jpnn.com, JAKARTA - Analis komunikasi politik Hendri Satrio mencurigai pasal anti-penghinaan parlemen dalam Undang-undang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) merupakan hasil barter dengan pasanl larangan menghina kepala negara dalam revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Alasannya, pemerintah menginginkan revisi KUHP juga memuat pasal anti-penghinaan terhadap kepala negara.
"Pertanyaan selanjutnya tentang RKUHP, jangan-jangan ada bargaining (dari pemerintah), tolong ya pasal penghinaan presiden juga disetujui," ucap Hendri dalam diskusi bertajuk Benarkan DPR, Gak Mau Dikritik? di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (17/2).
BACA JUGA: DPR Bisa Panggil Paksa Setiap Orang Usul Pemerintah
Moderator diskusi sempat meminta Hendri memperdalam soal tawar-menawar menawar antara pemerintah dan DPR. Sebab, RUU MD3 saat ini telah lolos dan disetujui bersama oleh DPR dan pemerintah, sedangkan revisi KUHP masih dalam pembahasan.
Hendri menjelaskan, indikasi adanya barter itu terlihat dari sikap pemerintah yang tidak menggubris kritik publik terhadap pasal-pasal krusial di revisi MD3. Bahkan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly menyarankan publik yang merasa dirugikan oleh UUMD3 baru untuk menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
BACA JUGA: Soal UU MD3, DPR Sekarang Cerdas Atau Licik ya?
"Kenapa pada saat itu, pemerintah kelihatan hanya adem ayem saja? Pak Yasonna juga bilang kalau rakyat tidak setuju ya ke MK saja," pungkasnya dosen di Universitas Paramadina itu.(fat/jpnn)
BACA JUGA: UU MD3 Baru Terus Dipersoalkan, Bamsoet Pasang Badan
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bamsoet Siap Lengser Jika Ada Rakyat Dibui karena Kritik DPR
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam