Serap Banyak Tenaga Kerja, Industri Sigaret Keretek Tangan Butuh Insentif

Kamis, 01 Agustus 2019 – 22:57 WIB
Diskusi yang diselengarakan Forum Diskusi Ekonomi Politik (FDEP) di Menteng, Jakarta, Kamis (1/8). Foto: FDEP

jpnn.com, JAKARTA - Pengembangan industri sigaret keretek tangan (SKT) dan sektor pada karya lain merupakan kunci mengatasi pengangguran di Indonesia.

Direktur Persyaratan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan Siti Jubaedah mengatakan, angkatan kerja di Indonesia sebanyak 136,18 juta jiwa.

BACA JUGA: Penyederhanaan Cukai Tembakau Bisa Bikin Pendapatan Negara Turun

“Angkatan kerja tersebut di dominasi oleh pendidikan SMP,” ucapnya dalam diskusi yang diselengarakan Forum Diskusi Ekonomi Politik (FDEP) di Menteng, Jakarta, Kamis (1/8).

BACA JUGA: Industri Logistik Terhambat Regulasi

BACA JUGA: Penyederhanaan Cukai dalam PMK Ancam Pabrik Rokok Kecil

Karena itu, menjaga iklim usaha di sektor industri padat karya agar tetap sehat dan bertumbuh merupakan hal yang sangat penting.

“Jika iklim investasi ditingkatkan, akan meningkatkan hubungan negara dan industri semakin baik sehingga pada akhirnya membuka lapangan pekerjaan. Jangan sampai terdapat pengangguran yang bisa mengoyang (kestabilan) masyarakat,” ucap Siti.

BACA JUGA: Hanya 10 Persen Pabrik Rokok Mampu Bertahan

Anggota DPR RI Fraksi PKB Faisol Reza menekankan perlunya insentif untuk industri padat karya agar dapat berkembang.

Menurut dia, insentif diperlukan padat karya untuk melindungi ketenagakerjaan. ”Padat karya secara filosofis merupakan jaminan sosial di masyarakat,” ucap Faisol.

Kepala Subdirektorat Program Pengembangan Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian Mogadishu Djati Ertanto mengatakan, industri SKT merupakan industri pengolahan hasil tembakau yang menyerap tenaga kerja yang besar.

Kondisi SKT saat ini mengalami tren penurunan produksi. Pada 2011 produksi SKT mencapai 96,53 miliar batang, sedangkan pada 2018 mencapai 65,81 miliar batang.

Sepanjang periode 2013 hingga 2018, sebanyak 32 ribu orang pekerja di sektor itu terpaksa kehilangan pekerjaan. Sebab, pabrik-pabrik tempat mereka bekerja tutup. 

“Tren penurunan ini berimbas bukan hanya tenaga kerja di industri, melainkan juga pada petani cengkeh,” ucapnya di Menteng Jakarta.

Menurut data Kementerian Perindustrian, total tenaga kerja yang diserap oleh sektor industri rokok sebanyak 5,9 juta orang.

Angka itu terdiri dari 4,28 juta pekerja di sektor manufaktur dan distribusi. Sementara itu, 1,7 juta pekerja berada di sektor perkebunan.

Selain dari aspek tenaga kerja, industri rokok telah meningkatkan nilai tambah bahan baku lokal dari hasil perkebunan seperti tembakau dan cengkih.

Pada 2011, Kementerian Perindustrian juga mencatat ada 2.540 pelaku industri yang memesan cukai produk tembakau.

Pada 2017, pemesannya tersisa 487 saja alias berkurang lebih dari 2.000 pelaku industri.

Hal tersebut berimbas luas bagi para pekerja sektor IHT yang lantas kehilangan pekerjaan.

Penulis buku Gadis Kretek Ratih Kumala mengatakan, pekerja SKT pada umumnya adalah perempuan.

Pekerja perempuan di SKT bekerja sebagai pelinting dan tukang batil. Para pelinting membawa keponakannya untuk bekerja sebagai tukang batil yang merapikan lintingan SKT setelah dilinting oleh pelinting. 

“Para pelinting dalam satu tim dapat menghasilkan 1000 batang SKT dalam 1 jam,” ucapnya.

Dia menjelaskan, pendapatan para pelinting dari tahun ke tahun mengalami penurunan karena jumlah produksi SKT terus menurun.

“Pendapatan mereka pun menurun 1,2 persen dari tahun ke tahun,” terang Ratih. (jos/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Perusahaan Rokok Besar Oligopolisasi, UMKM Kehilangan Pasar


Redaktur & Reporter : Ragil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler