Tanpa Pengadilan Tipikor, KPK Lumpuh

Kamis, 15 Januari 2009 – 20:36 WIB
JAKARTA - Staf ahli bidang hukum Presiden, Denny Indrayana mengaku akan mendorong keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) yang akan menjadi payung hukum bagi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)Menurutnya, KPK bakal mirip orang terserang stroke jika UU Pengadilan Tipikor tidak tuntas pada 19 Desember tahun ini.

"Menyelamatkan RUU Pengadilan Tipikor berarti menyelamatkan KPK dari serangan stroke

BACA JUGA: BPK Siap Audit Dana Haji

Karena bagi saya, KPK dan pengadilan tipikor merupakan dua unsur yang saling terkait," ujar Denny pada Seminar Nasional bertajuk menyelamatkan RUU Pengadilan Tipikor di gedung Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, di Jakarta, Kamis (15/1)
Selain Denny, hadir dalam Seminar Nasional itu antara lain pakar hukum dari Universitas Indonesia Rudy Satriyo, Direktur Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) Firmansyah Arifin, anggota Badan Pekerja ICW Emerson Yuntho, serta Direktur Penuntutan KPK Feri Wibisono yang hadir mewakili ketua KPK Antasari Azhar.

Denny berpendapat, tidak ada pilihan lain bagi pemerintah maupun DPR selain menyelesaikan pemabhasan RUU Pengadilan Tipikor sebelum masa kerja DPR RI saat ini berakhir

BACA JUGA: LKB Jauhi Politik Praktis

"Ini (penyelesaian RUU Pengadilan Tipikor) adalah pilihan cerdas bagi keberadaan pengadilan tipikor
To be or not to be bagi upaya pemberantasan korupsi," cetusnya.

Karenanya mantan Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum UGM ini menyebutkan tiga pilihan terkait keberadaan RUU Pengadilan Tipikor

BACA JUGA: Hidayat Heran Tifatul Jadi Tersangka

Pilihan pertama adalah mekanisme normal, yakni mendorong DPR menyelesaikan pembahasan RUU Pengadilan Tipikor bersama pemerintahKedua, jika skenario pertama gagal maka pemerintah harus menerbitkan Perppu"Saya akan mendorong (terbitnya Perppu) sebelum pergantian presiden pada 20 Oktober," cetusnya.

 
"Ketiga, kalau sampau pilihan pertama dan kedua gagal maka KPK sebagai lembaga yang memberantas korupsi akan kehilangan kursi penindakannya, dan hanya memiliki kursi pencegahan," ulasnyaSedangkan Direktur KRHN Firmansyah Arifin menyarankan agar DPR dan pemerintah dalam pembahasan RUU Pengadilan Tipikor memrioritaskan materi-materi penting seperti kewenangan pengadilan dan tentang hakim.

 
"Diantaranya, diberikannya penanganan penuh kepada Pengadilan Tipikor dalam mengadili perkara korupsiDengan demikian, hakim yang menangani perkara korupsi tidak diperbolehkan lagi merangkap jabatannya di luar Pengadilan Tipikor itu sendiri," cetusnyaSedangkan Feri Wibisono menegaskan perlunya pengadilan khusus perkara korupsiAlasannya, terdapat problematika dalam pemeriksaan perkara korupsiFeri menguraikan, problem tersebut antara lain pertama, korupsi merupakan kejahatan kerah putih yang terorganisir, canggih dan selalu memanfaatkan celah hukum

Kedua, meski hukum pidana formal dan materiil telah memberi beberapa perangkat hokum baru, namun kurang dipahami hakim biasaKetiga, banyak perkara korupsi diputus bebas (vrijpraak) karena alat bukti yang tidak optimal serta lemahnya standar teknis yuridis dan kapasitas penegak hokum dalam meghadapi modus operandi korupsiTerakhir, kata feri, perlu seperalisasi penyidik, jaksa dan hakim untuk perkara korupsi dengan standar teknis dan gaji khusus.

Karenanya KPK memberi beberapa masukan bagi RUU pengadilan Tipikor antara lain agar hakim Tipikor dibebaskan dari tugas fungsional sebagai hakim di peradilan umum.(ara/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Anwar Tuding Pemerintah Tilep Pajak


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler