Keahlian menjahit telah mengantar Andik Sutrisno berkelana hingga ke negeri seberang, Papua NuginiBahkan, jika perdana menteri dan para menteri di negara itu bikin jas, selalu memesan ke Andik.
---------------------------- ----------------
Naufal Widi A.R., Port Moresby
--------------------- -----------------------
Andi k Sutrisno benar-benar tak menyangka, berkat kemampuannya menjahit, dia bisa sampai ke Papua Nugini (PNG)
BACA JUGA: Ingin Karyanya Bisa Dipamerkan di Surabaya
Lebih tak menyangka lagi, karena dia akhirnya bisa bertemu langsung dan foto bareng dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)"Saya SD saja tidak tamat
BACA JUGA: Tony Rafty, Wartawan Australia yang Pernah Meliput Perang di Surabaya (1)
Kalau saya sarjana, tidak heran bisa foto jejer dengan presidenDi PNG, peran Andik tak bisa dianggap remeh
BACA JUGA: Datangi Ibunda, Ucapkan Selamat dengan Kue Berumur Mingguan
Dialah penjahit baju-baju yang dikenakan Perdana Menteri (PM) PNG Michael Somare"Saya yang membuat baju PM sampai menteri-menteri," kata pria asal Banyuwangi, Jawa Timur, itu.Khusus untuk Somare, lanjut Andik, pakaian yang dikenakan cukup khas"Dia lebih sering memakai lap-lap (sejenis rok) sebagai pasangan jasnyaItu untuk menunjukkan akar budaya melanesianya," cerita AndikLap-lap itu pula yang digunakan Somare saat mengadakan pertemuan bilateral dengan SBY di Hotel Crown, Port Moresby (12/3).
"Itu memang kesukaannya seperti ituSaya belum pernah membuatkan celana untuk PM," ungkap Andik"Kalau kancing lepas, saya juga yang betulin." Untuk keperluan itu, dia membelinya di sebuah toko yang terjamin kualitasnya di kawasan Gadjah Mada, Jakarta.
"Pekerjaan menjahit untuk pejabat di PNG itu dijalaninya sendiriMulai dari mengukur, membuat pola, hingga memasang kancing"Pekerjaan saya kelas internasional, cuma saya tidak sekolah khusus," katanya lantas tertawaTidak hanya menjahit, Andik juga menyiapkan sendiri bahan-bahannya.
Ayah empat anak itu tidak tiba-tiba bisa menjalani pekerjaannya sebagai penjahit "internasional" bagi pejabat di PNGBahkan awalnya, keputusannya untuk belajar menjahit dilatabelakangi kondisi ekonomi orang tuanya"Ekonomi (keluarga) kurang bagus, saya tidak bisa melanjutkan sekolah," ujar Andik yang hanya mengenyam sekolah hingga bangku kelas 5 SD iniMeski demikian, Andik sebenarnya cukup berprestasi"Ya di sekolah masih dapat ranking," katanya.
Pria asal daerah Balokan, Banyuwangi itu lantas melanjutkan hidupnya dengan bekerja sebagai kuli bangunanSebelumnya, dia juga sempat mencoba peruntungan dengan berjualan esSeiring berjalannya waktu, pikiran mendorongnya untuk menentukan usaha hidup yang lainAndik mulai melirik untuk menekuni pekerjaan sebagai penjahit
"Saya harus belajar menjahitBekerja tidak kepanasan dan tidak kehujanan," terang AndikItu pun tidak dijalani dengan mudah, karena tidak ada biaya dari orang tua untuk belajar menjahitDia harus menabung dari hasil bekerja sebagai kuli bangunan.
Baru pada 1985 Andik belajar menjahit di BalokanBerbekal keahlian menjahit itu, dia lantas memutuskan untuk pergi ke BaliKetika itu bulan November 1985Namun, karena tidak ada tujuan pasti, Andik sempat kebingungan menentukan langkah kakinyaSempat duduk-duduk di pinggir pantai Kuta, dia berpikir harus tidur di mana"Sampai jelang maghrib saya ke kantor polisi, numpang tidur," kenangnya.
Hari-hari berikutnya, Andik mulai berjalan kaki mencari pekerjaanHingga akhirnya dia diterima bekerja di PT Palm, SanurAndik benar-benar merangkak dari nolSaat di Sanur, itu dia mengalami masa-masa sulitSeperti saat menunggu gajian"Saya tidak bisa makan, kadang hanya sekali sehariGunting saya titipkan di warung (sebagai jaminan)," katanya mirisKetika itu tahun 1986, dia mendapat bayaran Rp 15 ribu " Rp 20 ribu per minggu untuk jahit borongan.
