jpnn.com, JAKARTA - Sengketa lahan selama tiga tahun kabinet kerja pemerintahan Presiden Joko Widodo masih menjadi masalah klasik yang belum nyata penyelesaiannya. Salah satu yang mengemuka adalah sengketa lahan di Kecamatan Sematang Borang, Kota Palembang antara warga dengan pengusaha.
Ketua Umum Gerakan Kebangkitan Petani dan Nelayan Indonesia (Gerbang Tani), Idham Arsyad, menilai BPN tak serius dalam menyelesaikan konflik pertanahan. Selain itu, dia juga menilai BPN terkesan kuat lebih mengutamakan kepentingan investasi atau pengusaha ketimbang wong cilik.
BACA JUGA: Kesaksian Mencurigakan, Pejabat BPN Badung Diancam Hakim
“Orang kecil atau wong cilik dan petani dikesampingkan,” papar Idham kepada wartawan, Senin (22/1/2018).
Padahal, kata Idham, penyelesaian konflik pertanahan merupakan salah satu janji Presiden Joko Widodo sebagaimana tercantum dalam agenda Nawa Cita. “Pemerintah berjanji membentuk lembaga khusus penanganan konflik agraria. Namun hingga saat ini, belum ada," paparnya.
BACA JUGA: Kejaksaan Nilai Objek Praperadilan Gunawan Yusuf tak Jelas
Untuk diketahui, pada poin lima dari sembilan Program Nawa Cita Jokowi menyebutkan, “Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan dengan program "Indonesia Pintar"; serta peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan program "Indonesia Kerja" dan "Indonesia Sejahtera" dengan mendorong land reform dan program kepemilikan tanah seluas 9 hektar, program rumah kampung deret atau rumah susun murah yang disubsidi serta jaminan sosial untuk rakyat di tahun 2019.”
Sejauh ini, menurut Idham, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sofyan Djalil belum mampu memberikan solusi yang berkeadilan. Bahkan, BPN setempat cenderung propengusaha yakni H Kemas Halim ketimbang warga dua kelurahan yakni Srimulya dan Sidamulya.
BACA JUGA: Ratusan Massa Gagalkan Eksekusi Lahan, Takbir Menggema
Dalam kasus ini, H Halim yang dikenal sebagai pengusaha kondang di Palembang mengklaim lahan seluas 405 hektare. Sementara sedikitnya 8 ribu kepala keluarga (KK) merasa berhak atas tanah tersebut. Alhasil, ratusan warga dari dua kelurahan tersebut melakukan demo besar-besaran pada September 2017. Mereka memblokade jalan dua desa di Kecamatan Sematang Borang, Kota Palembang serta mengusir petugas BPN yang hendak melakukan pengukuran lahan. Ternyata, tanah tersebut masuk dalam sengketa yang sudah diputus pengadilan.
Menurut Erwin Madjit, perwakilan warga dua keluarahan itu mengatakan baik pemerintah provinsi maupun kota, cenderung membela orang besar. Sampai saat ini, birokrat tidak mau menemui warga untuk bernegosiasi, bahkan selalu menghindar.
Padahal, masyarakat di Kelurahan Srimulya dan Suka Mulya, memiliki lahan sejak puluhan tahun dan rutin membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), kewajiban sebagai warga negara.
"Dari Ombusdman sudah mendapat tembusan dari pusat mengenai perkara dan hukum BPN yang menginstruksikan agar ditindaklanjuti sisi yuridis, administrasi, dan fisiknya, tapi hingga sekarang pihak pemerintah selalu bungkam. Selain itu, 5.000 kepala keluarga yang tinggal di dua kelurahan juga rutin membayar pajak PBB,” ujar dia.
Ia berharap pemerintah bisa segera menyelesaikan masalah sengketa lahan yang terjadi di sejumlah daerah sehingga rasa keadilan sebagai jiwa dari program Nawa Cita di sektor agraria, benar-benar bisa dirasakan rakyat kecil.(fri/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Abaikan Pembangunan di Lahan Bersegel, Dinas Diduga Bermain
Redaktur & Reporter : Friederich