jpnn.com, JAKARTA - Direktur Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menilai somasi yang dilayangkan warga bernama Rohayani kepada PT Gudang Garam Tbk dan PT Djarum tidak tepat.
”Produk rokok itu sendiri termasuk barang yang dikendalikan supaya tidak bebas dikonsumsi. Pengendalian dilakukan lewat cukai yang dikenakan kepada produsen rokok. Di samping itu, ada keharusan mencantumkan peringatan bahaya kesehatan dalam setiap kemasan rokok,” kata Enny, Jumat (16/3).
BACA JUGA: Gudang Garam dan Djarum Disarankan Tidak Layani Somasi
Enny menilai pengendalian konsumsi rokok lewat penarikan cukai menunjukkan tidak ada unsur paksaan untuk menjadi perokok.
Selain itu, perokok juga diatur. Misalnya, hanya boleh merokok di ruangan tertentu.
BACA JUGA: Cari Juara Masa Depan, PB Djarum Bidik 3 Kategori Usia
”Biaya pengaturan bagi perokok itu diambilkan dari cukai yang dikenakan kepada produsen rokok,” kata Enny.
Menurut Enny, perokok yang sakit karena terpapar rokok merupakan risiko pribadi.
BACA JUGA: Pelarangan Pemajangan Produk Rokok, Pedagang di Bogor Resah
Sebab, produsen sudah memasang peringatan bahaya rokok di kemasan.
”Masalah terpapar sakit akibat rokok adalah salah si perokok yang masih mau merokok padahal harga rokok dikenai cukai dan ada peringatan bahaya merokok,” kata Enny.
Karena itu, Enny meminta masalah somasi itu tidak digaungkan lagi.
Menurut dia, masih banyak masalah lain terkait isu tembakau yang lebih penting diperhatikan.
Di antaranya, berkenaan dengan pro dan kontra berkepanjangan terhadap RUU Pertembakauan yang sudah lama dibahas di DPR.
”Selama ini banyak orang memandang isu tembakau hanya dari satu sisi seperti aspek kesehatan saja. Padahal, ada aspek penerimaan negara dalam bentuk cukai, ada kepentingan industri, ada kepentingan petani tembakau, dan jutaan tenaga kerja yang juga harus diperhatikan,” tutur Enny.
Berdasar rilis yang dikeluarkan Indef akhir Februari lalu, sekarang ini ada kecenderungan melihat industri rokok dalam kaca mata hitam dan putih.
Kelompok yang kontra menganggap tembakau hanya akan merugikan kesehatan, bahkan merusak generasi masa depan.
Sementara itu, industri pasti berpikir memiliki hak hidup karena selama ini menyetor lebih dari Rp 139 triliun per tahun ke negara.
Di sisi lain, dengan penerimaan cukai sebesar itu, negara akan berpikir keras agar jangan sampai kehilangan pemasukan.
Mestinya, lanjut Enny, semua kepentingan itu dilihat dalam kerangka jangka panjang, mengacu pada roadmap industri yang disusun pemerintah melalui Kementerian Perindustrian.
Yakni, menyelaraskan pemasukan negara, industri, tenaga kerja, dan kesehatan.
”Sayangnya, hal ini tidak pernah dibahas serius. Akhirnya, ada kelompok tertentu yang menilai tembakau begitu buruk. Mungkin somasi kepada perusahaan rokok merupakan bagian dari itu,” kata Enny. (jos/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Cukai Rokok Dinilai Tak Layak Naik, Ini Alasannya
Redaktur & Reporter : Ragil