jpnn.com, LEBAK - Sejumlah pria warga Baduy itu duduk menunggu giliran di beranda rumah panggung kayu. Tidak banyak kata yang terucap di antara mereka. Nyaris hening. Mereka antre untuk perekaman data e-KTP.
Juneka Subaihul Mufid, Lebak
BACA JUGA: Kadis Dukcapil Akan Jemput Blangko E-KTP ke Jakarta
Di rumah singgah Desa Kanekes, Lebak, Banten, Senin lalu (12/2) para pria yang berpakaian serbahitam dan mengenakan lomar (pengikat kepala) tersebut tampak sabar. "Mereka sabar menunggu,” ujar Parjiyo, petugas dari Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri.
Ada yang berasal dari Baduy Luar, sebagian merupakan warga Baduy Dalam. Ada 24 petugas yang melayani mereka. Pelayanan perekaman dan pencatatan e-KTP itu dilakukan sejak Senin (12/2) hingga Senin (19/2) kemarin.
BACA JUGA: Penduduk Yang Bakal Berusia 17 Tahun Sudah Boleh Rekam e-KTP
Hasilnya, selama sepekan jemput bola tersebut, tercatat ada 1.327 e-KTP, cetak ulang 458 unit, dan terdistribusikan 1.785 unit. Ada pula perekaman baru 337 kartu keluarga (KK) dan pencetakan ulang 337 KK. ”Hampir tiap hari lembur sampai pukul 2 pagi untuk pencetakan langsung,” imbuh Parjiyo.
Partisipasi masyarakat Baduy di Kanekes dalam perekaman data e-KTP memang termasuk yang paling rendah. Ada pemicu yang berupa latar belakang budaya. Juga, e-KTP tak dipandang sebagai kebutuhan. Mereka tidak butuh akta kelahiran, misalnya, untuk kebutuhan sekolah anak.”Dulu masyarakat suku Baduy tidak mau disensus. Takut dijual,” ungkap Kepala Seksi Pemerintahan Desa Kanekes Sarpin.
BACA JUGA: Tjahjo Kumolo Klaim 3 Masalah Utama e-KTP Telah Teratasi
Tapi, sebagai warga negara yang sah, mereka tentu harus tercatat secara administratif. Selama ini, Sarpin mengaku sering kerepotan mengurus administrasi bila ada warganya yang sampai dibawa ke rumah sakit. Misalnya saat proses melahirkan. ”Ngurus jampersal, harus ada KTP dan KK. Saya sampai nginep di RS, sering begitu,” kenang Sarpin.
Sebenarnya urusan pendaftaran e-KTP dengan metode jemput bola tersebut sudah dilakukan pada 2012. Tapi, hasilnya kurang maksimal. Saat itu terekam sekitar 4.000 warga. Namun, karena beberapa persoalan seperti data yang salah atau hilang, yang tercetak hanya sekitar 3.500 e-KTP.
Sarpin menjelaskan, jumlah penduduk Kanekes tercatat 11.724 orang. Terdiri atas 5.898 laki-laki dan 5.826 perempuan. Warga yang wajib memiliki e-KTP 7.236 orang, sedangkan yang telah memiliki e-KTP tercatat 4.181 orang. Sementara itu, yang belum memiliki e-KTP 3.052 orang.
Itu sudah termasuk warga Baduy Dalam yang wajib memiliki e-KTP, yakni 673 orang. Perinciannya, jumlah yang telah merekam data untuk e-KTP 43 orang, yang belum 630 orang. Sedangkan total warga Baduy Dalam mencapai 1.206 orang.
Karena kerepotan yang dialami selama ini, pihaknya menulis surat kepada pihak kecamatan dan kabupaten untuk dibantu dalam perekaman e-KTP langsung. Apalagi, ada target perekaman e-KTP harus selesai pada 2018. ”Harus rekam online dan langsung cetak. Kami tidak mau kejadian yang sebelumnya terulang,” ungkap dia.
