Meiliana, seorang perempuan di Tanjung Balai, Sumatera Utara divonis 1,5 tahun penjara karena dianggap melakukan penistaan agama setelah meminta pengurus masjid di dekat rumahnya untuk mengecilkan suara adzannya dua tahun lalu. Keluhannya itu kemudian menyulut kerusuhan bernuansa SARA.

Hukuman itu dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Medan, yang diketuai Wahyu Prasetyo Wibowo dalam sidang Selasa (21/8). Majelis hakim menyatakan Meiliana terbukti bersalah melakukan perbuatan penistaan agama yang diatur dalam Pasal 156A KUHPidana.

BACA JUGA: Fatwa MUI Picu Keraguan Orang Tua Terhadap Vaksin MR

"Menyatakan terdakwa Meliana terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. Menjatuhkan kepada terdakwa pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan dikurangi masa tahanan," kata Wahyu.

Hukuman ini sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang menuntut Meiliana diganjar hukuman 1 tahun 6 bulan. Sementara itu menyikapi putusan ini, Meiliana dan pengacaranya langsung menyatakan banding.

BACA JUGA: Idul Adha Tahun Ini Muslim Australia Pilih Bantu Kawasan Pedalaman

Bonar Tigor Naipospos, Wakil Ketua SETARA Institut mengecam vonis terhadap Meiliana yang dinilainya telah dijadikan kambing hitam dari peristiwa kerusuhan bernuansa SARA di Tanjung Balai, Sumatera Utara.

“Apa yang diperbuat oleh Meiliana tidak bisa dikategorikan sebagai penistaan agama, dia hanya meminta volume suara adzan dikecilkan, itu pun tidak langsung disampaikan kepada masjidnya, tapi dia hanya bicara kepada tetangga di sekitar rumahnya. Itu permintaan biasa yang disampaikan dengan santun,” ujarnya.

BACA JUGA: Anak-Anak Lebih Percaya Jawaban Robot Dibandingkan Manusia

Bonar menilai dalam kasus ini aparat hukum telah tunduk pada tekanan massa yang selalu meramaikan persidangan ini. Nuansa ketidakadilan dalam putusan ini menurutnya sangat kental lantara pelaku kerusuhan yang membakar kuil dan rumah-rumah warga di Tanjung Balai hanya dikenakan sanksi 3 bulan penjara.

Bonar Tigor Naipospos mengatakan selama pemerintah tidak merevisi Pasal Penistaan Agama dalam KUHP, ketidakadilan semacam ini akan terus berlanjut.

“Inilah yang kami khawatirkan selama ini, nilai-nilai toleransi di masyarakat semakin tipis dan bahkan nyaris tidak ada, lantaran perbedaan selalu ditanggapi dengan kriminalisasi.”

“Dan karena itu kami selalu mendesak agar pasal penistaan agama di revisi dan pemerintah menetapkan definisi yang lebih jelas tentang apa yang dimaksud dengan penistaan agama,” tambahnya.

Bonar Tigor Naipospos mengatakan maraknya kasus penistaan agama tidak terlepas dari preseden buruk yang ditimbulkan dari kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok.

“Menurut catatan SETARA Institut, sejak kasus Ahok sudah terjadi sekitar 19 kasus penistaan agama dalam waktu 1,5 tahun terakhir. Jumlah itu jauh lebih banyak  dibanding periode sebelumya. Dan itu hanya karena persoalan yang sebetulnya tidak patut dijadikan perbuatan kriminal,”

Kerusuhan bernuansa SARA terjadi di Tanjungbalai, Sumut, Jumat (29/7/2016),  sekitar pukul 23.30 WIB hingga Sabtu (30/7) dinihari. Massa yang mengamuk membakar serta merusak sejumlah vihara dan klenteng serta sejumlah kendaraan di kota itu.

Aksi massa itu dipicu protes Meiliana terhadap suara azan dari Masjid Al Makshun di Jalan Karya, Tanjungbalai. Protes Meiliana itu membuat warga lainnya tersinggung. Kerusuhan pun terjadi.

Polisi kemudian menetapkan 20 tersangka yang terdiri dari tersangka perusakan, pembakaran, dan provokator.

Meiliana sendiri ditahan di Rutan Tanjung Gusta Medan sejak 30 Mei 2018.

BACA ARTIKEL LAINNYA... PM Turnbull Kalahkan Dutton Dalam Pemilihan Ketua Partai Liberal Australia

Berita Terkait