Andik tidak menyerahDia terus menekuni pekerjaannyaIlmu di bidang menjahitnya pun semakin bertambahHasil jahitannya juga diekspor ke luar negeriRelasinya juga semakin luasSalah satunya dengan seorang konsultan desainer dari Jepang"Saya dikasih bahan-bahan banyak untuk belajar," kata Andik
Dia sempat berpindah-pindah tempat bekerja, hingga akhirnya sampai ke KutaTerakhir dia bekerja di Merino, sebuah perusahaan baru di kawasan Legian"Tiga tahun saya di sana," katanyaTahun 1999, seseorang mengajaknya untuk mengadu peruntungan di Brunei DarussalamPekerjaannya masih sama, menjahitNamun yang dilayani adalah kalangan elit di sana"Bos saya punya salon dan merias keluarga kerajaanJadi saya ikut mendesain baju untuk orang-orang elit," urai Andik.
Tapi itu tak lamaMaret 2000, dia kembali ke Pulau Dewata dan bekerja di Martan Lansadi, salah satu tailor terbaik di BaliTugas Andik, di antaranya membuat baju pengantinNamun peristiwa bom Bali membuat pelanggannya surutNah, di situlah awal mula Andik ke PNGSeorang customer-nya, Kevin Yaxley yang merupakan bos tailor Artisan Airways Hotel di Port Moresby menawarinya untuk bergabungAwalnya Andik ragu karena lebih suka jika ke AustraliaTapi akhirnya dia berangkat pada 11 Mei 2006"Semua biaya ditanggung, tinggal berangkatSaya tinggal kirim aplikasi dan paspor," jelas Andik yang bisa berbahasa Inggris secara otodidak ini.
Saat berangkat, Andik berpikir semuanya sudah siapTapi dugaannya salahHanya ada toko yang masih kosongDia juga sempat bergumam, mana ada orang di PNG yang mau buat jas, beda dengan di Bali"Tapi, oke saya cobaToh saya tidak keluar biayaLalu saya disuruh bos untuk cari barang," katanyaSemua contoh bahan dibawanya.
Keadaan berubah saat pembukan tailorUndangan yang hadir adalah kalangan menengah ke atasAndik menjadi kenal dengan pejabat-pejabat di PNGBahkan hingga kini, relasinya kadang dibagikan ke KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) di Port Moresby"Kalau orang KBRI perlu nomor-nomor orang parlemen, minta ke sayaSaya orang kecil, tapi saya senang karena sangat dihargai," paparnya.
Selama empat tahun, sudah tak terhitung jas yang telah dibuat AndikSatu jas diselesaikannya dalam lima hariKadang dia harus lembur jika akan ada kunjungan pejabat ke AustraliaHarga satu stel jas yang dibuatnya dihargai dengan 4 ribu Kina (1 Kina = Rp 3 ribu)"Orang sini kalau sekali membuat jas bisa 3-4, jadi bisa sampai 16 ribu Kina," ungkapnya.
Dari perusahaan tempatnya bekerja, awalnya Andik menerima bayaran USD 600 per bulanTapi kini sudah meningkat hampir dua kali lipat"Lama-lama naik, ya USD 1.000 lebih sedikit," ungkapnya tanpa merinciAndik mengakui" mendapatkan tawaran bekerja dari salah satu menteri, namun dia belum bersedia"Bos saya terlalu baik, sering diajak makan malam dengan menteri-menteri," urai AndikSelama empat tahun ini pula, dia tinggal di Airways Hotel.
Namun untuk pejabat KBRI Port Moresby, Andik justru mengaku belum pernah membuatkan jas"Dubes saja belum pernah saya jahitinTapi beliau senang dengan saya," katanyaMeski menjadi kepercayaan pejabat di PNG, Andik masih menyimpan keinginan untuk bisa kembali ka tanah airSebab, jauh dari istri dan empat anaknya dirasakannya berat"Awalnya saya tidak mampu, tapi harus bertanggungjawab dengan istri dan anak-anakTapi saya tidak mungkin terus hidup di siniSeenak-enaknya hidup negeri orang, lebih enak di negeri sendiri," katanya.
Sampai kapan di PNG? Andik belum bisa memastikanDia menunggu anaknya bisa lulus dari bangku SMASaat ini, anak sulungnya sudah rampung studi dan tengah mengikuti training di JepangAnak kedua dan ketiganya masih SMA, sementara si bungsu masih duduk di bangku SD"Saya harus mikir supaya anak bisa sekolah, jangan sampai seperti saya," terang Andik.
Selama ini, Andik pulang sekali setahun tiap lebaranBiasanya dia di rumah selama 25 hari"Istri saya juga tidak mau ditinggal lama-lama," ujar Andik yang memiliki tanggal lahir tercatat di paspor 7 September 1965 ituSoal kelahirannya itu, dia mengaku tak tahu pasti"Ya maklum orang kampung dulu," katanya.(kum)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ada Tanda-Tanda Sembuh setelah Dua Jam
Redaktur : Soetomo Samsu