jpnn.com - BATAM - Richard Alfred memprotes proses penerimaan peserta didik baru (PPDB) di SMPN 26 Batuaji. Pria yang menjadi Koordinator Wilayah Sumatera Forum Komunikasi Keluarga Anak dengan Kecacatan ini mengaku mendapat perlakuan berbeda saat hendak mendaftarkan seorang anak didiknya.
”Belum juga ditanya nilai, sudah langsung bilang tidak bisa menerima. Hanya karena kami bilang anak kami itu berkebutuhan khusus,” kata Ricard, seperti dilansir Batam Pos (JPNN Grup) Sabtu (12/7).
BACA JUGA: Kemendikbud Belum Tahu Kasus Korupsi di USU
Richard yang juga menjadi pemilik Yayasan Permata Hati Bunda itu sengaja mendaftar ke SMPN 26 Batuaji. Sebab sekolah itu satu-satunya sekolah inklusi di wilayah Batuaji. Ia yakin, anak didiknya dapat diterima di sekolah tersebut.
Kebutuhan khusus anak didik Richard ada pada kesulitan konsentrasi. Ketika kecil ia terjatuh dan menyebabkan kerusakan pada batang otaknya. Dokter telah mengoperasinya. Efek sampingnya, si anak mengalami kesulitan konsentrasi.
BACA JUGA: Haryono Umar Usul Kemendikbud Dipecah jadi Dua
Meski demikian, Richard yakin anak tersebut dapat bersaing bila bersekolah di sekolah normal. Ketika SD, ia bersekolah di sekolah normal. Mengetahui, Batam memiliki fasilitas sekolah inklusi, Richard pun mencoba memasukkan anak tersebut ke SMPN 26 Batuaji.
Sampai di sana, Richard mendapatkan penolakan. Pihak sekolah mengaku tak lagi menerima siswa berkebutuhan khusus. Richard adalah satu-satunya wali murid yang mendaftarkan anak berkebutuhan khusus.
BACA JUGA: Abaikan Pakta Integritas, Sekolah Tetap Lakukan Pungutan
Alasan penolakan ada pada tidak tersedianya fasilitas sekolah inklusi di SMPN 26. Guru-guru tidak memiliki pengetahuan khusus dalam mendidik siswa tersebut.
Padahal, sekolah tersebut telah terdaftar sebagai sekolah inklusi sejak lama. Ia pun telah mendapatkan bantuan dana inklusi dari Kementerian Pendidikan.
”Ketika saya tanyakan dananya kemana, kepala sekolah bilang dana itu sudah dikembalikan ke pusat. Katanya, aturan sekolah inklusi itu tidak jelas,” ujarnya.
Sekolah pun, menurut Richard, lebih mengutamakan kuota bina lingkungan. Yakni kuota penerimaan siswa dari lingkungan di sekitar sekolah. Jumlahnya, 75 siswa.
”Kok mereka justru mementingkan kuota bina lingkungan itu terpenuhi. Sementara ini ada siswa berkebutuhan khusus ingin mendaftar. Mereka itu kan sekolah inklusi,” tambahnya lagi.
Sekolah inklusi adalah sekolah yang menggabungkan layanan pendidikan khusus dan regular dalam satu sistem persekolahan.
Siswa berkebutuhan khusus akan mendapatkan pendidikan khusus sesuai potensinya masing-masing. Sementara siswa reguler juga akan mendapatkan pendidikan sebagaimana layaknya pendidikan reguler.
Siswa berkebutuhan khusus dan siswa reguler bersama-sama mengembangkan potensi masing-masing. Sehingga dapat hidup eksis dan harmonis di tengah masyarakat.
Sekolah inklusi berbeda dengan sekolah luar biasa (SLB). SLB adalah sekolah tempat siswa yang berkebutuhan khusus sama dikelompokkan dalam satu tempat. Di SLB, tidak akan ada pertemuan antara anak-anak normal dan anak berkebutuhan khusus.
”Saya rasa, sekolah itu tidak mengerti perbedaan antara sekolah inklusi dan SLB. Makanya mereka tak mau menerima,” katanya.
Richard menyayangkan sikap sekolah inklusi yang menolak peserta didik dari kelompok berkebutuhan khusus. Padahal, melalui sekolah tersebut, pemerintah telah berusaha menyamakan anak berkebutuhan khusus dengan peserta didik lainnya.
”Saya pikir juga, alasan mereka tak mau menerima itu karena tak mau repot dan tak ingin mengurangi tingkat kelulusan sekolah. Padahal, kalau mereka mengalami kesulitan, saya siap membantu. Karena saya adalah terapis anak itu,” ujarnya.
Batam Pos mencoba menghubungi Kepala Sekolah SMPN 26 Batuaji. Namun, hingga berita ini ditulis, telepon selulernya tidak aktif. (ceu)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mahasiswa Asing Makin Minati Bahasa Indonesia
Redaktur : Tim Redaksi