Survei Pesanan

Oleh Dhimam Abror Djuraid

Sabtu, 10 Juni 2023 – 20:02 WIB
Surat suara pemilu. Foto/ilustrasi: arsip JPNN.com/Ricardo

jpnn.com - Tiap mejelang pemilu selalu ramai soal hasil survei. Hampir saban minggu muncul hasil survei dari berbagai lembaga jajak pendapat dengan hasil beraneka ragam.

Dalam hal pemilihan presiden, tiga bakal capres selalu muncul sebagai tiga besar, yaitu Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan.

BACA JUGA: Cawe-Cawe di Pilpres

Sejak April lalu, urutan teratas selalu ditempati oleh Prabowo Subianto. Sebelum April, Ganjar Pranowo selalu ada di urutan teratas.

Namun setelah PDIP resmi mendeklarasikan Ganjar sebagai bakal capres, elektabilitas gubernur Jawa Tengah itu yang menempati pole position justru disalip oleh Prabowo.

BACA JUGA: Antara Ganjar dengan Endorsement Jokowi dan Tirakat Anies Tanpa Kudus

Anies Baswedan sejak awal memang tidak pernah sekali pun muncul pada posisi teratas. Dia selalu konsisten di urutan ketiga, bahkan sekarang elektabilitasnya terus melorot.

Debat mengenai akurasi hasil survei ramai beberapa hari terakhir. Banyak yang meragukan hasil survei dan menganggapnya sebagai pesanan.

BACA JUGA: Sandingkan & Bandingkan

Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar mengakui soal adanya survei pesanan. Ada pihak yang memesan survei dan menginginkan hasilnya sesuai dengan kemauan pemesannya.

Di Amerika Serikat, tradisi survei sudah marak sejak awal 1930-an ketika Robert Gallup mendirikan lembaga survei pertama. Sampai sekarang Gallup Poll menjadi lembaga survei tepercaya, terbesar, dan tertua di Amerika.

Survei capres pertama di Amerika dilakukan pada 1824. Hasilnya menunjukkan capres Andrew Jackson unggul atas John Quincy Adams.

Ternyata hasil pemilu sesuai dengan prediksi survei. Sejak itulah survei menjadi bagian tidak terpisahkan dari proses politik Amerika.

Pada pilpres 1916, majalah Literary Digest turut melakukan survei nasional untuk melihat siapa capres yang akan terpilih. Hasil surveinya menujukkan bahwa Woodrow Wilson lebih unggul dari pesaingnya.

Ternyata hasil pilpres sesuai dengan prediksi survei. Pada pemilu berikutnya, majalah itu juga berhasil memprediksi kemenangan Warren Harding pada 1920, Calvin Coolidge pada 1924, Herbert Hoover pada 1928, dan Franklin Roosevelt pada 1932.

Ketika itu metode yang dipakai masih tradisional. Jutaan kartu pos dikirim secara manual kepada partisipan.

Namun, cara ini dinilai boros dan persebaran respondennya tidak merata. Selain itu, survei juga menunjukkan adanya bias dari partisipan.

Hal ini terbukti pada survei capres 1936. Hasil jajak pendapat menunjukkan Alf Landon akan memenangi Pilpres pemilu presiden Amerika Serikat. Namun, ternyata petahana Roosevelt yang terpilih kembali.

Peneliti George Gallup menemukan bahwa partisipan yang menyukai Landon lebih antusias mengembalikan kartu pos mereka. Memang Landon menang dalam jajak pendapat prediksi preferensi presiden kala itu.

Setelah menemukan adanya kejanggalan dalam survei majalah Literary Digest, Gallup kemudian membuat metode surveinya sendiri. Metode yang dibuat Gallup ini menggantikan cara survei majalah Literary Digest yang dinilai naif, boros, dan persebaran respondennya tidak merata itu.

Di Indonesia, lembaga survei menjadi bagian dari euforia politik seiring dengan lahirnya reformasi setelah kejatuhan Orde Baru pada 1998. Oleh karena itu, survei capres tidak pernah diadakan selama periode pemerintahan Soekarno maupun Soeharto.

Lembaga survei untuk menghimpun jajak pendapat terkait politik lazimnya lahir di negara demokratis dengan rakyat yang memiliki kebebasan sipil dan politik yang substansial. Inilah yang menjadi alasan mengapa survei jajak pendapat tidak pernah diadakan di era sebelum reformasi.

Peneliti Australia Marcus Mietzner yang menulis artikel jurnal “Political Opinion Polling in Post-authoritarian Indonesia: Catalyst or Obstacle to Democratic Consolidation?” mengatakan jajak pendapat di dalam pemerintahan otoriter dianggap mencerminkan atau bahkan dapat memperburuk ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintah.

Di negara-negara otoriter atau pseudo-demokratis, penerbitan hasil-hasil jajak pendapat lazim dicekal atau dihambat.

Alasan lainnya ialah survei jajak pendapat terkait capres membutuhkan metodologi yang dirancang secara saksama, peneliti yang berpengalaman, serta responden dalam jumlah besar.

Bagi Indonesia yang masih berkembang, survei capres membutuhkan biaya yang tidak sedikit. 

Survei capres berupa jajak pendapat politik mulai terselenggara secara semi-profesional setelah Soeharto lengser. Survei itu diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Sosial dan Ekonomi (LP3ES).

Para peneliti di LP3ES sudah tidak asing dengan metode-metode pengambilan sampel berbasis hitung-hitungan kuantitatif.
Pada Pemilu 1997 atau yang terakhir di era Orde Baru, lembaga itu telah mengadakan survei hitung cepat untuk kawasan Jakarta.

LP3ES juga pernah menyelenggarakan survei pada Pemilihan Legislatif 1999 di bawah kepemimpinan Presiden B.J. Habibie.

Survei capres di Indonesia pertama kali dilakukan menjelang Pemilu 2004. Berbagai lembaga survei kala itu menyatakan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai kandidat terkuat presiden.

Prediksi itu benar. SBY terbukti memenangi Pilpres 2004 dengan suara 33,57 persen pada putaran pertama dan 60,62 persen pada putaran berikutnya.

Di Indonesia, tradisi survei masih seumur jagung, tetapi perannya sudah sangat besar dalam memengaruhi keputusan politik. Nyaris tidak ada politisi yang berani maju untuk merebut jabatan eksekutif maupun legislatif yang tidak mempergunakan lembaga survei.

Lembaga survei pun bisa disebut keniscayaan bagi politikus yang hendak maju berkontestasi. Walhasil, lembaga survei sudah menjadi industri tersendiri dengan putaran uang triliunan rupiah.

Para penyurvei itu sekaligus menjadi konsultan politik yang menawarkan paket komplet dengan harga tinggi. Oleh karena itu, lembaga-lembaga survei menjadi perusahaan besar dengan ozset besar dan pengusahanya menjadi orang-orang tajir.

Seiring dengan itu mulai muncul distrust dari sekalangan masyarakat yang tidak sepenuhnya percaya terhadap hasil survei yang dipublikasikan. Para pengusaha survei dianggap sebagai bagian dari proyek politik yang mempunyai target politik tersendiri.

Itulah yang sekarang terjadi. Lembaga survei dianggap sebagai bagian dari proyek politik untuk memenangkan calon tertentu. Lembaga survei sudah menjadi bagian dari tim sukses, dan hasil surveinya disesuaikan dengan pesanan pembayar.(***)

Jangan Lewatkan Video Terbaru:

BACA ARTIKEL LAINNYA... False Flag Rocky Gerung


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler