Senarai Hikayat Para Raja Bali

Kamis, 05 Januari 2017 – 09:25 WIB
Tentara Sekutu di Bali, 24 Oktober 1946. Foto: Arsip Nasional Belanda.

jpnn.com - PADA zaman perang kemerdekaan Indonesia (1945-1949), para raja di Pulau Bali laksana baling-baling di atas bukit. Berpaling ke mana angin bertiup.

Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network

BACA JUGA: Apa dan Siapa di Koin Rp1000?

Ada delapan kerajaan di Pulau Dewata; Buleleng, Jembrana, Tabanan, Badung, Bangli, Klungkung, Gianyar dan Karangasem. Masing-masing kerajaan punya gelar kebesaran sendiri-sendiri. 

"Anak Agung" di Buleleng, Jembrana, Gianyar dan Bangli. "Anak Agung Agung" di Karangasem. "I Dewa Agung" di Klungkung. "Cokorda" di Badung dan Tabanan.

BACA JUGA: Tintin, Hadiah Tahun Baru!

Merujuk dasar hukumnya, pemerintah kolonial Hindia Belanda benar-benar menguasai pulau ini secara "utuh", pada 1938. Ditandai dengan terbitnya Staatsblaad No.529, undang-undang yang mengatur tata hidup kerajaan-kerajan di Bali.

Badan gabungan para raja dinamai Paruman Agung. Dan Paruman Agung dikepalai oleh Residen Bali & Lombok--seorang Belanda. 

BACA JUGA: Julius Caesar, Reformasi Kalender & Sejarah Tahun Baru

Artinya, sejak itulah seluruh kerajaan-kerajaan di Bali langsung berada di bawah kuasa pemerintah Hindia Belanda. 

Sebelum itu, terjadi serangkaian perang antara rakyat Bali dan Belanda. Antara lain Puputan Jagaraga di Buleleng (1846-1849) dan Puputan Badung (1906).

Zaman Perang Kemerdekaan 

Ketika berita Proklamasi 17 Agustus 1945 sampai di Bali, para raja memperlihatkan simpatinya kepada Republik Indonesia. 

Sebagian bersimpati karena punya nilai historis pernah berperang melawan Belanda. 

Sebagian lagi karena salah seorang anggota keluarganya ikut aktif memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. 

Ada juga yang bersimpati karena pendekatan-pendekatan cukup baik pemuda pejuang pergerakan kemerdekaan.

"Situasi berubah ketika pemberontakan 13 Desember 1945 melawan Jepang yang dipimpin I Gusti Ngurah Rai gagal," tulis buku Jejak Intel Jepang

Sebagian besar raja-raja langsung balik arah menentang Republik Indonesia. 

"Hanya Raja Badung yang tetap konsisten berada di pihak Indonesia," tulis buku Pasukan M--Pertempuran Laut Pertama dalam Sejarah RI.

Di Bali ada ajaran Jiwa Catur Guru. Satu di antara beberapa prinsip ajaran itu rakyat harus patuh pada raja. 

Situasi ini dimanfaatkan dengan sangat baik oleh pasukan Gadjah Merah, tentara Belanda pimpinan Van Beuge, yang berlabuh atas nama Sekutu, di pantai Sanur, 2 Maret 1946. 

Van Beuge, mantan Residen Bali & Lombok di zaman kolonial mulai menyetel irama permainan.

Mulanya menyebar rumor; raja yang ikut Republik Indonesia berarti takluk pada Raja Badung dan kekuasaan raja-raja akan hilang. 

Seiring itu terjadi konflik pertikaian pendapat antara famili-famili raja yang berpengaruh. 

Selama perhatian orang-orang kerajaan fokus pada hal-hal tersebut, Belanda intensif “menggosok” dan di saat bersamaan terus memperkuat legitimasi mereka di hadapan penduduk.

Belanda memberikan pakaian kepada para pegawai yang setia kepadanya. Alat pertanian dibagikan kepada petani yang patuh. 

Kepada para raja, Belanda menjajikan akan mengembalikan kekuasaan raja seperti sebelum perang jika mereka menuruti mau Belanda.

Strategi yang dimainkan menuai hasil.   

Di Gianyar--karena Raja Gianyar ikut Belanda--Pemuda Pembela Negara (PPN) yang tadinya mendukung Republik Indonesia, melakukan tindakan kekerasan terhadap pemuda pejuang kemerdekaan.  

Di Jembrana, Belanda membentuk Badan Pemberantasan Pengacau (BPP) yang bertujuan menghancurkan kekuatan-kekuatan anti Belanda. 

Hal yang sama terjadi pula di Klungkung dengan dibentuknya Badan Keamanan Negara (BKN). 

Raja-raja yang lain akhirnya satu persatu ikut memihak Belanda. "Akan tetapi, Raja Badung Puri Satrya tetap berjuang membela Republik Indonesia," tulis buku Pasukan M.

Seiring kemajuan usaha-usaha Van Beuge itu, Belanda semakin memperkokoh kedudukannya. Ia memang betul-betul memahami Bali. 

Alhasil, digelarlah Konferensi Denpasar, 7-24 Desember 1946 yang melahirkan Negara Timur Raya, kemudian berganti nama jadi Negara Indonesia Timur (NIT).

Pejuang kemerdekaan Indonesia yang dipimpin I Gusti Ngurah Rai sempat merencanakan sabatose, menggagalkan konferensi tersebut. 

Namun, gagal. Dan berujung pada terjadinya Puputan Margarana. Ngurah Rai bersama pasukannya bertarung hingga titik darah penghabisan. 

Dalam percaturan politik, pihak republiken menuding NIT sebagai negara boneka Belanda yang diarsiteki Van Mook (secara de facto) Gubernur Jenderal Hindia Belanda semasa perang berkecamuk.

Barulah setelah Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia menyusul persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB), 27 Desember 1949, perlahan-lahan Bali masuk ke pangkuan Indonesia. 

Tjokorda Gde Raka Soekawati, yang diangkat menjadi Presiden NIT sejak 24 Desember 1946 pun menanggalkan jabatannya pada 17 Agustus 1950. 

Sejak itulah Pulau Bali utuh berada dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

BACA ARTIKEL LAINNYA... Apa dan Siapa di Koin Rp 500?


Redaktur & Reporter : Wenri

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
Sejarah  

Terpopuler