jpnn.com - PADA 1841 kampung Tenganan Pegringsingan--pemukiman orang Bali kuno terbakar. Dokumen sejarah berupa lontar-lontar ludes dilalap si jago merah. Sejarah orang Tenganan pun temaram.
Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network
BACA JUGA: Hikayat Hotel Pertama di Borobudur dan Misteri Puisi Chairil Anwar
"Tak ada yang tahu apa penyebab kebakaran tahun 1841 itu. Yang pasti seluruh kampung habis terbakar," kata Kepala Dusun Tenganan Pegringsingan, I Ktut Sudiastika saat berbincang dengan JPNN.com 31 Mei 2016, di kediamannya.
Orang Tenganan disebut Bali Aga--orang Bali aseli yang bukan hijrahan dari Majapahit. Tak ayal bila adat istiadatnya berbeda dengan orang Bali kebanyakan.
BACA JUGA: Inilah Siaran Terakhir Radio Pemberontakan Bung Tomo dari Jalan Mawar
Meski sama-sama menganut Hindu, perayaan hari raya Nyepi di Tenganan berbeda dengan umat Hindu lainnya.
Orang Tenganan merayakan Nyepi selama 15 hari pada bulan pertama. Selama 15 hari itu, tidak boleh membuat kegaduhan.
BACA JUGA: In Memoriam Kantor Radio Pemberontakan Bung Tomo
Semisal, main gamelan. Tidak boleh membuat lubang lebih dari sesiku. Memotong hewan tak boleh di dalam lingkungan pemukiman, harus di luar.
"Nyepi nasional kita menghormati. Dunia saja menghormati, masa kita tidak. Meski pelaksanaannya tidak seratus persen. Itu pun baru-baru. Setelah Indonesia merdeka," ungkap Ktut.
Masyarakat Tanpa Kelas
Perbedaan yang sangat mencolok antara orang Tenganan dengan masyarakat Hindu Bali pada umumnya yakni struktur sosial masyarakatnya.
Sebagaimana diketahui, ada empat kasta di Pulau Dewata; brahmana, ksatria, wesia dan sudra. Struktur kelas itu tercermin dari nama.
Orang yang punya nama Ida Ayu, Ida Bagus, Anak Agung, Cokorda teridentifikasi dari kasta lapisan atas--brahmana atau keturunan raja.
Lain halnya dengan masyarakat Tenganan. Mereka tidak mengenal kasta. Yang ada hanya soroh. Yakni pengelompokan berdasarkan klen. Itu pun sudah punah. "Kita semua di sini sama," kata Ktut.
Di samping tak mengenal kasta, orang Tenganan menerapkan sistem komunal; seluruh tanah dikuasai desa adat alias milik bersama. Mereka menganut sistem masyarakat tanpa kelas.
Temaram Sejarah Tenganan
Tentu ada cerita kenapa adat istiadat di Tenganan berbeda dengan orang Bali lainnya. Hanya saja, sejarahnya remang-remang.
Paska kebakaran 1841, orang Tenganan kembali membangun kampungnya. Dan, pada 1842, mereka kembali menulis lontar awig-awig.
"Penulisnya bernama Made Gurit," ungkap I Ktut Sudiastika berdasarkan cerita yang didapat dari para leluhurnya.
Awig-awig yang terdiri dari 61 pasal merupakan aturan main, semacam undang-undang. Mengatur laku sosial di Tenganan.
"Sekarang awig-awig inilah lontar tertua di sini," sambungnya. Selain itu, tak ada literatur yang mengisahkan sejarah masyarakat Tenganan.
Pun demikian, Anak Agung Gde Putra Agung (82), putra raja terakhir Karangasem, Anak Agung Agung Ang Lurah Ktut Karangasem mengakui, keberadaan masyarakat Tenganan jauh lebih dulu sebelum Kerajaan Karangasem berdiri pada awal abad 17.
"Kami keturunan Airlangga. Dari Jawa," ungkap Guru Besar Ilmu Sastra Universitas Udayana Bali itu, kepada JPNN.com, di Puri Agung Karangasem, tadi malam (1/6).
"Sebelum kerajaan ini berdiri, orang Tenganan sudah di sini," katanya.
Kampung Tenganan Pegringsingan berada di ujung Timur pulau Bali. Secara administratif masuk wilayah Kabupaten Karangasem, Bali. (wow/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ketika Jenderal Soedirman Ikut Aksi May Day
Redaktur : Tim Redaksi