Satelit, kapal, dan alat terapung yang memantau cuaca Bumi sudah mencatat kenaikan suhu laut yang signifikan sejak awal 1980-an.
Data dalam bagan ini menampilkan catatan suhu permukaan laut harian untuk semua samudra di Bumi, kecuali di kawasan kutub.
BACA JUGA: Pandemi Membuat Orang Australia Makin Religius atau Malah Meninggalkan Agamanya
Beberapa tahun terakhir suhu lautan mencapai rekor tertinggi, jauh di atas rata-rata dalam jangka panjang.
Tapi dari semua catatan ini, tidak ada yang menyamai tahun 2023. Sejak 16 Maret lalu, lautan dunia mengalami demam. Suhu rata-rata lautan di seluruh dunia mencapai rekor tertinggi, dan telah berlangsung berbulan-bulan.
BACA JUGA: Kanada Mengalami Kebakaran Hutan Terburuk, Ini Alasan Mengapa Kita Harus Peduli
Laut memainkan peran integral dalam membentuk pola iklim dan cuaca.
Semakin hangat suhu lautan, semakin banyak tekanan pada sistem cuaca: mulai dari memicu hujan lebat dan gelombang panas ekstrem yang meningkatkan penguapan dan mengubah pola cuaca.
BACA JUGA: Polri Tanam 1 Juta Pohon, Komisi III DPR: Langkah Nyata Atasi Perubahan Iklim
Wenju Cai, peneliti variabilitas dan perubahan iklim global, mengingatkan manusia akan merasakan dampaknya sebentar lagi.
"Kita pasti akan melihat banyak kejadian ekstrem di tahun-tahun mendatang hanya karena sistemnya lebih kuat," jelasnya.
"Ada banyak energi dalam pemanasan lautan, dan hal itu bisa memicu peristiwa yang jauh lebih ekstrem."
Banyak ilmuwan sebenarnya hal ini sudah terjadi.
Melihat anomali suhu permukaan laut harian dari seluruh dunia menunjukkan sebagian besar belahan bumi utara dan sebagian besar belahan bumi selatan saat ini dalam tanda merah.
Pakar iklim dari Institut Teknologi Georgia Annalisa Bracco mengatakan apa yang membuat suhu lautan tahun ini sangat "aneh" adalah seberapa luas panasnya.
"Ini terjadi hampir di semua tempat," katanya.
Selama bulan Juli, suhu permukaan laut di sebagian Laut Mediterania mencapai 3 derajat Celcius lebih tinggi dari biasanya, dengan kantong hingga 5,5 Celcius di atas rata-rata di sepanjang pantai Italia, Yunani, dan Afrika Utara.
Dr Bracco mengatakan "sangat masuk akal" suhu laut yang hangat ini membantu peristiwa cuaca ekstrem pada tahun 2023, meskipun studi formal diperlukan untuk memastikannya.
Dia mengatakan panas lautan mungkin berperan dalam gelombang panas ekstrem dan kebakaran hutan yang melanda Yunani dan negara-negara sekitarnya bulan Juli kemarin.
"Daratan cenderung lebih hangat daripada lautan, sehingga bila lautan begitu hangat, kita mulai mengalami suhu yang sangat tinggi dan kekeringan karena lautan menguap dan hujan dengan sendirinya," jelas Dr Bracco.
Dia menjelaskan hal yang sama terjadi di Amerika tengah, dengan suhu lautan di Pasifik timur saat ini 3-5 Celcius di atas normal saat pola iklim El Niño yang terus terjadi.
Kota Phoenix di barat daya Amerika Serikat mengalami rekor suhu tertinggi selama 31 hari di atas 43 Celcius selama bulan Juli.
Di Tiongkok, selama bulan Juli, curah hujan yang memecahkan rekor dipicu oleh Topan Doksuri, menewaskan puluhan orang dan menimbulkan kehancuran saat menerjang ke utara hingga Beijing dan Provinsi Hebei.
Baik Dr Cai maupun Dr Bracco menyebut suhu laut yang menghangat kemungkinan besar berkontribusi dalam peristiwa ini.
'Anestesinya' sudah habis
Para ilmuwan percaya perubahan iklim memainkan peran nyata dalam lonjakan suhu lautan.
Dikatakan, perbedaannya kali ini terkait pendorong iklim alami yang dampaknya tak lagi disamarkan seperti yang terjadi di masa lalu.
Selama beberapa dekade, aktivitas manusia sudah meningkatkan emisi gas rumah kaca yang memerangkap lebih banyak energi matahari, menghangatkan atmosfer, lautan, dan daratan.
Menurut Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), dari energi panas ekstra tersebut, sekitar 90 persen disimpan di lautan.
Penelitian menemukan begitu karbon dioksida masuk ke atmosfer, maka akan tertahan sekitar 300 hingga 1.000 tahun lamanya.
Data dari National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) menunjukkan adanya tren kenaikan suhu permukaan laut sejak tahun 1901, yang meningkat pesat mulai dari tahun 1970-an dan seterusnya.
Tapi Dr Cai mengatakan "rasa sakit" dari ketidakseimbangan energi ini telah ditutupi selama bertahun-tahun oleh pengaruh pendinginan dari berbagai pendorong iklim alami. Pendinginan alami itu tidak terjadi tahun ini.
"Ini seperti membius rasa nyeri akibat pemanasan global," katanya.
"Anestesinya sudah sudah habis dan kita mulai merasakan nyerinya sekarang." Efek El Niño dan La Niña
Dr Cai menjelaskan yang paling signifikan dari apa yang disebut "anestesi" ini adalah pola iklim La Niña, fase "dingin" El Niño Southern Oscillation (ENSO), yang terjadi selama tiga tahun berturut-turut dari 2020-2022.
Penggerak iklim utama menampilkan suhu permukaan laut yang lebih dingin dari biasanya di Pasifik ekuator tengah dan timur, dan perairan yang lebih hangat di sisi barat Pasifik, yang pada gilirannya memengaruhi curah hujan dan suhu di seluruh dunia.
Peristiwa tersebut dikaitkan dengan penurunan signifikan dalam suhu permukaan global rata-rata, dengan permukaan yang sebagian besar terdiri dari lautan.
Panas ekstra yang ditimbulkan oleh gas rumah kaca tidak tiba-tiba hilang selama pola iklim La Niña, melainkan hanya tersembunyi di bawah permukaan laut.
Dengan selesainya peristiwa 'triple-dip' La Niña sekarang, Dr Cai menjelaskan tidak ada lagi yang berfungsi sebagai penyangga.
"Global warming sudah tidak ada hentinya lagi, maka global warming akan meningkat," ujarnya.
Sebaliknya, dunia kini menghadapi El Niño, fase kebalikannya, yang diketahui dapat meningkatkan suhu permukaan global.
Peristiwa El Niño terakhir terjadi pada tahun 2015 hingga 2016, yang juga merupakan tahun terhangat dalam rekor suhu permukaan rata-rata global di darat dan laut.
Tapi Dr Cai mengatakan tahun ini Bumi mengalami delapan tahun pemanasan lebih buruk daripada tahun 2016.Mencairnya es mendorong panas
Dr Cai menyebutkan bagian tak terpisahkan dari peristiwa ini adalah mencairnya es.
Permukaan es yang cerah dan halus memantulkan kembali banyak sinar matahari ke luar angkasa, yang berarti panasnya tidak terserap ke laut.
Semakin banyak es mencair, maka lautan pun semakin panas, dan sebaliknya.
Untuk alasan ini, Dr Cai mengatakan es adalah "umpan balik positif atmosfer paling kuat dalam sistem Bumi kita".
Luas es laut Antartika tahun ini telah turun ke rekor terendah dan sedang berjuang untuk pulih secara substansial selama bulan-bulan musim dingin seperti biasanya.
Data menunjukkan defisit es laut untuk bulan Juli adalah 2,1 juta kilometer persegi di bawah rata-rata, area yang lebih besar dari ukuran negara bagian Queensland di Australia.
Es laut Arktik, serta lapisan es Greenland dan Antartika, juga menurun dan telah terjadi selama beberapa dekade. Mengurangi polusi
Negara-negara maju di belahan bumi utara perlahan-lahan mengurangi polusi selama beberapa dekade, seperti halnya industri perkapalan dalam beberapa tahun terakhir.
Peraturan internasional baru tentang partikel belerang dalam bahan bakar kapal angkut barang diberlakukan pada tahun 2020, yang mengarah pada pengurangan emisi belerang dioksida secara global, yakni polutan udara yang merusak kesehatan.
Profesor Mat Collins, pakar perubahan iklim dari University of Exeter, mengatakan pengurangan polusi secara keseluruhan memiliki dampak positif bagi kesehatan manusia, tapi dapat berperan dalam peningkatan panas global dalam jangka pendek karena pengurangan aerosol yang menyertainya.
Aerosol bertindak seperti "perisai" terhadap sinar matahari yang masuk, memantulkannya kembali ke luar angkasa.
"Kita telah mengurangi emisi, yang bagus untuk kualitas udara, tapi artinya sekarang sinyal karbon dioksida dapat masuk," kata Profesor Collins.
"Seberapa lama itu tergantung pada seberapa cepat kita mengurangi polusi, jadi jika kita menghentikan polusi, kita dapat memiliki atmosfer yang bersih dalam setahun."
Menurut Dr Bracco, kurangnya debu dari Gurun Sahara — aerosol alami — mungkin juga berperan dalam pemanasan lokal di Atlantik Utara selama bulan Juni.Apa yang akan terjadi?
Semua faktor tersebut kemungkinan berkontribusi lebih besar pada peristiwa iklim tahun ini.
Dr Collins mengatakan anatomi persis dari faktor penyebab tahun ini peristiwanya begitu ekstrem masih menjadi "teka-teki yang menyibukkan para ilmuwan".
Namun pesan yang lebih luas dari para ilmuwan iklim adalah bahwa, meski latar belakang pemanasan tahun ini ditekankan oleh faktor pendorong alami, tidak akan menjadi tahun terakhir seperti ini.
"Akan ada tahun-tahun lain di masa depan di mana peristiwa seperti ini terjadi lagi. Sebab akan ada tahun-tahun lain di mana variabilitas alami mengarahkan kita ke tahun yang hangat," jelas Dr Collins.
Dr Bracco menambahkan rekor tahun ini menunjukkan tingkat latar belakang pemanasan global yang tidak dapat diurungkan selama ratusan tahun. Perlu tindakan segera untuk menghentikannya menjadi lebih buruk.
"Hal ini semakin mengkhawatirkan," katanya.
"Saya harap ini adalah situasi yang membuat orang, politisi, dan pemerintah bersatu untuk mengatasinya."
Untuk tahun ini, Dr Cai mengatakan meskipun El Nino masih dalam tahap awal, kemungkinan akan terjadi lebih banyak suhu panas dan akan menjadi berdampak paling berat bagi negara yang memasuki musim panas seperti Australia.
Menurut WMO, El Niño juga dikaitkan dengan peningkatan suhu rata-rata global pada tahun berikutnya.
Namun ilmuwan iklim lainnya mengatakan Australia tidak akan mengulang apa yang dialami di belahan bumi utara saat ini karena faktor sistem cuaca lokal turut berperan. Kredit
Laporan: Tyne Logan
Developer: Katia Shatoba
Bagan dan data: Mark Doman
Fotografi: Reuters/Costas Baltas, Cameron Shwartz, Associated Press/Andy Wong
Penerjemah: Farid Ibrahim
BACA ARTIKEL LAINNYA... Penjelasan Pakar Mengapa Perairan dan Serangga di Tasmania Bisa Menyala