Ada sejumlah kendala untuk mengintegrasikan masyarakat Baduy pada sistem pendataan di e-KTP yang sudah baku. Sebab, sebagian besar masyarakat Baduy tidak mengenal baca-tulis. Untuk mengisi kolom tanda tangan, misalnya, mereka sekadar menuliskan garis horizontal atau vertikal.
Yang agak rumit adalah tanggal lahir. Sarpin menuturkan, tidak ada orang Baduy yang hafal tanggal lahir. Yang diingat hanya usia. Itu pun angka perkiraan saja.
Secara acak dia bertanya kepada beberapa pemuda Baduy yang sedang antre perekaman e-KTP. Pada saat ditanya umur, para pemuda itu terlihat berpikir agak lama dan menjawab sekenanya dengan wajah ragu.
Penentuan tanggal lahir warga Baduy telah dimulai pada 2009, saat pendataan untuk buku induk kependudukan. Sarpin dan perangkat desa lainnya menanyai identitas seluruh warga, termasuk tanggal lahir untuk menentukan nomor induk kependudukan (NIK). Di dalam NIK itu tercatat tanggal, bulan, dan tahun lahir setelah kode provinsi, kabupaten, dan kecamatan.
Tapi, jangankan tanggal lahir, tahun lahir saja mereka tidak tahu. Jadi, dengan berbekal data usia, ditarik mundur untuk menentukan tahun lahir. Misalnya, yang mengaku berusia 20 tahun berarti lahir pada 1989 terhitung pada 2009 itu. ”Tanggal lahirnya semau-maunya kita,” ujar Sarpin, lantas tersenyum.
Senyum Sarpin tetap berkembang saat melanjutkan ceritanya. Dia secara tidak langsung mengakui pendataan umur sekadar seingatnya itu memang tidak sepenuhnya tepat. Pada saat perekaman e-KTP, ada pemuda yang tercatat berusia 15 tahun, tapi sudah berjenggot. ”Lahir 2002, tapi jenggotan,” ujarnya.
Begitu pula soal nama. Sebenarnya sederhana bagi orang Baduy. Sebagaian besar nama orang Baduy hanya satu kata dan mudah diucapkan. Saat mereka sudah punya anak, biasanya seorang lelaki dipanggil nama anak pertama.
Misalnya, seorang punya anak Karmain, sang bapak dipanggil Ayah Karmain. Sedangkan ibu disapa Ambu Karmain. Nah, karena sapaan itu sudah menjadi sebutan, terkadang mereka kebingungan untuk menentukan nama yang dicantumkan di e-KTP. Tak mengherankan kalau di Baduy ada banyak sekali yang dipanggil ayah. ”Ada yang tetap pakai nama sapaan di e-KTP, bukan nama asli dari lahir. Seperti Ayah Karmain,” ungkap Sarpin.
Ayah Karmain adalah salah seorang warga Baduy Dalam yang telah memiliki e-KTP hasil perekaman sebelumnya. Dia menuturkan sudah 15 kali bepergian hingga ke Jakarta. Dengan fasih dia menyebut Monumen Nasional, Dunia Fantasi, dan Halim sebagai sebagai tempat-tempat yang pernah dikunjungi di ibu kota.
”Sangat butuh KTP karena silaturahmi ke pejabat ditanya identitas saat masuk rumah. Dan, kalau di jalan ada musibah, identitas jelas,” kata pria yang tinggal di Kampung Cibeo yang termasuk Baduy Dalam itu.
Kartu e-KTP milik Ayah Karmain dimasukkan ke dalam tempat untuk menaruh identitas bagi karyawan kantor pada umumnya dengan tali warna merah. Awalnya dia agak ragu menunjukkan e-KTP tersebut. Tapi, akhirnya dia mengambilnya dari tas jarog dari anyaman kulit pohon. Agaknya yang menjadi persoalan adalah kolom agama yang tidak diisi.
Ayah Karmain menjelaskan dengan sangat tegas bahwa dia memang sengaja meminta kolom agama itu dikosongi. Bukan karena dia tidak beragama. Tapi, bila toh ditulis, dia meminta agar ditulisi Selam Sunda Wiwitan. ’’Karena ini sudah keyakinan leluhur kami Selam Sunda Wiwitan. Bukan agama lain seperti Islam,’’ katanya.
Ayah Mursyid, salah seorang tokoh Baduy Dalam, menuturkan, memang ada keputusan dari para tetua adat Baduy agar mengakomodasi Selam Sunda Wiwitan sebagai agama. ’’Kalau memang belum bisa, dikosongkan saja. Kalau bisa, ya Selam Sunda Wiwitan,’’ ujar pria yang punya nama lahir Halim itu.
Dia mengaku telah mengikuti perekaman e-KTP. Pada saat penyerahan secara simbolis e-KTP itu, dia pun meminta agar Selam Sunda Wiwitan bisa dimasukkan dalam kolom agama.
Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Prof Zudan Arif Fakrulloh menuturkan, pembahasan soal kolom agama dan kepercayaan itu saat ini memasuki tingkat akhir. Dalam waktu dekat dibawa ke sidang kabinet terbatas yang dipimpin Presiden Joko Widodo.
’’Prinsipnya, putusan Mahkamah Konstitusi akan dilaksanakan. Putusan MK itu meminta dituliskan kira-kira bunyinya menjadi Kepercayaan titik dua penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,’’ ujar Zudan seusai memberikan secara simbolis e-KTP, kartu keluarga, akta kelahiran, akta kematian, dan kartu identitas anak kepada warga Baduy di rumah dinas kepala desa Kanekes kemarin (19/2).
Mengenai permintaan warga Baduy yang menginginkan agama dalam kolom e-KTP ditulis Selam Sunda Wiwitan, Zudan mengungkapkan bahwa Sunda Wiwitan itu adalah sebuah organisasi. Yang menjadi kekhawatiran adalah bila lembaga adat tersebut bubar.
’’Jadi, tidak dituliskan Marapu, Pangestu, Sunda Wiwitan, Sumarah, apa ya nama-nama organisasi 187 itu tidak dituliskan. Tapi, dituliskan Penghayat terhadap Ketuhanan yang Maha Esa,’’ tegasnya.
Dia menyebutkan, untuk sementara ini, kolom agama bagi masyarakat Baduy dikosongi. Dia memastikan, bila sudah terekam dan tercetak, akan dengan mudah untuk mengubah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. ’’Menunggu sebentar lagi (sidang kabinet terbatas, Red). Kalau sudah pernah tercetak KTP, mengubahnya cepat sekali, 1–2 menit sudah selesai,’’ ungkapnya.
Sementara itu, Kepala Desa (Jaro) Kanekes Saija menuturkan, dirinya pun berharap kolom agama tersebut bisa mengakomodasi Selam Sunda Wiwitan. Dia menyebutkan, pada perekaman sebelumnya, ada pencantuman agama Islam, tapi dikomplain warga yang merasa tidak memeluk Islam. Namun, tidak mencantumkan agama ternyata juga menjadi hal yang tidak mengenakkan. ’’Tidak dicantumkan agamanya, banyak yang bicara, tidak beragama orang Baduy,’’ ungkapnya.
Selain itu, memiliki e-KTP juga menjadi penegas identitas bagi orang Baduy. Sebab, Saija juga mendapat banyak kabar ada orang tak bertanggung jawab yang mengatasnamakan orang Baduy. Mereka menggunakan pakaian khas orang Baduy dan meminta sejumlah uang dengan mencatut Pu’un (tetua adat).
Termasuk banyak pula Baduy KW (palsu) yang berjualan seperti madu atau barang kerajinan. Nah, dengan e-KTP, mereka bisa diperiksa. Bila merupakan warga Kanekes, berarti dia orang Baduy. (*/c11/ttg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Perekaman E-KTP di Babelan Mandek
Redaktur : Tim Redaksi