Tak Punya Bank Data, Hanya Andalkan Ingatan

Jumat, 20 Juni 2008 – 10:58 WIB
Rosihan Anwar.

Rosihan Anwar yang bulan lalu merayakan ulang tahun ke-86 merupakan wartawan penulis obituari yang paling produktifWawasan dan pergaulannya yang luas serta tulisannya yang bergaya bercerita (story teller) memikat pembaca.

TRI MUJOKO BAYUAJI, Jakarta

RUMAH loji peninggalan Belanda di Jalan Surabaya, kawasan Menteng, Jakarta Pusat, itu tampak rindang dengan pohon-pohon di sekelilingnya

BACA JUGA: Lacak Jejak Gamelan Kuno sampai ke Gresik

Sepetak taman kecil di halaman menambah kesan asri
Sebuah Kijang kapsul tampak diparkir di jalan masuk

BACA JUGA: Dulu Keliling Diskotek Buru Mahasiswi Bispak

Sebuah mobil lagi, Toyota Alphard, berada di dalam garasi.
’’Ayo, silakan masuk,’’ kata Rosihan Anwar menyambut kedatangan JPNN.
Rambut bapak tiga anak kelahiran Kubang Nan Dua, Sumatera Barat, 10 Mei 1922, tersebut tampak memutih
Tapi, wajahnya masih segar

BACA JUGA: Munarman: SBY Antek Amerika

Dia tampak santai dengan kemeja biru serta celana abu-abu’’Tensi saya lagi naik,’’ katanyaBeberapa kali dia terlihat terbatuk-batuk.
Ruangan-ruangan dalam rumahnya tampak terawatJendela dengan terali khas tempo dulu juga masih dipertahankan keasliannyaDinding ruang tamu dipenuhi lukisan dengan berbagai aliran serta karikatur diriBeberapa ornamen khas dari berbagai negara juga dipajang di sejumlah lemari khas Betawi’’Ornamen-ornamen itu saya beli saat saya di luar negeri,’’ ungkapnya.
Karir jurnalistik Rosihan sangat panjangSebelum mendirikan harian Pedoman, dia tercatat sebagai reporter Asia Raya pada masa pendudukan JepangSaat Indonesia baru berusia sekitar tiga bulan, dia bergabung menjadi redaktur di harian Merdeka yang didirikan tokoh pers B.MDiah.
Selama 1948–1961, dia memimpin harian Pedoman sebelum koran itu akhirnya ditutup oleh SoekarnoPada era Soeharto, korannya bangkit lagiBahkan, selama enam tahun, sejak 1968, dia menjabat ketua umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)Sayangnya, koran itu juga diberedel orang kuat pascaperistiwa Malari pada 1974.
Gaya menulis obituari Rosihan Anwar yang sudah menelurkan lebih dari 20 buku itu didapat saat belajar di School of Journalism, Columbia University, New York, Amerika Serikat, pada 1954Selama dua bulan di sana, Rosihan bersama sejumlah editor dari berbagai negara belajar tentang berbagai aspek kewartawanan.
Dalam salah satu sesi, para editor itu diajak berkunjung ke kantor redaksi The New York TimesDi dalam salah satu ruang redaksi, ternyata, ada desk yang khusus mengumpulkan data-data seorang tokohData-data tersebut lalu diolah dalam bentuk obituari jika sang tokoh itu meninggal”Saat mereka meninggal, data-data tersebut tinggal mereka cabut untuk diterbitkan,” kata Rosihan.
Dari kunjungan dan dialog dengan pengasuh koran terkemuka di New York itulah, dia paham bahwa obituari adalah salah satu berita pentingSaat seseorang meninggal dunia, lanjut dia, publik perlu diperkenalkan sejarah orang itu”Supaya dia tidak dilupakanDari situ, saya mulai berpikir itu adalah ide yang bagus,” kenang Rosihan.
Namun, sekembali ke Indonesia, Rosihan malah tidak sempat mempraktikkan ide tersebutDi harian Pedoman, porsi obituari tidak begitu mendapatkan perhatianJika ada tokoh meninggal, korannya hanya menulis berita peristiwa yang pendek”Sampai Pedoman diberedel, saya nggak sempat menulis obituari,” ujar Rosihan yang juga dikenal sebagai tokoh film.
Tulisan obituari pertama yang dibuat Rosihan terbit di harian Pos KotaMenurut suami Siti Zuraida Sanawi tersebut, saat itu dia menulis obituari Menteri Sosial Sudarsono (ayah Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono)”Itu pada tahun 60-anSaat itu saya menulis obituarinya pendek saja,” tuturnyaSetelah itu, masih ada obituari dua tokoh yang dia tulis di Pos Kota.
Baru saat menjadi wartawan freelance, Rosihan lebih rajin menekuni ”spesialisasi” membuat obituariPilihan untuk menulis obituari itu juga memiliki alasanDi era Orde Baru, kata dia, pandangan politiknya sering beroposisi dengan Soeharto”Daripada saya bingung cari bahan untuk menulis politik, ketika itu paling aman menulis obituari,” kata Rosihan.
Tulisan-tulisan obituarinya di harian Kompas mendapatkan apresiasi positif dari khalayak pembacaKunci tulisan obituri orang-orang yang dia kenal itu mengandalkan alur cerita personalRosihan menceritakan suatu tokoh dengan mengambil sudut pandang sendiri”Pakem saya personalSaya menulis pengalaman saya, itu ternyata menarik buat orang,” imbuhnya.
Jika di AS penulis obituari di koran seperti The New York Times mengandalkan tulisan dari bank data berupa berita-berita dan artikel tokoh yang disimpan, tidak demikian RosihanSaat menulis obituari, Rosihan menyatakan tidak memiliki file apa pun untuk dibuat dataSemua itu dia lakukan sendiri dengan mengandalkan daya ingatUntungnya, dia memiliki ingatan yang baik”Ya cuma ini saja, mengingat-ingat,” katanya bangga.
Dengan mengandalkan daya ingat, Rosihan tetap bisa menulis obituari saat deadline mepet sesuai permintaan redaksiDia sering hanya punya waktu dua jam demi menulis obituari sepanjang dua halamanSebab, terkadang seorang tokoh meninggal pada jam-jam sore dan malamPadahal, obituari itu harus terbit esoknya”Biasanya, mereka (redaksi) menelepon saya, terus langsung saya buatkan,” ujar Rosihan.
Sebelum memulai menulis, Rosihan biasanya membuat outline cerita sang tokoh terlebih dahuluDia selalu bercerita tentang kesan pribadi tentang kehidupan dan pekerjaan tokoh yang bersangkutanKarena bersifat personal, kesan itu adalah sesuatu yang baru dan belum banyak diketahui pembaca.
Rosihan selalu menulis sendiri obituari pada mesin ketik di ruang kerjanyaMenurut dia, mesin ketik tua itu sudah menemaninya 40 tahunDari situlah, puluhan obituari tokoh terbit di berbagai media ditulis.
Mengapa tidak menggunakan komputer? ’’Kan ada orang yang butuh suasana kerja yang lainSaya menikmati suara mesin ketik itu,’’ katanya.
 Akibat bekerja di bawah tekanan waktu, Rosihan mengakui ada beberapa obituari yang dia tulis terkadang salah nama ataupun penyebutan waktuBeberapa kali dia langsung meminta maaf kepada keluarga atas kesalahan tersebut’’Itu saya akui,’’ ujarnya.
Rosihan mengkritik sikap para pekerja media yang sering tidak menghargai sejarahPernah, satu kali, Rosihan mengaku menulis sebuah obituari tentang Kapten Islam Salim, putra dari Haji Agus Salim, diplomat ulung yang juga pahlawan nasional dari Sumatera BaratNamun, saat disetorkan ke redaksi, ternyata obituari itu ditolak hanya karena sang tokoh dianggap tidak terkenal’’Saya kecewa saat itu karena mereka tidak menghargai sejarah,’’ katanya.
Dari pengalaman itulah, Rosihan akhirnya mulai berpalingDia tidak lagi menulis eksklusif di satu media saja.
Rosihan mengaku mensyukuri mendapat karunia umur panjang dari TuhanDua anak perempuanya, Aida Fadhia dan Naila Karima, adalah seorang dokterSedangkan Omar Lutfi Anwar adalah seorang sarjana ekonomi.
Meski telah puluhan kali menulis obituari, Rosihan tak berpikir siapa yang nanti menulis obituari jika dirinya meninggalAda seorang pemimpin sebuah media yang menawarinya mengumpulkan data tentang dirinyaNamun, Rosihan menolak ide dari orang tersebutMenurut dia, dengan mengumpulkan data tentang dirinya, ada kesan melangkahi kehendak Yang Mahakuasa”Saya tidak mau melangkahi TuhanKalaupun nanti ada yang menulis, biar siapa pun boleh menulis (obituari) saya,’’ katanya(el/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Alihkan Ketergantungan Pupuk Bersubsidi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler