Soft Landing

Oleh Dhimam Abror Djuraid

Selasa, 01 Maret 2022 – 21:52 WIB
Runway di sebuah bandara. Foto/Ilustrasi: JPNN.Com

jpnn.com - DALAM dunia penerbangan dikenal istilah soft landing atau pendaratan yang lembut. Ketika pilot berhasil menjalankan tugas navigasinya melewati berbagai tantangan dalam penerbangan, ia kemudian dituntut bisa mendaratkan pesawat dengan mulus alias soft landing.

Soft landing berlaku juga dalam dunia politik. Seorang penguasa yang mengakhiri jabatannya harus memastikan bahwa dia mendarat dengan soft. Dalam sebuah sistem demokrasi yang mapan, navigasi udara dan petunjuk untuk take off maupun landing sudah tersedia seperti sebuah manual.

BACA JUGA: Survei Jahitan

Para pilot tinggal menjalankan manual itu sesuai dengan keterampilan politiknya. Pendaratan tidak selalu mulus.

Satu pilot dengan lainnya mempunyai keterampilan yang berbeda-beda. Ada yang bisa mendaratkan pesawat dengan selamat tapi touch down-nya terasa kasar. Ketika roda pesawat menyentuh runway ada benturan yang membuat penumpang terguncang.

BACA JUGA: Bangsa Tempe

Ada pilot yang punya feeling halus dan perhitungan yang matang, sehingga bisa melakukan touch down dengan lembut seolah tidak terasa sudah menyentuh runway. Penumpang akan merasakan proses landing yang tidak membawa kekhawatiran sama sekali.

Akan tetapi, dalam beberapa kasus terjadi perhitungan yang kurang cermat dari sang pilot sampai terjadi hard landing. Memang pesawat tidak sampai celaka, tetapi mendarat dengan benturan yang keras sehingga penumpang terguncang dan beberapa di antaranya mengalami benjol di kepala.

BACA JUGA: The Little Soeharto

Dalam skenario yang lebih buruk, seorang pilot bisa gagal mendaratkan pesawatnya dan mengalami crashed landing yang bisa menghancurkan pesawat dan membawa korban nyawa.

Tiga skenario pendaratan itu terjadi dalam peristiwa politik di tiga negara, Indonesia, Singapura, dan Malaysia. Tiga pemimpin negara itu, Soeharto, Lee Kuan Yew, dan Mahathir Muhammad telah memberi contoh bagaimana mengendalikan sebuah pesawat dan akibat-akibat yang harus ditanggung karena cara pengendaliannya yang berbeda-beda.

Soeharto adalah contoh pilot politik yang mengalami crashed landing. Selama mengendalikan pesawat ia melakukannya dengan relatif mulus.

Ia bisa membawa pesawatnya terbang tinggi. Namun, Soeharto terbang terlalu lama dan mengalami flying fatigue, kelelahan penerbangan, yang membuatnya gagal mendaratkan pesawat dengan mulus. Pesawat akhirnya mengalami crashed dan membawa korban cukup banyak.

Mahathir Muhammad mengendalikan pesawat dalam suasana turbulensi yang sulit. Tidak selamanya cuaca mulus, sesekali ada guncangan yang membuat pesawat tidak stabil.

Meski demikian, Mahathir punya keahlian yang jeli dalam timing yang tepat untuk mendaratkan pesawatnya. Ia mungkin mendarat dengan agak keras dengan beberapa guncangan, tetapi pesawatnya bisa landing  dengan selamat dan penumpang tidak ada yang cedera.

Lee Kuan Yew dianggap paling piawai dalam mengendalikan pesawat dibanding dua sahabatnya. Pesawat yang dikendalikan Lee memang jauh lebih kecil, tetapi dia bisa membuktikan bahwa pesawatnya terbang lebih tinggi dan tetap mulus selama penerbangan.

Ketika sudah waktunya landing, Lee memilih waktu yang tepat dan mempersiapkan segalanya dengan rapi dan cermat. Lee mendarat dengan mulus, dan semua penumpang selamat dan merasa puas dengan kemulusan navigasinya.

Tiga pemimpin itu mempunyai pendekatan yang sama dalam mengendalikan pesawat. Ketiganya memacu pembangunan ekonomi dengan pendekatan "developmentalism" atau pembangunanisme.

Ketiganya berhasil meningkatkan kesejahteraan ekonomi dengan mengorbankan pembangunan politik dan demokrasi. Develompemtalism ala Singapura menciptakan negara makmur tanpa demokrasi liberal.

Developmentalisme ala Malaysia membawa negara menjadi kompetitif dan mempertahankan kontrol politik yang ketat terhadap lawan-lawan politik. Developmentalisme Indonesia membawa kesejahteraan pembangunan ekonomi dengan mengorbankan demokrasi.

Apakah demokrasi bisa membuat kenyang? Itulah pertanyaan yang coba dijawab oleh developmentalisme. Tiga pilot itu menjawab bahwa demokrasi tidak bisa membuat kenyang, karena itu harus mengalah dulu untuk memberi jalan kepada pembangunan ekonomi. Kalau perut sudah kenyang, baru orang bisa berdemokrasi dengan sehat.

Filsuf dan ekonom India Amartya Sen tidak sependapat. Menurutnya, pembangunan ekonomi yang mengorbankan pembangunan demokrasi akan membawa ketidakseimbangan yang bisa menyebabkan crashed landing.

