Telaten dengan Mesin Buatan Belanda

Senin, 16 Agustus 2010 – 05:06 WIB
MESIN - Pemilik Kopi Aroma, Widyapratama Tanara, saat difoto di pabrik sekaligus toko kopinya, di kawasan Jalan Banceuy, Bandung. Foto: Hendra Eka/Jawa Pos.
Bisnis kopi digeluti Widyapratama sejak 1971Dia mewarisi usaha itu dari orang tuanya

BACA JUGA: Ada yang Sejak 1949 Telateni Kopi

Yang menarik, dia sangat telaten merawat mesin di pabrik pengolah kopi peninggalan orang tuanya yang eksis sejak 1930 sampai sekarang.

JIKA
Anda penggemar kopi dan berada di Bandung, tak ada salahnya mampir ke gerai Kopi Aroma di Jalan Banceuy
Gerai itu tak pernah sepi pembeli, mulai pagi hingga menjelang sore.

Pembeli yang datang pun tak hanya warga setempat

BACA JUGA: Utang RI, Sehat Tapi Boros

Warga dari kota lain tak sedikit jumlahnya
Termasuk sejumlah warga asing.

Dari segi tampilan, Kopi Aroma mungkin tidak semenarik kopi-kopi produk perusahaan multinasional

BACA JUGA: UU Desa Perjelas Dana Desa

Namun, justru kesederhanaan tampilan, dengan tulisan yang menggunakan bahasa Belanda dan Melayu kuno di bungkusnya, menjadi daya tarik tersendiri.

Di atas semua itu kekuatan aroma dan kekhasan rasa kopi asli membuat Kopi Aroma banyak dikenal, tidak hanya di dalam negeri, tapi juga di luar negeri.

Beberapa karyawan di gerai itu mengenakan seragam setelan cokelat tua"Saya sengaja pilih seragam cokelat karena warna cokelat seperti kopi," ungkap pemilik gerai Kopi Aroma Widyapratama ketika ditemui Jawa Pos di gerainya Sabtu lalu (14/8).

Sebagai pengusaha, pemikiran Widya memang sedikit berbeda dengan pengusaha pada umumnyaDia tidak mengejar keuntungan semata, melainkan kualitasItu bukan kliseSebab, meski Kopi Aroma sudah menasional, pria berusia 57 tahun itu tidak berniat memugar tempat usahanya atau membuka cabang.

Produk kopinya terkenal akan keharuman dan kualitasnyaAda dua jenis kopi yang diproduksi: arabika dan robustaTidak seperti kopi instan lainnya, Widya sangat mengutamakan kualitasBegitu dipanen, biji kopi tidak disimpan dalam waktu pendek, melainkan bertahun-tahunBaru kemudian diolah dan dijualKopi jenis robusta disimpan delapan tahun, sedangkan arabica selama lima tahun"Saya tidak suka semester pendek, yang semua serbainstanSaya pilih semester enam bulan," kelakarnya, lantas terbahak.

Selain itu, agar kualitas terjaga, Widya rajin menyambangi para petani kopi yang bekerja sama dengannyaSetahun dua kali dia berkunjung ke wilayah Aceh, Medan, Toraja, Flores, Malang, dan Jember yang merupakan daerah penghasil biji kopi arabikaDia juga rajin berkunjung ke daerah penghasil biji kopi robusta di Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, dan Jawa TengahTidak hanya mengontrol kualitas di luar, pria kelahiran 16 Oktober 1952 itu juga mengawasi sendiri keseluruhan pembuatan kopi, mulai pemetikan, pemupukan, penjemuran, pergudangan, penggarangan, hingga penggilinganDia juga ikut mengontrol penjualan.

"Istilahnya, kontrol kualitas berlapis-lapis," katanyaDalam menjalankan roda bisnisnya, suami Maria Louisa itu menerapkan prinsip 7 M, yakni "man, money, material, method, machine, market dan management".

Menurut Widya yang juga dosen Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran itu, ketujuh elemen tersebut harus seimbang"Kalau seimbang, semua juga lancar," ujarnyaSoal harga, seperempat kilogram Kopi Aroma dihargai Rp 10 ribu" Rp 13 ribu.

Ada satu lagi keistimewaan Kopi AromaSebagai salah satu cagar budaya, Widya mempertahankan bangunan miliknya yang ada sejak 1930-anGerai kopi tersebut merangkap pabrik kopiTidak sekadar bangunan bagian luar yang dipertahankanNamun, segala fasilitas peralatan membuat kopi dari warisan zaman Belanda tidak pernah diganti"Dan memang tidak akan pernah," imbuhnya, kemudian tersenyum.

Mulai mesin penggilingan (grinder), penggarangan (roasting), mesin tumbuk, mesin penghitung (cash register), hingga peralatan pertukangan masih orisinal warisan BelandaWidya mengungkapkan, mesin buatan Belanda sangat kuatBahkan, tidak pernah rusak"Paling, seperti mesin roasting, yang rusak hanya sabuknya," kata pria ramah itu.

Widya juga sangat memperhatikan kondisi lingkunganSebagai bahan bakar alat penggarangan kopi, dia memilih menggunakan limbah karet yang dikirim langsung dari Purwakarta ketimbang kayu bakar.

Ketika ditanya soal omzet, Widya merendahDia tidak menyebutkan angkaAyah tiga putri itu hanya menuturkan bahwa bisnis kopinya tidak selalu mengeruk untung besar karena penjualannya secara eceran.

Dia juga menolak menyebutkan berapa rata-rata jumlah pembeli setiap hari"Ya pokoknya selalu adalah pembeli setiap hari," ujarnya.

Dikisahkan Widya, sebagai anak tunggal, dirinya mau tidak mau sudah digadang-gadang meneruskan bisnis ayahnya yang berupa pabrik kopiKopi Aroma berdiri pada 1930Widya mulai mengambil alih usaha kopi tersebut pada 1971Sejak Kopi Aroma berdiri hingga diambil alih olehnya, Widya tidak pernah berniat mengubah apa pun dari usahanya tersebut"Seumur hidup dengan kopi, semua masih samaCuma orangnya yang berbeda," imbuhnya(ken/c4/kum)

BACA ARTIKEL LAINNYA... APBN Langsung Mengucur ke Desa


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler