jpnn.com, BANGKA - SUKA kegiatan traveling yang langsung bersentuhan dengan keindahan alam yang masih alami dan menantang?
Traveler Indonesia patut mencoba pilihan ekowisata mangrove menarik di Desa Kursi Barat, Kota Pangkal Pinang, Bangka.
BACA JUGA: KLHK Gelar Festival Taman Nasional dan Taman Wisata Alam
Area ekowisata mangrove yang dikelola kelompok Hutan Kemasyarakatan (HKm) Gempa 01 ini akan menyuguhkan pada Anda pengalaman menantang sekaligus kedamaian hati di tengah senyapnya menelusuri Sungai Munjang dengan barisan tanaman mangrove di setiap sisinya.
Untuk sampai di Ekowisata Munjang ini tak sulit. Anda bisa menumpang bus kota dari Bangka menuju Kurau dengan tarif Rp 10 ribu per penumpang. Jaraknya ditempuh dengan waktu sekitar satu jam.
BACA JUGA: Kelola Hutan Bersama Masyarakat Berbuah Kesejahteraan Nyata
Sebaiknya perjalanan menuju lokasi ini dilakukan pada pukul 08.00 pagi, saat Sungai Munjang yang langsung ke muara laut itu sedang pasang.
BACA JUGA: KLHK dan Kemenkominfo Luncurkan SMS Blast Informasi Karhutla
Tak harus merogoh kocek mahal kok untuk menikmati sensasi alam mangrove di Sungai Munjang ini.
Untuk menyusuri sungai sambil memotret hutan mangrove Anda bisa membayar karcis boat sebesar Rp 10 ribu.
"Pengunjung akan diajak berkeliling menyusuri hutan mangrove selama sekitar 30 menit," ujar Yasir, Ketua HKm Gerakan Pemuda Pecinta Alam (Gempa) yang sudah sejak 2005 mengelola hutan mangrove bersama kelompoknya.
Menurut Yasir, area hutan mangrove seluas 213 hektar itu dibagi menjadi tiga bagian.
Ketua Kelompok Hkm Gempa 01 Pengelola Hutan Mangrove Munjang, Yasir
Yaitu zona wisata, edukasi dan zona inti yang hanya khusus untuk penelitian. Tidak semua orang boleh melewati batas zona penelitian yang berdekatan dengan muara sungai dan laut.
Wisatawan bisa mengelilingi semua spot khusus wisata yang memang sudah disiapkan khusus.
Namanya juga wisata alam. Anda sudah pasti bisa mendapat suguhan kekayaan alam Sungai Munjang Kurau Barat yang menawan. Ditemani deru mesin boat dan gemercik air sungai, pengunjung bisa menikmati keliling hutan mangrove.
Sesekali terdengar kicau burung dari balik pepohonan rimbun di sepanjang sisi sungai.
"Di sini ada sekitar 40 species burung. Kemarin ada teman-teman dari Bandung datang khusus untuk memotret burung-burung tersebut," imbuh Yasir.
Itu belum ditambah dengan binatang lain seperti biawak dan ular yang sesekali lewat di sisi Sungai Munjang.
JPNN yang mengikuti rombongan kunjungan jurnalistik bersama humas KLHK juga ditunjukkan jenis ular kobra yang sedang melilit di atas pohon di sisi sungai tersebut. Tenang, ular itu tidak tertarik untuk menyerang pengunjung.
Menurut Yasir, ular itu jinak dan tidak mengganggu manusia. Ular, tuturnya, tidak akan akan menyerang jika tidak diserang lebih dulu.
Hembusan angin yang segar di hutan mangrove ini pun membuat pikiran pengunjung pun menjadi lebih tenang. Damai rasanya berbagi waktu dengan alam sekitar.
Di beberapa titik, Yasir dan anggota HKm juga membuat beberapa rumah pohon. Pengunjung bisa duduk bergalau ria sambil menikmati pemandangan yang serba hijau di sekelilingnya.
Cocok juga untuk meditasi atau sekadar menenangkan pikiran sambil mendengar kicau burung.
Tapi ingat satu hal. Pengunjung dilarang keras membuang sampah sembarangan di area ini. Pengelola sudah menyediakan tempat sampah, karena itu pengunjung harus memiliki kesadaran untuk menjaga kebersihan.
"Aturannya hanya satu. Kalau buang sampah sembarangan bisa jadi jomblo seumur hidup," tambah Yasir sambil tertawa.
Meski dikelola menjadi ekowisata bersama masyarakat sekitar, Yasir mengatakan, tidak kemudian membiarkan pengunjung membludak setiap kali kunjungan.
HKm Gempa membatasi maksimal 60 pengunjung yang bisa memasuki wilayah hutan mangrove itu.
Dia khawatir membeludaknya pengunjung juga menambah sampah karena terkadang sulit untuk mengontrol perilaku setiap orang yang datang.
"Jadi kalau sudah 60 orang di area ini, maka yang mau masuk menunggu antrean dulu. Kelompok lain sudah keluar baru kami persilakan masuk lagi. Kalau tidak bisa tidak terkontrol kalau ada yang buang sampah maupun merusak lingkungan," tutur Yasir.
Jumlah pengunjung yang datang ke hutan mangrove ini juga bervariasi. Terkadang hampir mencapai seribu orang di akhir pekan.
"Kebanyakan datang adalah rombongan dari sekolah karena sebagian ekowisata ini juga untuk edukasi. Murid sekolah juga kami ajak menanam mangrove untuk melindungi alam di Bangka ini," jelas Yasir.
Di ekowisata Sungai Munjang, pengunjung juga tidak sekadar berkeliling menyusuri hutan mangrove dan mendapat pengetahuan alam.
Ada arena Flying Fox di atas sungai dan kegiatan bersepeda gantung. Biayanya murah. Untuk flying fox cukup membayar Rp 20 ribu.
Sedangkan sepeda gantung Rp 10 ribu. Selain itu, pengunjung juga bisa menghabiskan waktu untuk berfoto dengan alam sekitar di beberapa spot.
Seperti di jembatan penghubung sungai, lorong waktu dan beberapa pohon yang menjuntai di antara sungai tersebut.
Tomi, salah satu rimbawan yang juga mengelola ekowisata bersama HKm gempa itu, ada beberapa pengunjung yang meminta izin menginap di lokasi ekowisata itu.
"Mereka biasanya sudah kenal kami dan izin menginap di saung. Mereka buat kemah. Tapi di sini ada listrik jadi ya benar-benar menikmati alam seperti berkemah di pegunungan," kata Tomi.
Tomi, salah satu anggota HKm Gempa 01
Pengunjung juga bisa melihat budi daya kepiting di hutan mangrove yang juga menjadi salah satu sumber mata pencarian masyarakat sekitar Sungai Munjang.
"Di sekitar saung ada budi daya kepiting, biasanya ditunjukan untuk edukasi bagi pengunjung dari sekolah," kata Tomi.
Lengkap sudah kepuasan menjelajah ekowisata di Sungai Munjang ini. Yuk, ke Mangrove Munjang.
Jangan lupa ya, tetap jaga kebersihan, jangan lupa buang sampah pada tempatnya daripada dikutuk jadi jomlo seumur hidup. (flo/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Indonesia dan Austria Perkuat Implementasi Lisensi FLEGT
Redaktur & Reporter : Natalia