Menurut Sen, pembangunan harus menjadi pembebasan. "Development as Freedom’’ seperti yang ditulis dalam bukunya.

Ia mengkritik tolok ukur pembangunan yang hanya diukur berdasarkan kekayaan materi. Menurutnya, aspek metafisik seperti kebahagiaan dan kebebasan terhadap diskriminasi juga memiliki relasi dengan aspek materi atau kekayaan.

Amartya Sen juga memberi penjelasan mengenai apa yang ia sebut sebagai ketidakbebasan. Ia menyebutkan bahwa banyak kelompok maupun individu di berbagai penjuru dunia yang masih mengalami berbagai macam ketidakbebasan.

Ia juga menambahkan, banyak negara besar di dunia menyangkal adanya hak berpendapat oleh individu, hal ini mereka yakini agar pertumbuhan ekonomi dapat dimonitor dengan baik dan cukup mendorong kesejahteraan masyarakat.

Perenggutan kebebasan tersebut mencakup hak politik dan menyatakan pendapat. Klaim tersebut salah satunya dinyatakan oleh Lee Kuan Yew yang juga Perdana Menteri Pertama Singapura.

Namun, klaim ini kemudian dibantah oleh Amartya Sen bahwa hanya ada sedikit bukti tentang otoritarianisme dapat mempercepat laju pertumbuhan ekonomi.

Ia secara khusus mempertanyakan klaim Lee Kuan Yew yang memperkenalkan develompentalism sebagai strategi pembangunan. Sen menegaskan bahwa inti pembangunan adalah pembebasan.

Pembangunan bukan hanya pembebasan dari kemiskinan dengan mendapatkan kemakmuran ekonomi, tetapi pembebasan dari keterkungkungan dan ketidakbebasan berekspresi dan berpendapat, sebagaimana yang diidamkan oleh demokrasi.

Sen memberi kritikan terhadap asumsi yang hanya menilai pembangunan cuma meliputi aspek materi. Pembangunan mempunyai berbagai variabel baru yang bersifat nonmateri, seperti kebebasan individu dan dan kualitas hidup manusia, secara psikis untuk mengekspresikan keyakinan politik, budaya, dan agamanya.

Amartya Sen berjasa dalam membangun paradigma baru dalam Pemikiran Ekonomi modern. Ia banyak mengkritik pemahaman lama bahwa pembangunan nasional merupakan agenda yang materialistik.

Buah pemikirannya hingga saat ini masih hangat untuk dikaji dan menambah khazanah kekayaan intelektual dalam bidang ilmu sosial

Sen mengkritik sistem ekonomi kapitalisme yang menciptakan keserakahan dan jurang yang lebar antara kaum kaya dengan kalangan miskin. Memang kapitalisme sudah menunjukkan kemampuannya yang bermanfaat dalam menggerakkan ekonomi negara-negara berkembang. Kapitalisme menggairahkan perdagangan dan industri di dalam suatu negara.

Namun, sisi gelap kapitalisme yang tidak terkontrol akan melahirkan jurang kaya-miskin yang lebar dan kekeringan spiritual dan budaya yang membuat manusia miskin secara psikologis. Oleh karena itu, kapitalisme harus dapat dikendalikan dengan mengadopsi nilai-nilai ketimuran yang lebih berkekeluargaan.

Nilai-nilai timur itu bisa muncul dari Islam, konfusianisme China, dan shintoiesme Jepang. Kapitalisme bisa menjadi motor kemakmuran ekonomi dan etika ketimuran bisa menjadi sumber kesejahteraan jiwa.

Sen menjadikan manusia sebagai pusat dari kebijakan pembangunan sehingga pembangunan disebut sebagai "pembangunan manusia’’ atau human development. Di Indonesia hal itu diwujudkan dalam bentuk portofolio menteri koordinator pembangunan manusia yang dijabat oleh Muhadjir Effendy.

Kementerian inilah yang seharusnya merumuskan pembangunan manusia secara utuh sesuai dengan jargon yang dulu terkenal di zaman Orde Baru, pembangunan manusia seutuhnya. Pembangunan haruslah membebaskan masyarakat dari keterbelakangan, kemiskinan, dan kebodohan.

Sen mengganggap kebebasan sebagai sesuatu yang esensial bagi martabat manusia. Kemampuan untuk mewujudkan sesuatu yang dianggap bernilai menjadi tolok ukur kualitas kehidupan seorang manusia.

Manusia harus dibangun kemampuannya untuk menjadi lebih manusiawi. Tugas pembangunan adalah membangun manusia yang lebih manusiawi.

Sen memberikan pondasi yang baik dalam welfare economics dan mengingatkan akan pentingnya mengembalikan dimensi etis dalam pembangunan.

Pengingkaran terhadap hak asasi akan menjadi kendala bagi pembangunan manusia karena jaminan akan hak asasi manusia dapat mengurangi risiko bencana sosial ekonomi yang biasa disebut sebagai crashed landing.

Pilihan sudah tersedia di depan mata. Sejarah juga sudah mengajarkan dan menunjukkan bukti-buktinya.

Pilihan sepenuhnya ada di tangan rezim yang berkuasa, apakah menginginkan pendaratan yang mulus, soft landing, atau sebaliknya, crashed landing.(***)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Tarsan Kota


Redaktur : Antoni
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler