Tak Sesuai Prosedur, Sadapan KPK Tidak Sah Jadi Bukti

Kamis, 21 Februari 2019 – 20:00 WIB
Gedung KPK. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Hasil sadapan KPK yang menjadi alat bukti dalam perkara advokat Lucas dipertanyakan legalitasnya. Pasalnya, proses penyadapan dinilai melanggar prosedur.

Pakar hukum pidana dari UII Muzakkir mengatakan, penyadapan yang dilakukan penegak hukum, harus berkaitan dengan perbuatan atau dugaan perbuatan pidana. Oleh karena itu, jika proses penyadapan dilakukan sebelum ada penyelidikan, maka bukti sadapan itu tidak bisa dimajukan dalam persidangan.

BACA JUGA: KPK Limpahkan Aset Koruptor Senilai Rp 110 M ke BNN dan Kejagung

"Itu menjadi dasar sebagai alat bukti. Kalau tidak berarti prosedur rekaman itu tidak sah," ujarnya kepada media usai menjadi saksi ahli dalam sidang perkara Lucas di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (21/2).

"Jadi, setiap orang warga negara Indonesia tidak boleh ditongkrongi oleh rekaman yang berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Jelasnya, tidak boleh tindakan penyadapan mencari-cari kesalahan orang selama berbulan-bulan. Perkaranya harus ada dulu, baru ada pengumpulan bukti dari penyadapan," katanya.

BACA JUGA: Syamsuar Tak Ingin Jadi Pasien Keempat di KPK

Untuk diketahui, rekaman percakapan yang diduga melibatkan Lucas terjadi pada 2016 lalu. Bukti rekaman itu sebenarnya digunakan KPK untuk proses penyidikan Eddy Sindoro. Sprindik terhadap Lucas sendiri baru diterbitkan pada 1 Oktober 2018.

"Kalau itu yang terjadi, penyadapan itu bersifat melawan hukum atau menyalahgunakan wewenang. Kalau misalnya di sidang ini, pengadilan harus dibuktikan sadap sah atau tidak, sadap kapan? Sudah ada sprindik belum? Kalau tidak maka tidak bisa digunakan sebagai alat bukti dalam persidangan pidana," tegas Muzakkir.

BACA JUGA: KPK Bisa Kena Denda Adat Papua Rp 10 Triliun

Muzakkir juga menegaskan pentingnya memastikan orisinalitas alat bukti, terutama alat bukti digital yang rentan direkayasa. Sebab, hal itu menentukan adanya kekuatan pembuktian yang sah dan primer atau tidak. Kalau tidak ada jaminan derajat pembuktian bisa jatuh.

Keorisinalitasan alat bukti itu yang dijadikan dasar membangun keyakinan hakim. Jika bukti diragukan karena orisinalitas prosedur, hakim tidak boleh mendasarkan pada alat bukti itu. Sebab, alat bukti itu tidak memiliki kekuatan pembuktian."Kalau ragu-ragu ya putusannya harus membebaskan terdakwa. Karena hakim bertanggung jawab pada Tuhan Yang Maha Esa," tegasnya.

Keterangan Muzakkir itu pun membuat posisi JPU KPK tak mampu membeberkan aspek legalitas alat bukti rekaman yang menjadi dasar kuat dalam menjerat Lucas. Hal itu kian dipertegas oleh saksi ahli sebelumnya, Profesor Said Karim.

Sementara itu, penasehat hukum terdakwa, Irwan Muin mengatakan, penuturan saksi ahli hukum pidana, kian mempertegas kekeliruan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam menjerat Lucas.

"Karena dijelaskan setiap alat bukti yang diajukan JPU harus diuji keabsahannya di persidangan. Sementara alat bukti rekaman yang diajukan oleh saksi ahli IT yang dihadirkan sebelumnya sangat meragukan hal tersebut," tandasnya.

Saksi ahli digital dan audio forensik, Ruby Alamsyah juga telah meruntuhkan semua keterangan ahli akustik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan barang bukti yang diajukan KPK di persidangan.

Di hadapan majelis hakim, Ruby menjelaskan, di dunia internasional analisis suara yang disimpan dalam format digital lebih akurat dianalisis melalui forensik digital yang menaungi forensik audio dengan software-software digital yang telah teruji.

Hal sebaliknya, justru dilakukan KPK. Jasa ahli akustik yang digunakan membuat kedudukan alat bukti rekaman itu melemah. Lantaran ilmu akustik tidak dikenal dalam ilmu forensik suara (audio).

"Selama ini dalam proses penegakan hukum baik di Polri atau di Kejaksaan lebih baik menggunakan forensik audio atau forensik digital," katanya. (dil/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... KPK Dinilai Gagal Buktikan Tindak Pidana Advokat Lucas


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler