Sengketa Internal Parpol Bikin Persiapan Pilkada Terancam

Kamis, 22 September 2016 – 00:45 WIB
PPP. Foto: dok.JPNN

jpnn.com - JAKARTA - Guru besar hukum tata negara Universitas Parahyangan, Bandung, Asep Warlan Yusuf mengatakan, demokrasi dalam pelaksanaan pilkada bisa terancam mengingat masih adanya partai yang bersengketa.

Ia menjelaskan, salah satunya ialah perpecahan di tubuh Partai Persatuan Pembangunan yang berimbas pada kubu Djan Faridz atau Romahurmuziy yang berhak memberikan tiket bakal calon kepala daerah.

BACA JUGA: Jokowi Minta Aturan Hutan Adat Disederhanakan

Asep menambahkan, masalah di PPP ini berimbas  terhadap banyaknya kader partai berlambang Kabah itu maju perseorangan.

Asep mengatakan, berlarutnya masalah ini bermuara pada Kementerian Hukum dan HAM yang tidak mengindahkan putusan Mahkamah Agung yang memenangkan kubu Djan Faridz. 

BACA JUGA: Organisasi Advokat Laporkan KPK ke Mabes Polri dan Komnas HAM

"Bagaimanapun dia tidak menghormati putusan MA yang dimenangkan kubu Djan. Itu awalnya," kata Asep, Rabu (21/9).

Lalu, kata dia, PPP kubu Rommy diacak-acak. "Ia (Rommy) pro pemerintah, makanya pengurusnya dari pemerintah," ujarnya.

BACA JUGA: AAI Tak Mau Ada Advokat Instan

Menurutnya, fenomena yang terjadi jelang Pilkada ini adalah kolaborasi antara ketidakberesan demokrasi, diperparah oleh sikap Menkumham.

"Ini seperti menginjak-injak demokrasi, karena bermula Kemenkumham. Istilah Itu lebih lugas. Program yang tidak detil berimbas ini pada kekacauan, dan ini buahnya," seru dia.

Ia mengatakan, untuk mencegah hal tersebut harus diambil keputusan berdasarkan yuridis formal yakni putusan pengadilan yang benar. Mahkamah Konstitusi harus segera mengambil putusan terkait dualisme ini. Namun sayang, MK masih menggantungkan kasus ini.

"Yang juga patut dicatat, realitas politik tidak bisa dinafikan. Ini cerminan dari sisi parpol hukum dan politik diakomodir," kata dia.

Asep mengkhawatirkan ada ambisi kekuasaan yang besar. Kalau ini terjadi,  lanjutnya, tidak akan ada saling legowo. "Ini kembali ke aktor politik, agar mau untuk membangun demokrasi yang beradab," tegas dia lagi.

Sebelumnya, kepengurusan PPP mengultimatum setiap bakal calon kepala daerah yang akan bertarung ‎di pilkada serentak 2017 jika meminta restu kepada kepengurusan PPP lainnya. Ultimatum ini disampaikan ‎PPP kubu Djan Faridz, di Jakarta, Rabu (21/9).‎‎

Kepengurusan PPP hasil Muktamar VIII pada 30 Oktober 2014 sampai 2 November 2014 di Jakarta di bawah kepengurusan Djan adalah yang sah.

Hal ini sesuai dengan Putusan MA no 601 K/Pdt.sus.parpol/2015 tanggal 2 November 2015. Keputusan ini sudah berkekuatan hukum tetap (Putusan MA 601).

Dalam amar putusan MA 601 itu dijelaskan bahwa MA m‎engabulkan gugatan penggugat (kubu Djan Faridz) untuk menyatakan susunan kepengurusan PPP hasil Muktamar VIII pada tanggal 30 Oktober-2 November 2014 di Jakarta sebagaimana yang disahkan dalam Akta Pernyataan Ketetapan Muktamar VIII PPP.

Mengenai susunan personalia pengurusan dewan pimpinan PPP masa bakti 2014-2019 no 17 tanggal 7 November 2014, yang diakui MA adalah yang disahkan di hadapan H. Tedy Anwar SH. Spn. Notaris di Jakarta.

Kemudian menyatakan susunan pengurusan Muktamar VIII PPP di Surabaya pada tanggal 15-18 Oktober 2014 tidak sah dan batal demi hukum dengan segala akibat hukumnya.

Bahwa surat keputusan MenkumHAM no N-HH-07. Ah.11.O1/2014 tanggal 28 Oktober 2014 yang mengesahkan susunan kepengurusan hasil muktamar Surabaya di bawah Ketum H. Romahumurziy M.T (SK Menkumham 2014) sudah dibatalkan.

Hal ini dilakukan oleh MA melalui putusan no 504 K/TUN/2015 tanggal 20 Oktober 2015 yang sudah berkekuatan hukum tetap (Inkrah) Putusan MA 504 jo Putusan PTUN Jakarta nomor 2017/Jo/2014/ PTUN/Jakarta tanggal 27 Februari 2015.

Berdasarkan penjelasan di atas, sehubungan dengan diadakannya Pilkada Serentak 2017 kepengurusan PPP yang sah di bawah  Djan Faridz menyatakan akan mengajukan tuntutan hukum. Baik secara hukum perdata maupun pidana kepada pihak yang meminta dan menggunakan rekomendasi PPP dari kepengurusan lain untuk mendaftarkan diri sebagai bakal calon kepala daerah.

Hal ini dilakukan karena tindakan tersebut sudah tidak menghormati supremasi hukum yang terkandung di Putusan MA 601. (boy/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pak Jokowi...Sudah 40 Tahun Tak Ada RI 1 ke Sini


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler