Sistem Pemilu Masih Diperdebatkan

Selasa, 20 Desember 2016 – 07:11 WIB

jpnn.com - JAKARTA- Sistem Pemilu masih menjadi perdebatan selama satu tahun Badan Kajian MPR RI bekerja. Pasalnya, terjadi tarik-menarik apakah menggunakan proporsional terbuka atau tertutup. Terlebih, Pemilu langsung tidak sesuai dengan sila ke empat dalam Pancasila.

”Menyangkut soal Pemilu, terjadi tarik-menarik antara pemilu sistem terbuka dan tertutup juga masih menjadi perbincangan yang sangat panas,” ungkap Wakil Kepala Badan Pengkajian MPR RI Rambe Kamarulzaman dalam acara diskusi "Refleksi Akhir Tahun 2016" di Komplek Parlemen, Senayan, Senin (19/12).

BACA JUGA: FPI, Baca Nih Pernyataan dari Pak Wiranto!

Anggota Komisi II itu mengatakan, DPR percaya sistem tertutup bisa memberi peluang kepada partai untuk melakukan seleksi terhadap para caleg.

Namun, untuk melaksanakan itu tidaklah gampang, karena bisa dianggap membatasi kesempatan caleg yang lain.

BACA JUGA: Mensos Bahagia Melihat Kesetiakawanan Masih Terjaga

”Saat ini kita menghadapi pilihan politik yang tidak sama dibanding saat reformasi. Tetapi untuk mengubah pilihan politik, itu tidak gampang. Perlu persyaratan dan langkah-langkah yang konstitusional,” tutur Rambe.

Dia juga mengutarakan, pilihan politik era reformasi menghendaki adanya pemilihan umum secara langsung, mulai dari presiden, anggota DPR hingga kepala daerah. Padahal Pemilu langsung tidak sesuai dengan sila ke empat Pancasila.

BACA JUGA: Soal Pemberhentian Sementara, Ahok: Tunggu Saja

Bahkan, Pemilu langsung terhadap kepala daerah tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Akan tetapi, lanjutnya, arus keinginan masyarakat terhadap pemilu langsung bagi kepala daerah begitu kuat. Hal ini mempengaruhi keputusan di DPR.

Bahkan DPR menyerah, mereka tidak berani memaksakan pemilu tidak langsung bagi pemilihan kepala daerah, sekalipun hal itu bertentangan dengan UUD NRI tahun 1945.

”Apalagi setelah presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang. Dengan dasar itu,  maka pemilihan kepada daerah dilaksanakan secara langsung oleh masyarakat,” ujarnya.

Rambe mengaku, itulah sebagian persoalan sistem ketatanegaraan yang dikaji oleh Badan Pengkajian MPR.

Selain itu, masih banyak persoalan lain yang juga sudah dikaji Badan Pengkajian selama satu tahun terakhir.

Persoalan tersebut antara lain penguatan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan MPR serta reformulasi sistem perencanaan pembangunan model GBHN.

Diamini Kepala Badan Kajian MPR RI, Bambang Sadono. Dia menyatakan, Badan Pengkajian MPR siap memberi pilihan-pilihan solusi jika ada kesepakatan untuk melakukan amendemen atau kembali ke UUD 1945 yang asli.

Dikatakannya, amendemen itu diperlukan guna memperbaiki sistem ketatanegaraan mengingat berbagai dinamika yang terus berkembang.

Bambang juga mengakui suara-suara yang menginginkan untuk kembali ke UUD1945 yang asli juga ada.

”Kalau tahun 2017 akan ada amendemen Badan Kajian MPR siap,” tukasnya.

Hanya saja, Bambang mengatakan, salah satu prasyarat bagi amendemen itu adalah komunikasi antara pimpinan MPR dengan presiden dan pimpinan partai politik harus lebih intensif.

Akan tetapi dia mangaku, sejauh ini respons dari para ketua umum partai politik untuk mengembalikan UUD1945 tidak terlihat.

”Jadi pimpinan MPR harus berkomunikasi dengan presiden dan pimpinan parpol agar gagasan amendemen jalan,” ujarnya.

Menurutnya, secara konstitusional pengembalian UUD 1945 harus melalui MPR. Sedangkan secara inkonstitusional bisa melalui dekrit presiden. (aen/dil/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... TNI Musnahkan Ribuan Narkoba Senilai Rp 9,4 Miliar


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler