Tamrin: Konflik Perlu Dikelola, Tidak Bisa Dihilangkan

Rabu, 14 September 2011 – 00:13 WIB

JAKARTA - Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Tamrin Amal Tomagola mengakui tidak gampang mengelola konflik jika terjadi di antara 653 suku yang berbeda bahasa dan tradisi di antara 237 juta penduduk IndonesiaIsunya bukan bagaimana menghilangkan konflik melainkan mengurangi konflik, agar mudaratnya bisa dihindari dan ditekan seminimal mungkin dan manfaatnya bisa dikembangkan semaksimal mungkin.

“Menghilangkan (konflik) secara tuntas sama sekali tidak bisa

BACA JUGA: Sengketa Caleg PPP, KPU Pertanyakan Putusan MK

Sama seperti pelacuran, perjudian, juga korupsi,” katanya saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dipimpin ketuanya, Dani Anwar (asal DKI Jakarta), di gedung DPD Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (13/9).

Yang bisa, kata dia, adalah mengurangi konflik agar mudaratnya bisa dihindari dan ditekan seminimal mungkin
“Isunya bukan totally eliminated konflik, tidak mungkin

BACA JUGA: KAI Adukan Ketua MA ke Komisi III DPR

Istri saya bilang, di piring kita saja sendok dan garpu kadang beradu, konflik
Apalagi kalau aspirasi banyak orang, dari Merauke hingga Sabang

BACA JUGA: KPI Banding Praperadilan Silet

Kita harus realistis,” katanya

Merujuk data Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas), mantan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI ini menjelaskan, tercatat 653 suku yang berbeda bahasa dan tradisi tersebar di seluruh wilayah Republik Indonesia dari Merauke hingga Sabang“Kita mengelola 653 suku yang berbeda bahasa dan tradisi, di antara total 237 juta penduduk, tapi ingin aman-aman saja, tidak mungkinApa rahasianya?” ucapnya.

Rahasianya ialah menguasai metode how to manage conflict atau bagaimana mengelola konflikDalam interaksi dan interelasi sosial antar-individu atau antar-kelompok, konflik sebenarnya alamiahDulu konflik dianggap sebagai gejala atau fenomena yang tidak wajar dan bisa berakibat negatif maka kini dianggap sebagai gejala atau fenomena yang wajar dan bisa berakibat negatif atau positif tergantung bagaimana mengelolanya.

“Rahasianya adalah menguasai metode how to manage conflictCuma ‘kelola’ dalam bahasa Jawa berarti kalau tidak ada konflik maka ciptakan konflikSekarang, insecurity menjadi industri, bisnisSaat kita ngomong di sini, di Ambon konflik menjadi bisnis,” imbuh Tamrin.

Umumnya, setiap benturan adalah konflik“Apakah benturan pendapat, sikap, benturan mengelola sepakbola, bulutangkis, apa sajaKonflik sama dengan garam di sayuran kitaGaram kurang, hambar, garam terlalu banyak, pahitHarus proporsional, pas,” ungkapnya.

Karenanya, Tamrin menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Penanganan Konflik Sosial, karena jika hanya membahas penanganan konflik setelah konflik terjadi maka sebenarnya tindakan yang terlambat sekali“Kalau hanya menyangkut penanganan konflik berarti sudah jatuh korban-korbanData terakhir, delapan orang tewas di Ambon setelah bentrokan hari Minggu (11/9) lalu,” tukasnya(fas/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pencegahan ke Luar Negeri Tak Langgar Hak Asasi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler