya mendelegasikan pengaturan tata cara.

2. Pengaturan syarat ambang batas capres bertentangan dengan pasal 6 ayat 2 UUD 1945.

3. Pengusulan capres dilakukan oleh parpol pemilu legislatif sebelumnya, bukan parpol peserta pemilu, bertentangan dengan ayat 6B UUD 1945.

4. Syarat pengajuan capres harusnya close legal polecy, bukan opel legal polecy.

5. Penghitungan presidential threshold berdasar hasil pemilu sebelumnya adalah irasional.

6. Penghitungan presidential threshold berdasar hasil pemilu sebelumnya, telah menghilangkan esensi pemilu/

7. Penghitungan presidential threshold menghilangkan esensi pemilihan, karena muncul potensi capres tunggal, bertentangan dengan pasal 22E ayat 1 1945.

8. Jika presidential threshold dianggap tidak bertentangan konstitusi, potensi pelanggaran terkait pasal itu harus bisa diantisipasi MK..

9. Pasal 222 UU Pemilu bukanlah constitutional engineering, tapi constitutional breaching, karena banyak pasal dalam konstitusi yang dilanggar.

Sumber: paparan pemohon uji materi pasal 22 UU nomor 7 tahun 2017

BACA ARTIKEL LAINNYA... PKS: Peluang Jokowi Ditinggal Koalisi Terbuka Lebar


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler