Sistem Proporsional Terbuka Dianggap Hanya Untungkan Oligarki

Kamis, 05 Januari 2023 – 14:01 WIB
Dekan Fakultas Hukum Universitas Riau (UNRI) Dr. Mexasai Indra menilai sistem proporsional terbuka sebenarnya tak sejalan dengan semangat demokrasi yang dianut dalam UUD 1945. Foto ilustrasi: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Dekan Fakultas Hukum Universitas Riau (UNRI) Dr. Mexasai Indra menilai sistem proporsional terbuka sebenarnya tak sejalan dengan semangat demokrasi yang dianut dalam UUD 1945.

Menurut dia, sistem tersebut cenderung menyuburkan demokrasi liberal yang sangat disenangi oligarki yang suka membeli politik untuk keuntungan kelompoknya sendiri.

BACA JUGA: Sistem Proporsional Terbuka Menciptakan Ruang Perselisihan Antarkader Partai Makin Besar

Doktor Mexasai menegaskan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 menyebutkan partai politik adalah peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD.

Ketentuan Pasal 22E ayat (3) Konstitusi tersebut mengandung makna esensi pengaturan partai politik yang merupakan praktik lazim dalam negara demokrasi. Kedudukan partai politik juga sebagai tiang demokrasi.

BACA JUGA: Pakar Ungkap 2 Kelemahan Pemilu Proporsional Terbuka

"Praktik Pemilu selama ini dengan sistem proporsional terbuka telah menggeser peserta Pemilu menjadi perseorangan atau berbasis individu caleg. Sistem proporsional terbuka dengan mencoblos caleg telah menempatkan individu sebagai peserta pemilu sebenarnya,” ujar Mexasai saat dihubungi, Kamis (5/1).

Dia menegaskan kondisi itu membuat sistem politik Indonesia semakin mengarah ke politik liberal pasar bebas yang menjunjung tinggi popularitas perseorangan semata daripada sistem kepartaian. Hal ini yang menyebabkan prinsip konstitusional pemilu telah bergeser.

BACA JUGA: Pakar Hukum Sebut Sistem Proporsional Terbuka Membuat Masyarakat Antipartai

"Hanya akan menempatkan partai politik sebagai kendaraan atau perahu semata, yang bisa ditunggangi oleh pemodal-pemodal besar. Pada titik inilah sistem proporsional terbuka disenangi para oligarki karena bisa membeli partai dan membajak partai untuk kepentingan oligarki,” tegas dia.

Pakar Hukum Tata Negara itu menyadari meskipun konstitusi tidak menyebut secara harfiah sistem pemilu apa yang harus diterapkan, tetapi seharusnya menggambarkan kehendak Pasal 22E ayat (3) UUD 1945.

Menurut Mexasai, sistem proporsional tertutup juga memiliki tantangan. Meskipun pelaksanaan pemilu akan lebih sederhana dan murah, tantangannya adalah bagaimana partai-partai dapat melakukan pengkaderan politik secara baik.

“Jadi, fungsi pendidikan politik harus dijalankan secara maksimal, sehingga partai-partai dapat menawarkan caleg yang terbaik bagi kepentingan rakyat. Dalam sistem mencoblos partai ini, partai politik dituntut untuk berbenah, karena jika tidak, maka partai tersebut tidak akan dipilih rakyat,” urainya.

Untuk diketahui, saat ini Mahkamah Konstitusi (MK) sedang menguji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait sistem proporsional terbuka. Apabila uji materi itu dikabulkan oleh MK, maka sistem pemilu pada 2024 mendatang akan berubah menjadi sistem proporsional tertutup.

Sistem proporsional tertutup memungkinkan para pemilih hanya disajikan logo partai politik (parpol) pada surat suara, bukan nama kader partai yang mengikuti pileg.

Uji materi ini diajukan oleh enam orang, yakni Demas Brian Wicaksono (pemohon I), Yuwono Pintadi (pemohon II), Fahrurrozi (pemohon III), Ibnu Rachman Jaya (pemohon IV), Riyanto (pemohon V), dan Nono Marijono (pemohon VI).

Di sisi lain, mayoritas fraksi di DPR justru menyatakan keberatan bila sistem proporsional tertutup diberlakukan. Mereka menginginkan sistem proporsional terbuka yang digugat itu untuk terus dipertahankan. (tan/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ahli Hukum Tata Negara Nilai Sistem Proporsional Terbuka Berbiaya Mahal


Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler