Skema KPBU Pembangunan Bandara & Urgensi RUU Manajemen Wilayah Udara

Oleh Yaries Mahardika Putro*

Sabtu, 24 Juni 2023 – 17:01 WIB
Dosen Fakultas Hukum Universitas Surabaya Yaries Mahardika Putro. Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com - Pesawat terbang memiliki peran yang sangat penting dalam transportasi di negara kepulauan seperti Indonesia.

Mengatasi jarak yang jauh, menghubungkan daerah terpencil, mendukung industri pariwisata, dan mempercepat pertumbuhan ekonomi, merupakan beberapa alasan mengapa pesawat terbang merupakan transportasi yang penting di Indonesia.

BACA JUGA: Tantangan Anies soal Adu Gagasan dan Penantian akan Pikiran Bakal Capres Lain

Keberadaan pesawat terbang sebagai moda transportasi yang cepat, efisien, dan andal sangat penting dalam mengatasi tantangan geografis yang dihadapi Indonesia sebagai negara kepulauan.

Indonesia terdiri dari ribuan pulau yang tersebar luas. Pesawat terbang memungkinkan perjalanan cepat dan efisien di antara pulau-pulau yang terpisah oleh laut yang dalam.

BACA JUGA: Andai Aturan Main Berubah di Tengah Pertandingan

Dibandingkan dengan moda transportasi darat atau laut, pesawat terbang bisa mengatasi jarak yang jauh dalam waktu yang lebih singkat. Dalam kondisi tertentu, pesawat terbang menjadi satu-satunya pilihan transportasi yang efektif untuk mencapai daerah-daerah terpencil yang sulit dijangkau.

Dengan adanya pesawat terbang, penduduk di daerah terpencil terhubung dengan kota-kota besar, fasilitas kesehatan, pendidikan, dan peluang ekonomi.

BACA JUGA: Ada Apa dengan Polisi Kita?

Keberadaan transportasi udara juga menjadi tulang punggung industri pariwisata di negara kepulauan. Dengan tersedianya penerbangan langsung dan aksesibilitas yang baik, wisatawan dapat dengan mudah mengunjungi tujuan wisata yang beragam, seperti Bali, Lombok, Raja Ampat, Malang, Banyuwangi, dan banyak lagi.

Di sisi pertumbuhan ekonomi, perjalanan udara memfasilitasi perdagangan antar-pulau dan memungkinkan perusahaan mengirimkan barang dengan cepat dan efisien. Selain itu, pesawat terbang memungkinkan pergerakan tenaga kerja antarwilayah sehingga membuka peluang kerja dan meningkatkan mobilitas sosial ekonomi.

Dalam konteks negara kepulauan seperti Indonesia, pesawat terbang memiliki peran yang krusial dalam menghubungkan pulau-pulau, memajukan ekonomi, dan mendukung pariwisata.

Data yang dilansir dari situs Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub RI menunjukkan Indonesia memiliki 340 bandara dan lapangan terbang. Dari jumlah itu, 32 di antaranya adalah bandara internasional.

Mayoritas bandara tersebut didanai sepenuhnya oleh pemerintah. Namun, tidak semua bandara yang didanai oleh pemerintah beroperasi dengan efektif dan berhasil dalam menarik minat penumpang.

Contohnya ialah Bandara J.B. Soedirman di Purbalingga, Bandara Ngloram di Blora, dan Bandara Kertajati di Majalengka. Ketiga bandara itu belum mampu menarik minat penumpang.

Bandara J.B. Soedirman dan Bandara Ngloram mengalami penurunan drastis dalam jumlah penerbangan. Bahkan Bandara Ngloram di Blora tidak melayani penerbangan sejak Maret 2023.

Lain halnya dengan Bandara Internasional Banyuwangi di Jawa Timur. Bandara ini dibangun dengan mengusung arsitektur hijau.

Oleh karena itu, Bandara Banyuwangi diakui secara internasional dan masuk jajaran 20 besar bangunan dengan arsitektur terbaik pada ajang Aga Khan Award for Architecture (AKAA) 2022.

Di samping itu, Banyuwangi yang dikenal sebagai The Sunrise of Java juga memiliki banyak destinasi pariwisata, seperti Taman Nasional Baluran, Taman Nasional Alas Purwo, Kawah Ijen, dan Pantai Plengkung yang ombaknya mampu memikat hati peselancar dunia sehingga ajang World Surfing League.

Namun, penghargaan yang diterima oleh Bandara Banyuwangi dan banyaknya destinasi wisata di daerah tersebut belum mampu meningkatkan jumlah lalu lintas transportasi udara di bandara paling timur Pulau Jawa itu.

Hingga hari ini hanya dua maskapai saja yang membuka rute ke Bandara Banyuwangi. Rata-rata tiap harinya hanya melayani satu penerbangan saja.

Guna mengantisipasi banyaknya kerugian yang ditanggung oleh negara dalam membangun dan mengembangkan bandara di Indonesia, maka skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU) bisa menjadi solusi. Skema itu bisa mengurangi beban pendanaan dan pembiayaan yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Aturan untuk itu pun sudah ada, yakni Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang KPBU. Perpres itu memungkinkan kerja sama antara pemerintah dan sektor swasta dalam sektor infrastruktur, termasuk konstruksi dan operasional bandara.

Sektor swasta diperbolehkan untuk menghasilkan pendapatan, baik yang bersifat non-aeronautika seperti restoran dan toko-toko, maupun yang bersifat aeronautika.

Terdapat tiga contoh pembangunan bandara melalui skema KPBU di Indonesia, yakni Bandara Komodo di Labuan Bajo, Bandara Singkawang di Kalimantan Barat, dan Bandara Dhoho di Kediri.

Bandara Komodo merupakan bandara pertama yang dibangun melalui KPBU joint venture antara Cardig Aero Services dan Changi Airports International . Nilai investasinya mencapai Rp 1,2 triliun.

Operator Bandara Komodo diberi konsesi selama 25 tahun untuk menetapkan biaya layanan aeronautika dan non-aeronautika.

Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM) menawarkan peluang investasi Rp 4,3 triliun untuk Bandara Singkawang. Namun, saat ini rencana pembangunan Bandara Singkawan masih dalam tahap pra-kualifikasi dengan jadwal lelang dari Desember 2023 hingga April 2024.

Meski sedikit terlambat dari rencana, dalam konsesi selama 32 tahun, pihak swasta diharapkan mendapatkan pendapatan sebesar Rp 15,9 triliun dari sektor aeronautika dan Rp 2,1 triliun dari non-aeronautika. Pemerintah juga memberikan jaminan bantuan pengadaan lahan.

Pembiayaan untuk Bandara Dhoho di Kediri mendapatkan perhatian publik. Ditargetkan beroperasi mulai Oktober 2023, Dhoho akan menjadi bandara pertama di Indonesia yang dibangun oleh pihak swasta, yakni Surya Dhoho Investama selaku anak perusahaan Gudang Garam Tbk.

Kerja sama Surya Dhoho Investama dengan Angkasa Pura I direncanakan berlangsung selama 50 tahun. Total investasinya sebesar Rp 10,8 triliun.

Bandara Dhoho akan mampu melayani pesawat wide-body dan melayani 1,5 juta penumpang per tahun pada fase awal, kemudian meningkat menjadi 4,5 juta penumpang (fase II) dan 10 juta penumpang (fase III).

Saat ini, konstruksi Bandara Dhoho telah mencapai 72 persen. Pemda setempat membantu dalam proses pengadaan lahannya.

Tujuan utama pembangunan Bandara Dhoho ialah untuk dijadikan titik embarkasi haji dan pusat logistik. Selain itu, Bandara Dhoho akan mempermudah dan mempercepat akses maupun mobilitas orang dan barang di wilayah aglomerasi Kediri, seperti Kota Blitar, Kabupaten Blitar, Kabupaten Tulungagung, dan Kabupaten Trenggalek.

Tentunya, pembangunan ini akan meningkatkan jumlah bandara internasional di Jawa Timur. Dua bandara internasional yang beroperasi saat ini adalah Bandara Juanda (Surabaya) dan Bandara Banyuwangi. Pembangunan Bandara Internasional Dhoho juga akan menjadikan Jawa timur sebagai provinsi yang memiliki bandara internasional terbanyak di Indonesia.

Namun, pertimbangan pertahanan dan keamanan nasional juga harus diperhatikan. Pangkalan udara TNI Angkatan Udara Iswahjudi yang berada di Madiun memiliki skuadron tempur yang berdekatan dengan Bandara Dhoho.

Masalah operasional dari perspektif sipil-militer harus dipertimbangkan, termasuk kepastian hukum dalam publikasi informasi aeronautika mengenai daerah terlarang. Keamanan penerbangan sipil tidak boleh dikompromikan.

Harus ada solusi untuk itu. Oleh karena itu, sudah saatnya ada Rancangan Undang-Undang Manajemen Wilayah Udara Nasional.(***)

*Penulis adalah Dosen Hukum Udara & Ruang Angkasa Fakultas Hukum Universitas Surabaya

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dampak UU P2SK Terhadap Praktik Kepailitan & PKPU


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler